webnovel

Cinta Segi Empat

Hye Seon terjebak dalam kerumitan hati karena memiliki cinta untuk tiga lelaki di usia remaja dan dewasa awal. Impiannya untuk menjadi pelukis membawanya ke pada perjalanan panjang dari kota kelahirannya Gangneung sampai Seoul.

Anifkha · Urban
Not enough ratings
47 Chs

Pameran Pertama

Hari ini adalah hari pameran lukisan Hye Seon di galeri So Hwan, "Commoners". Sejak tadi pagi semua pegawai di sana sudah sibuk mengatur tempat pameran. Selain Hye Seon, ada empat artis lain yang diberi kesempatan untuk memamerkan hasil lukisan mereka. Keempatnya berasal dari luar Kim Art College. Bahkan salah satu dari mereka adalah seniman jalanan. So Hwan menawarinya kesempatan untuk pameran ketika sedang mengadakan pelatihan khusus untuk tuna wisma.

Ruang tempat pameran Hye Seon terletak di bagian paling belakang. Ia mendapati ruang terbuka untuk memamerkan empat lukisannya. Lukisan lukisan Hye Seon yang seperti gambar wanita paruh baya yang menggendong anaknya di pasar tradisional, yang merupakan pemenang kompetisi lomba lukis dalam perayaan ulang tahun Kim Art College yang ketiga puluh, pemandangan alam di sore hari kota Gangneung, bunga lili dan sebuah lukisan sketsa guci usang dipasang di tembok-tembok pameran dengan sangat artistik. Dengan tata ruang yang baik, pameran sederhana ini bisa dinikmati oleh pengunjung.

Hari ini juga, tentunya adalah hari terbaik yang Hye Seon pernah alami dalam hidupnya. Ini adalah mimpi yang ia mulai harapkan sejak ia mengenal seni lukis. Pameran di sebuah galeri, kebanggaan bagi setiap seniman. Ia tidak lagi sedang bermimpi sekarang. Rasanya luar biasa.

Dengan memakai gaun panjang selutut dan jaket kecil berwarna coklat muda, Hye Seon datang pagi sekali ke galeri seni 'Commoners'. Ia mencoba berdandan sebaik mungkin untuk menyambut para tamu nanti. Hampir bisa dipastikan semua dosen dan mahasiswa seni rupa Kim Art College akan datang. Ini adalah tradisi tahunan kampus. Jadi semua orang pasti sudah bersiap-siap.

Jam sebelas pas pameran dibuka. Hye Seon sibuk memeriksa lukisan-lukisannya, memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Keluargannya di Gangneung selama seminggu terakhir tak berhenti menelepon, memastikan bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana.Terlebih Nyonya Lee, ia menangis tersedu selama kurang lebih tiga puluh menit mendengar putrinya yang dulu ia tentang, kini telah berhasil membuktikan mimpinya.

"Bagaimana perasaanmu?" So Hwan mendekati Hye Seon. Hari ini laki-laki ini tampak berwibawa dengan kemeja putih berlengan panjang yang dilipat sepanjang siku. Hye Seon mendongak melihat wajah So Hwan .

"Aku ..gugup sekali. "

"Itu wajar karena ini adalah pameran pertamamu. Aku menyediakan kotak saran untuk pengunjung di luar. Mereka bisa menulis tentang kesan dan pesan mereka untuk pameran kali ini. Dengan hal seperti ini kita berharap bisa membenahi segala kekurangan yang ada selama pameran."

Tak menyangka akan ada kotak saran semacam itu, Hye Seon hanya bisa bilang terima kasih kepada So Hwan. Ia menyatakaan perasaanya yang begitu bahagia karena memiliki kesempatan untuk mengadakan pameran seperti ini.

"Kakek akan datang."

"Kakek!!!?"

Anggukan kepala So Hwan membuat jantung Hye Seon berdetak semakin kencang. Ia tak siap bertemu kakek Kim karena merasa banyak kekurangan dalam lukisannya.Kemarin panitia bilang bahwa kakek Kim tidak mengikuti pamerannya tapi kenapa So Hwan bilang yang sebaliknya. Muka Hye Seon seketika menjadi pucat pasi, keringat dinginnya seperti memaksa menyembul lewat pori-pori kulitnya yang putih.

"Oppa.. itu ..terlalu berat bagiku..kakek adalah orang penting. Aku khawatir sekali.."

"Kau tak perlu merasa khawatir. Beliau bilang dia akan melihat pameran gadis yang ia temui di Gangneung dulu. Kukira ia penasaran apa yang telah gadis itu capai dalam hidupnya. Dari pada kau bingung lebih baik kau bersiap-siap. Nanti akan ada koran kampus yang akan meliput pameranmu dan mungkin akan ada kejutan-kejutan lain yang kau temui."

