Apa aku boleh merebutnya dari Jennette?
***
"Tuan Putri?"
Felix memanggil ku, saat itu juga belaian tangan papa berhenti. Aku menatap Felix yang menatap ku dengan ekspresi panik. Aku pun mengalihkan pandangan pada papa, dia juga berekspresi panik.
Kenapa kalian memasang wajah panik, sih? Ada yang salah dengan ku? Aku mengangkat tangan ku dan meletakkannya di pipi. Sekarang aku tahu kenapa mereka panik.
Aku menangis tanpa sadar.
"Tuan Putri kenapa menangis?"
Felix semakin panik saat air mataku kian deras. Aku mengusap air mataku dengan paksa, berharap berhenti mengalir. Tapi percuma saja, malah semakin deras.
"A...Athy juga ti..dak ta...hu," aku mulai terisak, "Athy...ha...hanya merasa se...senang."
Aku mengusap mata ku lagi, kali ini dengan lengan tangan. Aku mulai sesenggukan. Tanpa ku sadari, aku sudah duduk di atas meja dan kini berhadap-hadapan dengan papa.
Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku tidak peduli apa ekspresi wajah yang dia tunjukkan saat ini. Aku hanya ingin menangis.
Untuk pertama kalinya aku merasakan kehangatan dari orang tua. Meskipun Claude bukanlah ayah asli ku melainkan ayah Athanasia. Aku ingin menganggapnya sebagai ayah ku.
Apakah ini yang Athanasia inginkan dari ayahnya meskipun dia belum pernah dibelai olehnya? Apakah kehangatan ini yang Athanasia mimpi-mimpikan? Seharusnya aku tidak mengatai Athanasia dalam novel itu naif karena menginginkan kasih sayang orang tua. Aku berkata seperti karena tidak tahu rasa kasih sayang.
Maafkan aku, Athanasia. Maaf karena mengatai mu naif. Aku sekarang tahu kenapa kau menginginkan kasih sayang ayahmu. Karena kasih sayang mereka terasa sangat hangat.
***
Malam harinya
Singkat cerita, aku akhirnya berhenti menangis setelah setengah jam karena kelelahan. Dari cerita Felix yang disampaikan pada Lily, papa menyuruh Felix untuk mengantarkan ku pulang dan istirahat. Besok pagi papa ingin bertemu dengan ku di taman untuk minum teh.
Aku hanya membenamkan kepalaku di bawah bantal dan pura-pura tidur saat Lily bertanya pada ku, tidak ingin menjawab. Aku juga tidak tahu kenapa saat itu menangis. Padahal Lily sering membelai kepala ku, bahkan lebih lembut dari yang papa lakukan.
Kalau kata Lily saat berbicara dengan Felix dan aku menguping, aku menangis karena merindukan papa. Sejak lahir aku (Athanasia) tidak pernah bertemu dengan papa. Jadi ikatan batin antara aku dan papa, membuat ku bereaksi seperti itu.
Setelah itu Felix undur diri dan kembali ke Istana Garnet, aku pun melanjutkan pura-pura tidur ku. Tetapi Lily ternyata tahu dan ia pun mengajukan pertanyaan. Aku hanya mendengarkannya dan tidak menyahut. Akhirnya Lily menyerah dan menyanyikan lulaby untuk ku.
"Tidur lah tidur~
Bulan tersenyum~
Sampai jumpa hari ini~
Anak kecil melihat bintang dan tertawa~
Besok akan datang pagi yang lebih bersinar~
Mimpi indahlah~
Selamat tidur anakku~"
Aku mulai mengantuk tepat saat lagu itu selesai, meninggalkan semua kejadian hari ini dan pergi ke alam mimpi.
***
Keesokan harinya
Felix dan aku yang berada di gendongannya berjalan meninggalkan Istana Emerald. Kami menuju ke halaman Istana Garnet tempat papa menunggu. Selama perjalanan, aku memilih untuk diam. Keheningan melanda sampai kami sampai di tempat tujuan.
Felix mendudukkan ku ke kursi yang tersisa. Kue, teh, dan susu sudah terhidang di meja, pantas saja tidak ada pelayan di sekitar kami. Aku melirik kue-kue yang ada dan menunduk. Tidak ingin bertemu pandang dengan papa.
"Felix."
"Iya, Yang Mulia?"
"Tinggalkan kami."
Felix mengangguk, "salam berkat dan hormat Obelia."
Felix meninggalkan kami di halaman Istana Garnet. Sekarang hanya ada aku, papa, dan meja berisi kue dan minuman. Aku masih menunduk sampai akhinya papa memanggil.
"Athanasia." Aku menatap lemah ke arah papa.
"Apa Kau," papa menjeda kalimatnya seperti menimbang-nimbang kata yang ingin diucapkan, "merindukan ku?"
Aku terdiam. Awalnya aku sangat membenci mu karena tahu bahwa kau akan membunuh ku di usia delapan belas tahun. Aku menghindari mu sebisa mungkin, menyelamatkan diri ku dari mu. Tapi sekarang, itu tidak berlaku lagi.
Semenjak aku menerima diriku sebagai Athanasia dan menganggap mu sebagai ayah ku, aku tidak bisa membenci mu. Aku hanya menganggap mu aneh saja. Cara mu memberikan kasih sayang mu benar-benar aneh.
