Wanita itu mulai menempelkan jari-jemarinya lalu mengelus-elus perut Ash yang tak memakai kaus.
"Mbak, tolong hentikan! Nanti suamimu bisa—"
"Tenang, Ash ... suamiku sudah pergi ke hongkong kemarin. Dia sudah jadi TKI dengan para lelaki hidung belang," pungkas wanita tersebut.
Ash yang ingin menyelamatkan si anak kecil, kini terhalang oleh seorang wanita. Wanita tersebut bernama Lastri, kesepian karena memang tak pernah dijamah oleh suaminya setahun lamanya.
Dengan sedikit aksi parkur, Ash berhasil menghindari rayuan wanita tersebut. Merosot dari sela-sela kakinya, meski sedikit mengintip bagian dalam yang berwara putih transparan.
"Maap, Mbak! Aku harus pergi!" ujar Ash, kemudian berlari ke lantai bawah.
Singkat kata. Ash yang tiba di lantai bawah, segera mencari anak tersebut. Berkeliling di pekarangan rusun, dan akhirnya menemukannya.
Terlihat di sana 5 orang berbadan kekar telah mengepung si anak kecil di sudut tembok.
"Berikan!" ujar salah satu dari ke lima pria berbadan kekar.
"Tidak!" jawab si anak, sementara kelima pria perlahan melangkah ke arahnya.
"Hey bocah! Kau cari mati?" ujar seorang pria yang lainnya.
Anak kecil tersebut hanya meringkuk ketakutan di sudut tembok, dengan penuh ketakutan, ia memeluk kotak kayu yang ukuranya sekisar tiga puluh centi.
Melihat anak kecil itu sangat ketakutan, Ash mulai menegur mereka. Dengan gagahnya, ia berdiri di belakang mereka sembari berteriak ala rocker.
"Hoy! Beraninya sama anak kecil? Hadapi aku dong paman!" ejek Ash.
Seketika mereka menoleh, menatap Ash dengan penuh intimidasi.
"Pria bercelana pendek ini mau jadi pahlawan kesorean rupanya."
"Habisi dia!"
Ujar mereka satu per satu, kemudian merenggangkan otot-otot jari dan berjalan perlahan mendekati Ash.
Ash bingung, melawan atau bocah ini akan habis oleh mereka. Berpikir jernih, menoleh ke bagian pelatuk miliknya yang mengeras karena sentuhan Lastri sebelumnya.
"Kalian lihat ini! Kalian mau aku tusbol?" ledek Ash. Bergaya ala Laddyboy untuk membuat mereka jijik.
"Aw ... kabur aja, geleuh aing ka bencoy ..." ujar salah satu diantara mereka, kemudian pergi dengan rasa jijik.
Keempat pria lainnya ikut pergi, membuat si anak aman untuk sementara waktu. Ash kemudian mendekatinya, dan menyentuh pundak si anak.
"Bangunlah, Nak. