webnovel

Bree: The Jewel of The Heal

Brianna Sincerity Reinhart, putri seorang Duke yang mengepalai Provinsi Heal di Negeri Savior. Suatu hari, Bree menyelamatkan seorang wanita yang berasal dari negeri Siheyuan, sebuah negeri yang merupakan negara sahabat kerajaan Savior. Bree membawa wanita tersebut ke kediaman keluarga Reinhart dan malangnya wanita itu mengalami amnesia dan hanya mengingat kalau dia biasa dipanggil Han-Han. Ternyata wanita tersebut memiliki kemampuan pengobatan tradisional yang sangat mumpuni, sehingga Duke Reinhart memintanya untuk menjadi tabib muda di Kastil Heal. Sejak kehadiran Han-Han Bree mulai semangat menekuni dunia obat-obatan dan menjadi lebih terarah. Bree menjadi rajin untuk memperbaiki diri karena ingin mendapatkan keanggunan seperti Han-Han. Di saat Kaisar Abraham, pimpinan negara Savior, mengadakan kerjasama dengan Siheyuan, mereka menerima delegasi yang dikirimkan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuan Muda Lacey, seorang jenderal perang yang masih muda, tampan, tangguh namun minim ekspresi. Bree langsung menyukai pria tersebut saat pertama kali mencuri pandang pada Tuan Muda Lacey tersebut. Bree yang mempunyai perangai terbuka dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Yue Lacey namun penolakan adalah yang menjadi santapannya. Puncaknya adalah saat Yue Lacey bertemu si anggun dan cerdas Han-Han. Tuan Muda tersebut tidak menutupi ketertarikannya dan itu membuat Bree sangat tersakiti. Haruskah Bree mengalah demi Han-Han yang menjadi sumber inspirasinya? Haruskah dia melepaskan pria idamannya, Yue Lacey? Kisah berawal di provinsi Heal. Apakah nama provinsi ini akan sesuai dengan pengharapannya, penyembuh. Ini kisah lika-liku Bree dalam mencari peraduan cintanya. Kisah ini bukan hanya mengajarkan mengenai mengejar dan mempertahankan cinta karena tingkat tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Siapakah yang akan mengikhlaskan, Bree atau Han-Han?

Pena_Bulat · ย้อนยุค
เรตติ้งไม่พอ
48 Chs

Mengunjungi Leon

Setelah semua meninggalkan ruanganku sehingga menyisakan Azlan dan aku, Azlan beralih duduk di sebelah tempatku menyandarkan diri. Perlahan dia merebahkan kepalaku di dadanya. Nyaman. Selalu terasa nyaman saat Azlan bersikap penuh perhatian.

"Kau tau, Bree," Aku sedikit mendongak menatap Azlan, "kita yang telah melakukan petualangan bertiga sejak usia belia, menjadi penyebab utama aku tak memiliki banyak teman. Aku hanya merasa nyaman dan menjadi diriku sendiri saat kita bertiga, berempatlah dengan Naena. Leon selalu menjadi sosok tertua dan terbijak di antara kita. Leon juga yang senantiasa melerai kita berdua. Namun, tak jarang dia juga yang menjadi penyokong utamaku untuk mengerjaimu." Azlan terkekeh pelan dan aku hanya mencebikkan bibirku.

"Kepergian Leon meninggalkan banyak kepingan kisah di antara kita. Banyak medan, kekonyolan, kekompakkan dan tak lupa kenakalan yang sering kita lakukan bersama. Paman Will hanya berani menghukum Leon saat kita melakukan kesalahan. Sangat tidak adil memang. Tapi Leon sama sekali tidak keberatan untuk itu. Dia bahkan semakin sering menawarkan berbagai ide-ide gila padaku."

Air mataku kembali mengalir, namun tak urung aku juga tersenyum mendengar penuturan Azlan.

"Aku mengatakan ini padamu untuk menekankan wajar jika kau sangat terpukul atas kepergian Leon. Leon telah lebih dulu hadir di sisimu bahkan sebelum aku. Kalian senantiasa bersama."