Kau tiba-tiba sok kenal dan sok akrab dengan ku, memindahkan ku ke Istana Emerald, memangku ku tanpa pikir panjang, dan juga membelai kepala ku. Kau pikir aku tidak paham dengan semua itu, ha?
"Iya." Itulah kalimat yang keluar dari mulut ku. Aku tersenyum tulus padanya. Meskipun kau bukan ayah kandung ku karena aku bukanlah Athanasia yang asli, kaulah orang pertama yang bisa ku anggap sebagai ayah.
"Sayangnya aku tidak."
A...pa? K...Kau! Kau tidak bisa membaca situasi atau apa, ha? Di saat aku sudah menganggap mu sebagai ayah ku karena perhatian yang kau berikan, kau tidak menganggap ku anak mu? Kau benar-benar br*****k!
"Kalau Kau benar-benar menginginkan kasih sayang dari ku," papa meletakkan cangkirnya, "berusahalah membuat ku menyayangi mu."
Apa itu tantangan? Ataukah itu sebuah permintaan? Apa tujuan mu yang sebenarnya, papa?
"Baiklah."
"Heeh. Kau punya nyali juga, ya."
"Akan ku buat Kau menyayangi ku, papa! Sampai Kaulah yang nanti datang mencari ku, bukannya aku!" aku mengatakan semua yang ada di kepala ku.
Aku mengatur napas ku. Tekad ku sudah bulat! Akan ku buat kau menyayangiku sampai kau lah yang akan mencari ku duluan. Pegang kata-kata ku, akan ku buktikan dengan berjalannya waktu.
Athanasia. Ini juga janji ku untuk mu. Akan ku dapatkan semua kasih sayang raja psikopat yang dingin itu hanya untuk kita. Dia adalah ayah mu dan orang yang bisa ku anggap sebagai ayah.
"Buktikan pada ku."
***
Lusa harinya
"Papa, Athy sudah datang!" aku berlari mendekati papa yang duduk di salah satu kursi.
"Aku tahu."
Aku memberinya senyum sejuta watt dan pergi ke kursi yang tersisa. Dengan bantuan Felix, aku duduk di kursi tersebut. Di atas meja sudah tersedia berbagai kue, ku ambil sepotong kue cokelat kesukaan ku dan melahapnya.
Ini hari kedua setelah deklarasi tantangan dari papa. Sudah dua hari kami mengadakan tea time di pagi hari dan membaca buku di ruang belajar papa. Belum ada kemajuan sejauh ini. Ya tentu saja karena ini baru dua hari.
Sebenarnya acara tea time dan membaca buku adalah ide ku. Aku mengusulkan ide itu dan langsung disetujui oleh papa. Kuharap dia ikhlas meladeni permintaan ku ini. Kalau tidak tantangan papa tidak bisa ku penuhi, begitu pula dengan janji ku pada Athanasia yang asli.
"Sepertinya Kau lebih gemuk dari dua hari yang lalu."
"Itu karena Athy makan dengan lahap."
"Aku tahu."
Papa meminum teh nya dan melamun. Angin lembut menyapa kami dari arah barat. Ku lihat rambut pirang milik papa terhembus angin, tampak lebih berkilau.
"Rambut papa cantik. Berkilau."
Senyum tipis mengembang di wajah papa, "ku dengar dari Lilian dan Felix, Kau suka benda berkilau."
"Iya. Athy suka yang berkilau, mereka cantik."
"Tuan Putri sama seperti Yang Mulia. Yang Mulia juga suka benda berkilau."
"Benarkah itu, Felix?" aku menoleh pada Felix.
Entah sejak kapan aku sangat tertarik dengan benda berkilau, terutama emas. Mungkin beberapa permata dan batu mineral lebih menarik karena memiliki banyak warna, tapi emas terlihat lebih bersinar dari yang lain. Seperti rambut pirang papa yang berkilau.
"Iya, Tuan Putri."
"Felix. Kau berisik. Mundur sepuluh langkah."
Felix terdiam kemudian mundur sepuluh langkah seperti yang diperintahkan. Aku terkekeh pelan melihat ke arah Felix kemudian mengambil sepotong kue yang terlihat lebih gelap.
Aku ingat kemarin tidak ada kue ini. Apa ini kue baru yang dipelajari para pelayan? Papa melirik ku saat akan memakan kue. Ada apa, sih? Kenapa melihat ku begitu?
"Papa mau kue ini?"
"Makan saja itu."
Aku mengangguk dan memakan kue itu. Pahit. Jangan bilang ini kopi. Aku melirik papa yang terlihat agak terhibur. Apa-apaan itu? Kau senang melihat ku mengira itu cokelat? Aku suka-suka saja dengan kue ini kok.
"Ini kopi?"
"Kau mengira itu cokelat, hm?"
"Athy kira ini cokelat," aku berkata dengan nada sedikit kecewa.
"Berikan pada ku."
Aku menatap bingung papa di hadapan ku. Maksudnya kau ingin kue ku? Yasudah, ambillah. Ku sodorkan piring ku pada papa. Sebagai gantinya, papa menyodorkan kue stoberi pada ku.
"Terima kasih, papa!" aku tertawa girang dan melahap kue stoberi itu.
Aku memang tidak menolak kue kopi itu sih, tapi kue stoberi lebih baik dari itu. Hehehe...ini enak sekali.
***