webnovel

DARIS MENGAMBIL PAKSA COBEK AJAIB

   "Syeril?!" panggil Naya lirih. Ia bangkit dari duduknya dan menyelaraskan tingginya dengan Syeril.

   "Ngapain Lo di sini?" tanya Dito ketus.

   "Emmm … gue cuma mau nanya keadaan Naya aja, terus mau ngucapin prihatin atas apa yang terjadi!" ucap Syeril tanpa merasa bersalah.

   Dito nampak mendekai Syeril, ia menatapnya aneh. "Tumben lo peduli sama Naya, biasanya kan Lo selalu berbuat ulah." 

   Syeril terlihat gugup, ia berusaha menghilangkan kegugupannya dengan cara lain. "Enak aja Lo, gue gak gitu kali!" ucap Syeril sambil melangkah pergi meninggalkan Naya dan Dito.

   Jelas hal ini menjadi pertanyaan bagi Naya dan Dito, Syeril tidak bisanya peduli dengan kehidupan Naya. Tapi karena pusing, Naya tak mau memperpanjang pikiran buruknya itu. Ia pun mengajak Dito untuk pulang.

   Keesokan harinya, Ardi datang ke kosan Naya. Ia memberikan surat dari pak Hamdan.

   "Apa? Aku dipecat?!" syok Naya sambil menutupi mulutnya dengan tangan.

   Ardi menunduk karena sudah tau soal itu, sesekali ia menatap Naya yang nangis akan berita yang baru dibawa olehnya.

   "Sabar Nay, mungkin ini ujian bagi kamu. Tapi tenang aja, nanti aku pasti bantu kamu ko untuk membeli kebutuhan Mauren." ucap Ardi menenangkan.

   Naya menggeleng, ia tak mau merepotkan Ardi yang juga memiliki tanggungan untuk keluarganya di kampung. Tapi Ardi kekeh akan membantu semampunya, Naya tak bisa menolak dan hanya diam saja.

   "Wah apa nih pagi-pagi sudah nongkrong di sini?!" ucap Dito tiba-tiba, di tangannya terlihat dua kresek berisi nasi dan air untuk Naya dan dirinya.

   Ardi merasa tidak enak ada di sana, dengan cepat ia menjelaskan sebelum terjadi salah paham. Dito tersenyum sesaat atas keberanian Ardi untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, namun beberapa saat kemudian ia langsung berteriak karena syok mendengar Naya dipecat.

   Sejak pertama masuk Dito tidak terfokus pada Naya yang sedang nangis, ia hanya menatapnya sesaat.

   Dengan cepat ia duduk di samping Naya. Menenangkan Naya dengan ucapan yang penyemangat. Ingin sekali Dito mengelus kepala dan punggun Naya, tapi mungkin jika itu terjadi Dito akan kena pukulan yang keras. Karena Naya sangat menjaga dirinya.

   "Saya turut berduka ya atas keputusan pak Hamdan, tapi Naya jangan menyerah. Saya yakin kamu bisa menjadi chef di suatu hari nanti!" ucap Dito yang berusaha pamit dari kosan Naya.

   "Gak mau sarapan bareng dulu?" tanya Dito saat Ardi bangkit dari duduknya.

   Ardi menggeleng dan tersenyum, lalu ia keluar dengan santun.

   "Gue harus nyari kerja ke mana sekarang Dit?! Kemarin aja susah, 'kan?!" keluh Naya.

   "Tenang Nay, Lo tenangin dulu aja hati Lo. Masih ada gue yang bisa bantu, 'kan gue udah diterima kerja di bengkel mewah itu." 

   Bibir Naya mengerucut, ia menatap Dito dan mengangguk. Setelah itu, mereka sarapan bersama.

   Ketika Naya dan Dito asik sarapan bersama, mereka dikejutkan dengan ketukan pintu yang keras.

   "Busetttttt!!" kejut Dito.

   Di sana pun Mauren langsung nangis, Naya hendak mengambil Mauren tapi tertahan oleh pandangannya yang memandang pria tua di hadapannya. Pria tua itulah yang barusan mengetuk pintu dengan keras.

   "Ayah?!" panggil Naya lirih.

   Melihat itu Naya langsung melengos pergi hendak menggendong Mauren, tapi tangannya ditahan oleh ayahnya. Dito mematung ketika tangan Naya dicengkram dengan kuat, tapi kefokusannya dibuyarkan oleh tangisan Mauren. Naya melirik ke arah Dito dan menyuruhnya untuk menggendong Mauren.

   Tanpa suara Naya memerintah, Dito langsung paham dan bergerak cepat.

   "Oh jadi kamu tinggal di sini sama sahabatmu itu? Ngapain aja selama ini? Udah isi?" pertanyaan yang seharusnya tidak keluar dari seorang ayah atas anaknya. Ini sudah menjadi fitnah, Naya berusaha menahan emosi.

   "Ko diem?! Sudah isi belum?!" Daris menatap Naya dengan kuat.

   "Pertanyaan itukah yang membuat ayah datang ke sini?!" tanya Naya dengan penuh air mata.

   Daris menyeringai, ia semakin mengeratkan cengkeramannya pada tangan Naya.

   "Nah ini dia, heh kamu! Berani nikahin anak saya diam-diam? Kamu juga sudah membuat anakku mengandung?!" tanya Daris saat Dito keluar dari kamar Naya sambil menggendong Mauren.

   Jelas Dito tersentak dengan pertanyaan ayah Naya, ia rasa dirinya tidak melakukan apapun pada Naya. Menikah? Ia juga merasa dirinya belum pantas untuk menikah.

   Dito hanya menggeleng kebingungan, ia edarkan pandangannya pada Naya yang sedang menangis.

   "Ayah, kami tidak melakukan itu. Kami tidak serumah, apa yang ayah katakan itu tidak benar!" Naya meluruskan.

   Daris berdecih, ia menjambak kerudung yang dikenakan Naya. 

   "Kamu jangan bohong! Jangan so suci! Akui saja jika kamu benar-benar sedang mengandung!" tekannya.

   Di sini Dito langsung mengelak karena merasa difitnah, "Om, maaf jangan sembarangan. Tapi kami benar-benar tidak menikah, tidak melakukan apa pun itu yang om maksud."

   "Jangan menentang kamu sama orang tua!" bentak Daris.

   Dito terdiam, ia menghormati ayah Naya meski bom di dadanya ingin meledak. Jika di hadapannya ini adalah pak Hamdan, mungkin sudah ia cerca sejak awal bicara. Tapi sayangnya itu adalah ayah dari sahabat baiknya.

   "Sudah ayah tau kelakuan busukmu! Sekarang di mana cobek itu?!" cengkramannya semakin kuat pada tangan Naya sehingga Naya meringis kesakitan.

   Di sana Naya dan Dito pun kompak keheranan akan Daris yang tiba-tiba menanyakan cobek peninggalan ibunya.

   "Mana?!" kedua mata Daris melotot.

   "Naya tidak akan memberikan cobek itu pada ayah, cobek itu peninggalan ibu satu-satunya. Naya tidak akan melepaskannya begitu saja!" tolak Naya.

   Satu tamparan keras mendarat di pipi Naya, Daris marah akan sikap anaknya yang keras kepala. Tapi Naya benar-benar tidak mau memberikan barang berharga peninggalan ibunya.

   Daris tau cara agar Naya memberikan cobek itu padanya. Dengan sigap ia melepas penutup mahkota anaknya, ia melepas hijab Naya di hadapan Dito. Naya sedikit menjerit, sedangkan Dito menunduk tak mau melihat rambut Naya meskipun sebenarnya rambut Naya sudah terlihat sekilas.

   "Ayah, ayah, Naya mohon yah. Kembalikan hijab Naya, di sini ada Dito yah. Naya mohon kembalikan." pinta Naya dengan sangat.

   Daris tak merespon, ia tetap mengepal hijab Naya dengan kuat. Ia pun tak merasa kasihan pada anak kandungnya. Yang ia pikirkan kali ini adalah cobek peninggalan istrinya. 

   "Gila! Berani-beraninya dia buka aurat anaknya sendiri di depan gue?! Kurang ajar banget emang." batin Dito mengomel.

   "Kamu jangan munafik ya, jelas-jelas kamu berduaan di sini. Keliatan rambut aja nangis!" ledeknya.

   Naya semakin tersedu-sedu, ia tak bisa berlama-lama berdiri tanpa hijab. Di sana ada Dito yang bukan mahramnya. Naya masih tetap berusaha mengambil hijabnya, tapi Daris terus menjauhkannya.

  "Berikan cobeknya, atau … " ancaman kedua akan segera diberikan oleh Daris.

   Tanpa berpikir lama, Naya memberitahu keberadaan cobek itu. Ia melihat Dito yang masih menunduk, dengan cepat Naya pun memakai hijab lagi saat hijabnya sudah ada di tangannya.

   "Ma-maaf!" ucap Naya pada Dito dengan tersedu-sedu.

   "Bisa-bisanya dia minta maaf ketika kondisinya lagi kacau begini." batin Dito merasa aneh dengan sikap Naya.

   Daris berjalan cepat keluar kamar setelah mendapatkan cobek peninggalan istrinya. Ia pun pergi tanpa pamit. Naya hanya bisa pasrah meski hatinya tak rela dengan perlakuan Daris atasnya.