webnovel

Bree: The Jewel of The Heal

Brianna Sincerity Reinhart, putri seorang Duke yang mengepalai Provinsi Heal di Negeri Savior. Suatu hari, Bree menyelamatkan seorang wanita yang berasal dari negeri Siheyuan, sebuah negeri yang merupakan negara sahabat kerajaan Savior. Bree membawa wanita tersebut ke kediaman keluarga Reinhart dan malangnya wanita itu mengalami amnesia dan hanya mengingat kalau dia biasa dipanggil Han-Han. Ternyata wanita tersebut memiliki kemampuan pengobatan tradisional yang sangat mumpuni, sehingga Duke Reinhart memintanya untuk menjadi tabib muda di Kastil Heal. Sejak kehadiran Han-Han Bree mulai semangat menekuni dunia obat-obatan dan menjadi lebih terarah. Bree menjadi rajin untuk memperbaiki diri karena ingin mendapatkan keanggunan seperti Han-Han. Di saat Kaisar Abraham, pimpinan negara Savior, mengadakan kerjasama dengan Siheyuan, mereka menerima delegasi yang dikirimkan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuan Muda Lacey, seorang jenderal perang yang masih muda, tampan, tangguh namun minim ekspresi. Bree langsung menyukai pria tersebut saat pertama kali mencuri pandang pada Tuan Muda Lacey tersebut. Bree yang mempunyai perangai terbuka dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Yue Lacey namun penolakan adalah yang menjadi santapannya. Puncaknya adalah saat Yue Lacey bertemu si anggun dan cerdas Han-Han. Tuan Muda tersebut tidak menutupi ketertarikannya dan itu membuat Bree sangat tersakiti. Haruskah Bree mengalah demi Han-Han yang menjadi sumber inspirasinya? Haruskah dia melepaskan pria idamannya, Yue Lacey? Kisah berawal di provinsi Heal. Apakah nama provinsi ini akan sesuai dengan pengharapannya, penyembuh. Ini kisah lika-liku Bree dalam mencari peraduan cintanya. Kisah ini bukan hanya mengajarkan mengenai mengejar dan mempertahankan cinta karena tingkat tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Siapakah yang akan mengikhlaskan, Bree atau Han-Han?

Pena_Bulat · ย้อนยุค
เรตติ้งไม่พอ
48 Chs

Hamil?

Sekali lagi kami meninggalkan Kak Han-Han dalam perawatan Paman Will. Naena dan aku memutuskan kembali ke Paviliun Heal setelah menunggu hampir satu jam, namun belum ada tanda-tanda Kak Han-Han akan segera bangun. Hari sudah memasuki senja. Daddy dan Mommy sudah kembali lebih awal tadi.

"Menurutmu apa yang terjadi pada Kak Han-Han, Naena?"

"Semuanya terlalu gelap untuk diselami. Nona Han-Han terlihat begitu antusias saat memasuki kelas ramuan tadi. Dia yang langsung ambruk sungguh bukan satu hal yang bisa diprediksi."

"Kau benar, Naena. Aku harus bersabar menunggu besok dan memastikan langsung kondisinya."

Setelah berbicara banyak hal dengan Naena tadi malam hingga tak sadar keadaan sudah larut hingga berdampak padaku pagi ini yang bangun kesiangan.

Aku menemukan pakaian yang akan kugunakan hari ini telah berada di meja riasku. Itu artinya Naena sudah masuk ruanganku tadi. Entah dia sudah membangunanku dan aku tidak menyadarinya atau memang Naena sengaja belum membangunkanku sama sekali.

Melihat pakaian yang disiapkan Naena, aku menyadari bahwa ini adalah hari Sabtu, hari ibadah. Artinya tidak ada kelas hari ini. Ah, tapi aku kan masih bisa ke Paviliun Obat untuk memastikan kondisi Kak Han-Han.

Aku mesti segera bersiap dan fokus mengikuti rangkaian ibadah hari ini. Sudah beberapa hari aku absen menekuni kitabku.

Naena terlihat sibuk memimpin beberapa pelayan membawa berbagai hidangan saat aku turun dari kamarku. Ini sudah tengah hari. Berarti cukup lama juga aku fokus dengan rangkaian ibadahku di dalam ruangan tadi.

