Emanuel terus mencoba menyakinkan Sean agar tidak pergi dari tempat itu, meskipun dirinya sendiri tidak tahu apakah jalan itu akan berhasil ataupun tidak. Namun, setidaknya Emanuel mencoba agar membuat Sean mengerti bahwa dirinya dan Quiena adalah sesuatu yang sangat penting selain dari menjadi raja di kerajaan iblis.
Melihat Emanuel terus mendesak agar Sean mau ikut dengan cara dirinya, hingga akhirnya Sean pun menatap Emanuel dengan tatapan penuh harap.
"Jadi apa rencana mu, Emanuel? Katakan padaku, karena waktu aku tidak akan lama lagi sebelum malam bulan purnama tiba hanya menyisakan lima hari lagi," ucap Sean.
"Meskipun aku tidak tahu ini akan berhasil ataupun tidak, tapi setidaknya kita harus mencobanya terlebih dahulu, Sean. Jadi begini, tepat di saat malam bulan purnama tiba aku akan membawa Quiena bersama Squby menjauh dari sini, dan tugas kamu hanya perlu bersembunyi di bawah ruang bawah tanah. Kamu ingat kan dengan ruangan itu? Bukankah di sana juga ada pengaman besi yang kokoh yang bisa membuat kita terhindar dari bahaya. Jadi, aku mau kamu bersembunyi selama proses itu, dan kemudian kita lihat apakah kamu akan tetap berubah wujud menjadi sosok iblis atau tidak. Jikapun kamu berubah setidaknya kamu akan terkurung diri di dalam ruang bawah tanah, setelah bulan purnama berakhir kita lihat apakah wujud mu akan tetap manusia atau bukan, kamu mengerti?" Emanuel menjelaskan semuanya sembari menuliskan cara sembunyi di kertas kecil.
"Hanya ini?" Sean mencoba meremehkan rencana yang sedang diatur untuk dirinya.
Emanuel menganggukkan kepalanya lalu dengan tiba-tiba menepuk jidatnya sendiri, ia berkata. "Ayolah, brother. Kamu ini sudah menjadi raja sudah berpuluh tahun, tapi kenapa kamu sangat oon?! Ya ampun."
"Hey! Kau ingin aku mengigit mu?" Tatapan tajam Sean perlihatkan meskipun ia tahu hanya sekedar menghibur.
"Gigit? Kamu pikir aku bakpao bisa dengan mudahnya kamu gigit karena gemes, begitu?" Raut wajah memelas Emanuel perlihatkan di saat Sean membuatnya kesal.
"Ya lalu bagaimana lagi, Emanuel? Jika hanya aku bersembunyi di bawah sana itu artinya aku sedang mengubur diriku hidup-hidup bodoh!" Sambil Sean menunjuk ke arah kakinya.
Membuat Emanuel geram dengan tingkah polos dari Sean yang tidak tahu menahu tentang ruang bawah tanah itu. Hingga akhirnya, Emanuel menarik tangan Sean untuk ikut dengan dirinya. Setiba di ruangan bawah tanah, semuanya begitu gelap meskipun bagi mereka kegelapan bukan masalah yang besar, namun tetap saja penglihatan mereka karena telah berubah wujud seperti manusia membuat keduanya harus menyalakan lilin.
Ruangan bahwa tanah itu kosong dan hanya ada sebuah pintu besi yang terletak di tengah-tengah. Emanuel langsung membuka pintu besi itu dengan kekuatan yang ia miliki apalagi pintu tersebut tidak akan bisa terbuka jika hanya mengandalkan tenaga biasa. Sean melihat ruangan itu biasa saja, dan sungguh tidak membuatnya tertarik.
"Jadi ini rencana mu? Sungguh tidak menarik. Apa ada yang lebih bodoh dari rencana mu ini?" Sean mengejek Emanuel hingga membuat raut wajah Emanuel memerah.
"Heh! Meskipun bodoh, tapi ini sangatlah berguna, Sean. Jadi begini, kamu bisa masuk ke dalam sana dan tepat sebelum malam bulan purnama tiba, dan aku akan membantumu mengunci pintu besi ini dari luar. Aku rasa tidak ada sihir apapun yang bisa menembus pintu besi itu," ucap Emanuel dengan sangat jelas prediksinya.