Belum sempat Hye Seon bertanya lagi supaya So Hwan memperjelas pernyataannya, jam di dinding sudah bergerak tepat ke angka sebelas. Pintu galeri pun segera dibuka, di luar sudah banyak para pengunjung yang mengantri. Mahasiswa seni rupa adalah sebagian besar tamu yang datang, Hye Seon tidak heran, karena biasanya setelah pameran umum seperti ini, para dosen giat memberikan tugas untuk meliput kegiatan kampus dengan menganalisa lukisan pemenang lomba tahunan.

Hye Seon berkali kali harus menerangkan lukisan-lukisannya pada mereka. Setelah selesai dengan teman-teman sekampusnya, giliran para dosen yang datang memuji hasil karya Hye Seon. Untuk hal yang satu ini, So Hwan berbaik hati mendampingi Hye Seon sebagai pemilik galeri. Ia bahkan menjawab beberapa pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab oleh seorang pelukis amatiran.

Semakin siang, pengunjung yang datang semakin banyak. Empat seniman yang mengadakan pameran pada saat yang sama dengan Hye Seon juga tak kalah hebatnya. Mereka memiliki bakat unik dalam memvisualisasikan imaginasi mereka. Lee Sun Ji, seniman komik wanita ini memamerkan hasil lukisan karikarturnya yang mengkritik tentang budaya pop di kalangan anak muda. Beberapa gambarnya memang sedikit vulgar, tapi itu lah maksud Lee yang beranggapan anak anak muda zaman sekarang ini, sudah banyak yang tidak mengindahkan norma dan adat. Pengaruh budaya barat yang kuat membuat mereka kesulitan untuk memenuhi rasa hormatnya pada orang-orang yang lebih tua.

Hye Seon menoleh ke kanan dan ke kiri di kerumunan pengunjung yang semakin ramai. Ia menanti kelurga Kang yang belum juga muncul sampai jam menunjuk ke angka dua. Di manakah mereka? Bukankah mereka tahu kawasan Insadong? Banyak sekali praduga yang mulai bermunculan di kepala Hye Seon. Ia mulai panik.

"Hye Seon ssi.. Kakek datang!"

Kakek Kim dengan memegang tongkat di tangan kirinya berdiri tegak di samping So Hwan. Hye Seon cepat-cepat membungkuk memberi salam, menyadari siapa yang ada di depannya sekarang. Dengan topi bisbol dan jas besar yang membungkus tubuh tuanya, sulit bagi orang yang tidak dekat dengan Kakek Kim untuk bisa mengenalnya dalam kondisi yang seperti itu.

"Kakek Kim. Terima kasih anda sudah datang meluangkan waktu untuk melihat lukisan saya. Ini adalah suatu kehormatan bagi saya mendapat tamu kehormatan seperti anda."

Senyum bersahaja kakek membuat Hye Seon teringat akan sosok kakek tua yang ia temui di pasar malam dulu ketika di Gangneung. Orang ini memang tidak asing baginya.

"Kau.. sudah kubilang dulu kalau kau mau berusaha dan percaya dengan mimpimu kau pasti akan berhasil. Asal jangan mudah menyerah dengan keadaan, kau pasti bisa."

"Terima kasih kakek."

"Bisa kau ceritakan apa maksud dari lukisan-lukisan yang kau buat ini?"

Sedikit terbengong karena merasa rikuh sekali, Hye Seon perlu beberapa saat untuk mengerti maksud kakek. Ia pun langsung mengajak kakek melihat lukisan-lukisannya dari dekat.

"Mulai dari yang itu?" tunjuk kakek pada gambar juara kompetisi. Seorang ibu paruh baya yang menggendong anaknya sambil berjualan di pasar tradisional.

"Ehm..itu..aku mendapatkan ide untuk melukis gambar ini karena tema yang dipakai untuk lomba adalah "Sincerity". Hubungan ibu dan anak, saya kira adalah hubungan yang seperti itu. Ketulusan ibu merawat buah hatinya walau dalam kondisi apapun adalah jenis ketulusan paling indah yang pernah saya tahu. Tak ada yang berani mengukur kasih ibu terhadap anaknya karena memang tak akan pernah bisa dihitung."

Kakek mengangguk-angguk mendapati penjelasan brillian gadis ini. Ia tak menyangka Hye Seon memiliki analisa yang cukup bagus.

"Kenapa harus memakai hanbok?"

"Itu karena sebenarnya ini adalah gambar nenek dengan ayah. Ayah pernah bercerita waktu dia kecil, nenek sering membawanya ke pasar tradisional untuk menjual kue beras. Karena masih kecil, nenek harus menggendong ayah kemanapun ia pergi. Dia adalah sosok wanita yang sangat kuat." Hye Seon berhenti sejenak.Tenggorokannya teras kering. Ia agak terbawa emosi membawakan narasi dibalik lukisannya.

" Yang itu?" telunjuk kakek beralih ke gambar guci.

