Naya hanya terdiam, ia tak mau memperpanjang pembahasan itu. Karena dirinya sedang diantar oleh supirnya Seno, Naya meminta untuk diantarkan ke rumah Dito. Ia tak mau berlama-lama ada di dalam kesalahpahaman.
"Alhamdulillah, ternyata Dito langsung pulang." gumam Naya saat melihat Dito ada di teras rumah.
Melihat Naya yang turun dari mobil mewah, Dito langsung masuk dengan terburu-buru. Tapi Naya menarik kaos Dito, sehingga Dito terdiam di tempat. Melihat itu, supir Seno menangkap jika Naya memiliki pria istimewa di dalam hatinya, yaitu Dito.
"Dit, dengerin dulu coba. Jangan salah paham kaya gitu!" pinta Naya tanpa melepas tarikan kaos Dito.
Dito mendecakkan suaranya, "Yaudah gak papa sih meskipun bener juga, kalo gue. Toh Seno orangnya udah mapan, jadi wajarlah ia lakuin apa yang dia mau." ucapnya tanpa menatap Naya. Wajah Dito benar-benar terlihat malas sekali untuk berbicara dengan Naya.
Naya terkekeh, "Ya Allah Dit, pikiran Lo kemana sih, hah?! Maksud Lo apa, pake bilang 'Seno udah mapan jadi wajar untuk lakuin apa yang dia mau' itu maksudnya apa?! Ih pikiran Lo udah jauh ya," heran Naya.
Dito jadi gugup, "Ya, lagian kalian berdua-duaan." delik Dito.
Dengan cepat Naya memukul Dito dengan kain lap Mauren, sehingga Dito meringis kesakitan.
"Astaghfirullah, di sana ada Mauren ya. Lo jangan berprasangka aneh-aneh, dosa tau." Naya balas mendelik.
"Ya lagian yang ngangkat teleponnya si Seno bukan Lo," marah Dito.
"Ya Lo kan gak tau gue lagi ngapain," Naya duduk di kursi dengan wajah yang cemberut.
Mendengar itu Dito langsung sadar, dirinya lah yang salah karena tida mencerna keadaan dengan baik.
"Terus Lo lagi ngapain?!" tanya Dito.
"SHALAT DZUHUR!" tegas Naya yang membuat Dito terdiam. "Shalat Dzuhur kesiangan, karena gue baru bangun tidur." lanjutnya.
Kedua mata Dito melotot, "Nah kan, Lo bangun tidur."
Naya mulai jengah, emosinya benar-benar diuji oleh Dito. Naya langsung menarik kaos Dito agar duduk di kursi yang ada di sampingnya, kemudian Naya menceritakan semuanya dari awal hingga akhir.
"Puas?!" kesal Naya. Dito malah cengengesan, tiba-tiba ia menarik Mauren ke atas pangkuannya.
"Eh, gue mau pulang. Siniin Mauren!" oceh Naya.
Bukannya memberikan Mauren, Dito malah bangkit dan berjalan mendekati supir Seno. Ia meminta agar sang supir pergi, karena Naya akan diantarkan olehnya hingga kosan. Tak mau berlama-lama di sana, akhirnya supir Seno pun pergi dengan menyalakan klakson mobil.
"Eh? Bukannya mau nganterin sampe kosan ya si bapak?!" heran Naya.
"Udah, Lo sama gue aja. Ada yang mau gue omongin!" ucap Dito.
Karena kondisi Naya belum makan siang, Dito langsung menyuruh Naya makan di dapurnya. Tidak ada ibu Dito di sana, ia dan suami sedang menunggu warung di pasar.
"Lo harus ikutan lomba ini!" Dito menyodorkan brosur berwarna putih kuning.
Naya terbelalak setelah membaca semua yang ada di brosur itu, ini sangat menjadi kesempatan Naya untuk menunjukkan keahliannya. Ia pun ingin merangkai pengalaman baru untuk masa depannya.
"Gue mau ikut lomba ini!" ucap Naya penuh yakin. Tapi keyakinannya kembali tak terlihat setelah menyadari dirinya tak punya uang untuk mendaftar.
"Lo jangan khawatir soal uang pendaftaran, biar gue bantu!" ucap Dito yang mengetahui masalah Naya.
Wajah Naya berubah, ia senang bisa memiliki sahabat seperti Dito. Tapi, Naya kembali memasang wajah murung, "Lo punya uang sebanyak itu dari mana?!" tanya Naya.
"Tenang, gue punya tabungan. Tadinya sih mau beli motor baru, tapi kan Lo mau ikut lomba. Ya, pake aja dulu!" Dito menenangkan.