Azlan perlahan menghapus aliran air mataku dan memberi seulas senyum yang tulus.

"Bersedih dan menangis itu memang diperlukan, Bree. Hanya saja jangan sampai berlebihan. Dan aku tidak menganggap sedihmu ini berlebihan. Aku menganggapnya wajar. Dan aku mengatakan ini bukan karena semata aku menyayangimu, tetapi karena aku sangat paham bahwa sedih itu butuh diekspresikan. Dan apa yang kau lakukan saat ini adalah salah satu perwujudan rasa sedihmu."

Azlan mengeratkan dekapannya padaku setelah mengucapkan semua itu. Tangisku kembali pecah. Azlan tak mengatakan apapun. Dia hanya memberi belaian lembut di kepalaku.

"Bree...mau...hiks...ke tempat...hiks...Leon." ujarku di sela sesegukanku.

"Tentu. Aku akan mengantarmu ke sana. Segera. Namun..." Azlan menjeda dan menangkup wajahku, "keringkan dulu bekas-bekas menangismu ini. Kau terlihat sangat mengerikan."

"Azlannn..." rengekku.

"Aku tetap suka, kok."

"Azlannn..." Aku kembali merengek.

"Kau tetap satu-satunya gadis yang paling kusayang." Aku sontak mendaratkan cubitan mendengar ucapannya.

"Aww! Sakit, Bree!" Azlan mengelus lengannya yang baru saja kucubit. "Kapan kau akan bersikap lembut padaku. Para gadis berlomba untuk mendapatkan perhatianku. Kau justru menyia-nyiakannya. Huhh!" Azlan memalingkan wajah.

Aku sontak terkekeh melihat tingkah Azlan. Itu merupakan gaya andalannya saat dia kurang setuju atas perlakuanku padanya sejak dulu.

Mendengar aku terkekeh, Azlan kembali menangkup wajahku. Ada binar kebahagiaan di matanya. Bibirnya tak henti mengulas senyuman.

"Kita temui Leon sekarang! Seperti janjiku tadi, kalau wajahmu sudah tidak mengerikan lagi, kita akan mengunjungi Leon."

Dasar Azlan! Ternyata dia merencanakan ini sejak awal.

"Kau curang!" Aku menatapnya sengit dan seperti biasa Azlan akan menampilkan wajah sok tak berdosa dilengkapi cengirannya.

"Bukan curang tapi kreatif. Akui saja itu!"

Harusku akui kalau cara Azlan sangat efektif.

***

Azlan terus merangkulku sejak kami menginjakkan kaki di tanah pemakaman Royal Heal. Aku mencoba untuk menguasai emosiku. Aku telah berjanji pada Azlan saat kami akan berangkat tadi bahwa aku tidak akan kehilangan diriku saat mengunjungi Kak Leon. Namun, aku tak bisa mencegah aliran air mataku.

"Salam Kak Leon. Maaf Bree baru datang. Ahh...Bree bukan adik yang baik, ya. Padahal selama ini Kak Leon selalu siaga untuk Bree. Tidak lambat seperti Azlan."

"Hey!" protesnya sengit. "Leon, lihatlah adikmu ini! Dia mulai tidak menghargaiku lagi. Jadi Leon, mulai sekarang aku akan sedikit keras pada adikmu. Jangan keberatan, ya! Ah...tidak, tidak, Leon. Bree tetap menjadi gadis nomor satuku. Aku akan memberinya hukuman dalam bentuk kasih sayang. Kau bisa beristirahat dengan tenang. Aku berjanji akan menjaga Bree. Seperti yang dulu kujanjikan padamu."

Aku menatap Azlan sambil mengernyitkan dahi saat mendengar kalimat terakhirnya. tapi pemuda itu berpura-pura tidak memperhatikan perubahan ekspresiku. Dia justru menjauh dari pusara Kak Leon setelahnya. Aku sedikit penasaran, namun aku tetap melanjutkan obrolanku pada Kak Leon sebelum menutupnya dengan beberapa doa untuk ruh Kak Leon.