"Ini adalah guci tua di keluarga kami. Peninggalan kakek dari ayah yang meninggal ketika perang. Guci ini sebenarnya ingin ia berikan pada temannya yang ikut berperang waktu itu. Karena konflik yang terjadi akhirnya guci ini tetap berada di rumah kami. Kami merawatnya dengan baik, berharap semoga cucu atau siapa pun yang menjadi keluarga kakek itu mungkin kembali untuk menelusuri jejak kakeknya".

"Sedang untuk pemandangan alam ini adalah pemandangan yang selalu saya lihat tiap sore hari pada waktu musim panas di Gangneung. Ini adalah gambar favorit saya...jadi.."

"Hye Seon..!"

Di tengah kerumunan para pengunjung galeri, keluarga Kang tiba-tiba muncul. Paman, bibi, Sun Ah, hyung Won dan...Na Ra..ternyata juga ikut. So Hwan yang pernah melihat Hyung Won sebelumnya di toko buku, kaget melihat Hyung Won datang bersama keluarga di mana Hye Seon tinggal.

"Maaf Hye Seon, kami telat. Ada masalah dengan mobil kami," Sun Ah langsung memeluk Hye Seon tanpa melihat ada siapa di sampingnya.

"Tidak apa apa. Yang penting kalian sudah datang."

Paman dan bibi tampak senang sekali. Sepertinya ini adalah kali pertama mereka berada di galeri seni seperti ini.

"Oh iya..eonni. ini Kim So Hwan ssi dan kakek Kim, pemilik Kim Art College. Kakek, So Hwan oppa, ini adalah keluargaku yang ada di Seoul."

Semuanya saling membungkuk memberi salam. Hyung Won sedari tadi mencuri pandang melihat ke arah So Hwan yang juga melakukan hal yang sama.

"Jadi anda ini Kim So Hwan dan kakek Kim yang terkenal itu. Ini suatu kebanggaan bagi kami bisa bertemu dengan anda secara langsung."

"Anda terlalu berlebihan. Kami juga senang bertemu dengan keluarga Hye Seon yang ramah."

"Silahkan melihat-lihat lukisan Hye Seon," So Hwan mempersilahkan keluarga Kang.

Hye Seon pun meminta izin pada kakek untuk memberikan mereka mini tour guide tentang lukisannya. Paman, bibi dan Sun Ah berjalan berkelompok sedari tadi sedang Hyung Won dan Na Ra tampak melihat lukisan dari arah sebaliknya. Na Ra, seperti biasa, menempel terus pada Hyung Won. Ia tak melepaskan sedikitpun genggaman tangannya dari Hyung Won.

Sesudah puas melihat lukisan, mereka melanjutkan melihat lukisan seniman-seniman yang lain. Ini memang benar kali pertama bagi paman dan bibi datang ke galeri seni seperti ini. Bibi sering bilang bahwa dirinya sama sekali tak mengenal seni walau ia juga sering terdengar melantunkan lagu tradisional Korea. Begitu ia mendapatkan kesempatan untuk datang ke galeri lukis, kesempatan itu tak disia siakanya. Hye Seon meminta izin untuk pergi kekamar mandi. Ketika ia kembali semua orang sudah meninggalkan ruangan. Ia pun bergegas untuk menyusul mereka sampai ia melihat So Hwan sedang berdiri memandang lukisan gucinya dengan Hyung Won disebelah kirinya. Na Ra tak ada disana. "Apa gerangan yang mereka bicarakan?" gumam Hye Seon. Dari tempat ia berdiri, samar samar ia bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Jadi ternyata kau tinggal dengan Hye Seon?"

So Hwan memulai pembicaraan. Hyung Won tak menoleh. Ia terus saja memandang gambar guci di depannya.

"Begitulah...dan kau adalah Kim So Hwan yang hebat itu. Senang bisa bertemu denganmu."

So Hwan tersenyum datar. Dari belakang mereka memang tampak sama. Hanya Hyung Won lebih tinggi beberapa centi.

"Anda kenal cukup lama dengan Hye Seon?"

"Tidak juga. Aku baru mengenalnya sejak ia pindah tinggal bersama dengan kami. Setahuku ia adalah gadis yang gigih untuk mencapai apa yang ia mau. Dan sekarang sepertinya ia tersenyum gembira karena mimpinya sudah menjadi nyata."

"Kau benar."

Dibalik tembok, Hye Seon bersandar lesu. Mereka berdua sedang membicarakannya. Hyung Won bilang ia baru mengenal Hye Seon sejak tinggal di samping rumahnya. Lalu..Hye Seon melihat tanda hitam di telapak tangannya.

"Ini tak ada artinya?" keluhnya sambil berlalu. Na Ra berdiri dengan expresi dingin melihat tajam ke arah Hyung Won dan So Hwan berdiri..hatinya mendadak kelu.