Aku mengkuti langkah mereka menuju ruang makan. Ternyata bukan hanya Mommy dan Daddy di sana, Azlan, Leon dan Paman Will juga telah menempati tempat duduk di aula jamuan. Pantas saja Naena memimpin banyak pelayan untuk membawa hidangan.

Ekspresi wajah mereka nampak sangat serius. Namun, saat Leon melihat kedatanganku mereka sontak bungkam. Aku yakin mereka menyembunyikan sesuatu dariku.

"Late, as usual." Azlan seperti biasa tidak akan merasa puas sebelum memberikan sebuah ejekan untukku.

"None of your business." Aku langsung duduk di kursi kosong di sebelah Mommy setelah memberi salam pada para tetua. "Ada yang Bree lewatkan?" Aku ingin memastikan kebungkaman mendadak mereka.

"Discuss it later! Eat up your lunch!" Ucapan Daddy adalah sesuatu yang final. Tidak ada lagi tawar-menawar. Selesaikan makan atau tidak ada penjelasan sama sekali. Aku sudah sangat paham karakter Daddy yang ini.

"Jadi, apa yang membuat kalian semua mendadak bungkam tadi?" Aku langsung 'menyeret' dua pemuda -yang merasa paling most wanted di tanah Savior - ke halaman belakang Paviliun Heal, tempat di mana kami sering mempelajari banyak hal bersama. Ada sebuah gazebo yang menghadap langsung ke arah sungai. Gazebo ini secara tidak langsung menjadi markas kami juga.

Azlan dan Leon tidak satupun yang menjawabiku. Mereka berdua sibuk saling tunjuk melalui komunikasi mata mereka.

"Sesuatu yang seriuskah?" Mereka masih bungkam. "Mengenai Kak Han-Han?" Saat nama itu kusebut, wajah Leon nampak menegang sesaat. "Ternyata benar tentang Kak Han-Han. Ada apa?"

"Err... mengenai Nona Han-Han yang pingsan kemarin, err..." Leon nampak kebingungan memilah perbendaharaan kata yang tepat.

"Nona Han-Han pingsan karena sedang hamil muda, Bree."

"Hah! Kau bilang apa, Azlan?" Aku perlu memastikan pendengaranku.

"Kau tidak salah dengar, Bree. Nona Han-Han sedang hamil."

"Ha-mil?" Leon dan Azlan mengangguk bersamaan. Aku memilih menyandarkan kepalaku ke dinding gazebo.

Aku mencoba mengingat saat pertemuan pertama dengan Kak Han-Han. Hanfu miliknya yang putih kebiruan, wajahnya yang nampak pucat, rambut hitam lurusnya yang tersanggul dan sebuah selendang tergeletak di dekatnya. Ya itu dia. Rambut hitamnya yang tersanggul sebagian dan selembar kain penutup kepala.

"Bukanlah hal yang aneh kalau Kak Han-Han hamil."

"Maksudmu, Bree?" Azlan menatapku dengan dahi berkerut.

"Dia wanita yang sudah menikah. Aku ingat penampilannya saat kami pertama menemukannya. Rambutnya tersanggul sebagian dan terdapat selembar kain penutup kepala. Itu merupakan kebiasaan orang Siheyuan."

"Kita tidak bisa memastikan bahwa dia orang Siheyuan?"

"Kau benar,Leon. Tapi dia mengenakan pakaian orang Siheyuan. Jadi, mari kita anggap dia menjalani kehidupan sebelum ini dengan berpegang pada adat kebiasaan Siheyuan." Aku menatap mereka berdua penuh semangat.

"Bukankah sesuatu yang masuk akal untuk kita mengatakan bahwa seseorang yang memilih untuk berpenampilan ala suatu daerah pasti akan berpegangan pada kebiasaan daerah tersebut."

"Pendapatmu terdengar masuk akal, Bree." Aku cukup tersanjung Azlan tidak mendebatku sepertu biasanya. "Di Savior banyak orang Siheyuan, ada juga yang berasal dari Timur Tengah. Mereka yang tetap berpenampilan seperti daerah asal mereka memang masih berpegang teguh pada adat kebiasaan yang mereka yakini."

"Jadi, bisa kita simpulkan, mau Kak Han-Han orang Siheyuan atau bukan, tetapi dia sepertinya berpegang pada adat kebiasaan orang sana."

"Tapi dia makan pakai sendok garpu, kan?"