Namun, hal itu tidak membuat Sean percaya sedikitpun juga meski memang Sean sudah melihat ketika pintu itu terbuka dengan sihir, namun sama saja itu tidak akan membuat ia percaya dengan mudah jika belum mengujinya dulu.
Akhirnya, Sean berjalan mendekat kearah pintu dan mengucapkan sebuah mantra sihir agar bisa membuat pintu besi itu pecah. Sampai akhirnya, Sean berhasil melakukan hal itu hanya dengan sekali tendangan darinya. Membuat mata Emanuel tercengang sampai ia menelan ludahnya sendiri ketika melihat pintu besi yang ia anggap kokoh ternyata hanya menjadi kerupuk dalam genggaman Sean.
"Ini yang kamu bulang bersembunyi, Emanuel? Aku tidak sedang bermain-main sekarang." Sean terlihat kesal di saat melihat Emanuel seperti sedang berbuat lelucon dengannya.
"Taa-tapi sungguh aku membuatnya dengan sangat susah bahkan aku juga sengaja membuka pintu besi dengan sihir, tapi kenapa di tanganmu seperti benda cair?" Membuat Emanuel menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, ia berada dalam kebingungan level tinggi.
"Jadi benarkan yang aku katakan sekarang kalau semua ini bukan main-main, Emanuel. Maka dari itu aku meminta kamu supaya membawa Quiena jauh dari sini. Aku tidak ingin menyakiti orang-orang yang aku sayangi. Jadi, tolong dengarkan semua yang aku katakan." Sean kembali menasehati sebelum akhirnya ia melangkah pergi keluar dari ruang bawah tanah itu.
Emanuel terdiam beberapa saat, dan ia mendekat kearah pintu besi yang susah payah ia bangun kini telah hancur lebur. Ia sampai kebingungan ketika melihat pintu besi itu terbelah menjadi empat bagian. Namun, ia memutuskan untuk keluar mengikuti Sean.
Di saat itu, Emanuel tak sengaja melihat Sean sedang menatap dari jarak jauh kearah kamar milik Quiena. Di dalam sana, Quiena sedang menangis tersedu-sedu di saat mengingat semua perkataan menyakitkan yang baru saja Sean utarakan. Rasa sakit itu membuat Sean ikut merasakan sakit sampai raut wajahnya terlihat murung dan tak bersemangat.
Di satu sisi, Emanuel mencoba memegang bahu Sean sembari bertanya. "Kamu masih sanggup meninggalkan wanita yang begitu mencintaimu sekarang? Bahkan dia sampai harus menangis sesakit itu. Sean, coba pikirkan semua ini baik-baik agar kamu tidak bisa kehilangan harapan terbaik yang pernah kamu miliki. Aku keluar sebentar."
Setelah berkata demikian, Emanuel langsung pergi keluar. Ia ingin mencoba mencari jalan keluar sampai membuat dia merenung ketika berpikir, tapi tetap saja ia tidak menemukan jawaban dari apa yang ia inginkan. Berbeda dengan Sean, yang masih menatap Quiena menangis dari jauh. Namun tiba-tiba, Squby yang sedang menemani Quiena menangis menoleh hingga tidak sengaja melihat Sean.
Akhirnya, Sean memilih untuk pergi dari depan kamar itu karena keberadaannya kini telah di ketahui. Ia berlari sampai kembali menemui Emanuel yang sedang berdiri tidak jauh darinya. Membuat Sean langsung menghampiri temannya itu.
"Sedang apa kamu di sini? Seperti ingin bunuh diri saja berdiri di tempat ketinggian seperti ini," ucap Sean yang masih memiliki waktu untuk bergurau karena memang mereka berdiri di lantai paling atas.
"Hey! Aku sedang berpikir bodoh. Lalu kenapa kamu malah menyusul ku? Kenapa kamu tidak menemani Quiena menangis saja? Jika aku menjadi kamu, aku sudah pasti akan memeluk tubuhnya." Emanuel menjawab dengan apa yang di dalam pikrinya sembari tersenyum tipis.