Naya merasa tak enak, dengan begitu ia menolaknya.
"Ayolah Nay, Lo itu sahabat gue. Jangan pernah nolak gitu dong!" pinta Dito.
Naya tampak berpikir, tapi dengan cepat Dito menyuruhnya untuk menerima bantuannya.
"Oke! Makasih ya. Tapi gue bingung mau masak apa,"
"Nanti kita pikirkan!" pungkas Dito.
Di keesokan harinya, Naya benar-benar tidak datang ke rumah Seno. Ia memilih diam di rumah dan memikirkan apa saja yang harus dipersiapkan untuk mengikuti lomba masak yang diadakan oleh Rebmo Group. Pemenang pertama dari lomba ini akan mendapatkan hadiah 150 juta, kedua 100 juta, dan ketiga 50 juta.
Dari sana Naya memutar otak untuk menampilkan masakan yang modern tapi tidak menghilangkan keunikan di dalamnya. Di sana, ia tidak menghiraukan panggilan Seno sejak tadi. Padahal Seno kesal karena Naya benar-benar tidak datang ke rumahnya.
"Aku akan ganti tempat platingan itu dengan cobek, aku yakin semua akan tertarik melihatnya." gumam Naya sambil menatap kertas putih yang belum terisi tinta.
Di siang harinya, Dito datang membawa nasi beserta lauknya.
"Gimana, udah ada rancangan awal untuk lomba masak?!" tanya Dito.
Naya mengangguk senang, tapi ia enggan menceritakannya siang ini. Ia akan memberitahu Dito beberapa hari lagi sambil meminta pendapatnya.
"Semoga menang ya!" ucap Dito yang langsung diangguki oleh Naya.
"Makasih ya Dit, Lo selalu bantu gue. Siang ini pun Lo bawain gue makanan, padahal gue tau Lo cape habis kerja. Belum nanti ngojek,"
"Gak papa kali,"
Naya beberapa hari ini memang tidak punya uang sepeserpun. Jika tidak ada Dito, mungkin Naya sulit untuk mencari makan. Terlebih kebutuhan Mauren yang sangat banyak.
Di tengah perbincangan mereka, Seno kembali menghubungi Naya. Dito melirik dan mengangkat kedua alisnya, "Tuh Seno, kenapa gak diangkat?!" heran Dito.
"Males," jawab Naya.
"Angkat dulu," titah Dito.
"Lo aja!"
Mendengar itu Dito langsung mengangkat panggilan Seno. Ia ingin membalas apa yang kemarin dilakukan oleh Seno.
"Assalamu'alaikum! Kenapa mas bro?! Ada apa, nelpon Mulu dari tadi. Diliat catatan panggilan tak terjawabnya sudah lebih sepuluh kali! Ada apa??" tanya Dito sedikit meledek.
"Ko handphone Naya bisa di tangan Lo?! Bukannya kalian lagi ngambekan?" heran Seno.
"Kami tak selama itu kalau lagi marahan. Eh, nanya aja Lo. Mau apa nelpon terus?!" nada bicara Dito sangat dibuat-buat.
"Gue mau bicara sama Naya!" Seno ngeggas.
"Yah dianya gak mau, gimana dong?!" Dito tertawa puas, hingga Naya ikut tertawa di sampingnya.
Tiba-tiba Seno memutuskan panggilan teleponnya sepihak, ia benar-benar marah dengan adanya Dito. Dito dan Naya terkekeh bersama melihat sambungan teleponnya diputuskan sepihak.
"Eh, Lo tau gak soal Rebmo Group?" Dito mengalihkan topik pembicarannya.
Naya menggeleng sambil menyuapkan nasi dan lauknya ke dalam mulutnya.
"Rebmo Group itu perusahaan terkaya di negara kita! Pemilik Rebmo Group itu mempunyai banyak perusahaan, dan perusahaan Rebmo Group inilah salah satunya yang menjadi icon si bapak ini."
Mendengar itu, Naya langsung bertanya siapa nama bapak yang memiliki perusahaan Rebmo Group itu.
"Namanya, siapa ya?" Dito nampak berpikir, tapi tak lama kemudian ia menjawab. "Namanya, pak Bram Dristamto Xei." jawab Dito.
Naya kembali berpikir, ia merasa tidak asing dengan nama kepanjangan pak Bram ini. Tapi karena tidak mau pusing, Naya melupakannya.
"Dia juga pemilik restoran ternama di dalam negeri maupun di luar negeri!" lanjut Dito sangat antusias. Sehingga kedua bola mata Naya membulat sempurna mendengar itu.