"Beristirahatlah dengan tenang, Kak. Aku menyayangimu."

Aku bergegas menyusul Azlan yang berdiri di dekat kuda-kuda kami. Begitu mendengar langkahku mendekat ke arahnya, Azlan justru langsung berjalan ke arah lembah yang ada di dekat pemakaman.

Wilayah pemakaman ini memang berada di daerah perbukitan dan dikelilingi oleh pohon-pohon apel dan berbagai tanaman bunga. Azlan duduk di atas bebatuan yang ada di bawah pohon apel dan aku langsung menyusulnya ke sana.

"Kemarilah!" panggilnya sambil menepuk sebuah batu besar di sampingnya.

"Ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu, Bree. Aku akan selalu merasai dihantui kalau aku tidak memberitahumu." Azlan menatapku dengan mimik seriusnya dan itu berarti dia benar-benar memiliki hal mendesak untuk disampaikan.

"Kau ingat hukum negara kita mengenai siapa saja yang tidak boleh terikat dalam pernikahan?" Meski belum mengetahui arah pembicaraan Azlan, aku mengangguk menanggapinya.

"Saudara kandung, saudara tiri, mereka yang ada hubungan persusuan, paman atau bibi," Aku menatap Azlan sekilas, "itu benar, kan?" Azlan mengangguk.

"Satu lagi, sepupu langsung, mereka yang orang tuanya kakak adik kandung, seperti kau dan Leon." sambungnya dan aku hanya mengangguk.

"Untuk apa kau mengatakan semua ini? Ada sesuatu yang salah dengan aturan itu? Bukankah itu juga bagian dari aturan agama yang kita ikuti?"

Azlan tidak langsung menjawabku, dia hanya menengadahkan pandangannya menatap awan yang berarak.

"Azlan, memang hari ini udara sedikit lebih hangat, tapi ini tetap masih musim dingin. Cepat jelaskan maksudmu sebelum udara menjadi lebih dingin!"

"Ckk!" Azla berdecak dan menatapku sinis. "Itu juga yang ingin kunikmati, dua hari ini aku hanya melihat tumpukan salju dan air matamu. Mataku butuh sedikit pengalihan."

Aku tidak membalas apapun. Aku justru mengikuti perbuatan Azlan dan benar saja, mataku menjadi lebih relaks. Dua hari ini keduanya telah banyak dipaksa rodi olehku.

"Azlan!" panggilku pelan masih sambil menengadah.

"Hmmm." Dia hanya menjawab dengan gumaman, enggan mengalihkan pandangannya.

"Kak Leon juga menyukai ini, kan?" tanyaku tanpa emosi.

"Dia yang mengenalkan ini pada kita berdua. Ingat kapan itu, kan?"

"Eh-he. Kalau tidak salah saat kita pertama kali selesai latihan pertama di Bulwark."

"Gara-gara kau merengek capek dan memaksa ingin pulang. Aku sangat ingin membekap mulutmu dengan kain lap saat itu, tapi Leon mengajak kita ke taman dan duduk di bawah pohon. Bree! Lihatlah awan yang saling mengejar itu! Mereka selalu saling menyusul tak pernah berhenti. Hebat, ya! Bahkan saat kita tidur pun mereka tetap saling kejar. Dan waktu itu kau dengan lugu mengatakan 'Mereka gak capek?'. Leon menjawabmu dengan sabar hingga kau lupa dengan rengekanmu. Selanjutnya kita jadi terbiasa memandang awan saat kita merasa penat."

"Hiks."

"Bree..." Azlan berucap penuh protes saat aku kembali terisak. "Cukup, oke! Itu hanya akan membuat Leon tak tenang."

Aku mencoba mengulas senyum dan menghapus air mataku. "Hanya terbawa perasaan, Azlan." elakku.

"Baiklah, kau boleh menangis lagi. Namun, kau harus baca ini dulu!" Azlan memberikan sebuah gulungan kertas. Aku tidak tau mengapa, tapi aku berdebar-debar saat menerimanya.