"Ah Leon. Sudah sedalam itukah perhatianmu untuk Kak Han-Han?" Kami berdua kompak terkekeh, Leon hanya mencoba menggaruk tengkuknya, yang aku yakin pasti tak gatal.

"Ngomong-ngomong, Kak Han-Han sudah mengetahui mengenai kehamilannya?" Leon dan Azlan kompak menggeleng. "Sebaiknya aku menemui Kak Han-Han sekarang."

"Bagaimana kalau Leon yang menyampaikannya?" Leon memelototi Azlan. "Hei, aku tak bermaksud menggodamu. Dengar! Kau putra Paman Will, tinggal di Paviliun Obat dan memiliki pe-ra-sa-an." Azlan memberi penekanan pada dua kata terakhirnya.

"Saran konyol."

"Dengarkan aku dulu, Leon!" Azlan memperbaiki posisi duduknya. "Coba kau perhatikan gerak-gerik Nyonya muda ini!" Azlan menggubah gaya panggilannya pada Kak Han-Han. "Saat kau melihat ada gerakannya yang agak terlalu 'berbahaya', kau bisa mengatakan, 'Hati-Hati! Itu tidak baik untuk kandungan Anda.' Mendengar itu mungkin dia akan sedikit terkejut dan menuntut penjelasan padamu. Dan semua akan mengalir begitu saja."

"Azlan! Untuk idemu kali ini, aku mengakui kalau kau memang benar-benar calon penerus Paman Ab." Aku menepuk pundak Azlan dengan wajah yang kubuat serius. "Secara tidak langsung itu akan mengakrabkan kalian berdua. Marvelous, Azlan. I'm proud to be your cousin." Entah hanya perasaanku atau memang apalah. Aku merasa tatapan Azlan sangat lain saat aku mengucapkan kalimat terakhirku tadi. Hanya sekilas karena berikutnya mereka berdua kembali terlibat komunikasi mata.

"Baikalah, baiklah. Aku akan kembali ke rumah sekarang."

Entah apa yang mereka komunikasikan sehingga Leon langsung memutuskan untuk langsung pergi. Kini menyisakan kami berdua di gazebo dan aku merasa canggung.

"Ada apa dengan pemuda itu? Kalian merencanakan sesuatu lagi?" Azlan berbalik dan menatap dalam ke mataku.

"Hanya itu pemikiranmu tentang aku dan Leon?"

"Kalian memang suka seperti itu, kan. Diam-diam merencanakan sesuatu untuk menjahiliku."

"Tidakkah kau menyadari kalau itu sebagai sebuah usaha?"

"Hah? Maksudmu, Azlan. Ada apa denganmu? Kau tidak seperti biasanya hari ini."

"Bree?"

"Ya?"

"Aku akan kembali ke Savior."

"Lagi? Bukankah kau baru kembali? Ada sesuatu yang mendesak?"

"Kurang lebih." Azlan turun dari gazebo dan aku mengekorinya. "Terlibat dalam pertempuran Siheyuan beberapa waktu lalu berhasil membuka jejak pemberontakan Jenderal Elmer. Savior kehilangan seorang jenderal yang tangguh."

"Jenderal Elmer?"

"Benar. Jenderal kepercayaan ayahku. Bukan hanya itu, Paman Adam juga menjadi korban pada pertempuran Siheyuan."

"Paman Adam saudara tiri ayahmu?"

"Benar. Saat aku pulang sebelum ini, ayah masih sangat terpukul atas kepergian adiknya."

"I'm sorry to hear that."

"Thanks, Bree. Meskipun aku hanya bertemu Paman Adam saat kita kecil dulu, tapi aku sangat mengaguminya. Beliau orang yang sangat perhatian."

"Ya, aku juga sempat merasakan perhatian beliau."

"Karena itu juga ayah ingin aku kembali ke Savior."

"Maksudmu?"

"Ayah ingin aku mulai terlibat dalam kepengurusan negara."

"Kau akan benar-benar kembali ke Savior?"

"Begitulah. Petualangan kita berakhir di Heal."

"Aku pasti akan merindukan kebersamaan kita."

"Kau sama sekali tidak berat untuk berpisah dariku, Bree?"

"Hah?"

"Lupakan!" Azlan mengacak rambutku. "Aku akan berangkat dalam dua atau tiga hari ini. Jika ada yang ingin kau sampaikan, datang saja ke paviliunku!"

Tanpa menoleh, Azlan meninggalkanku yang masih terbegong.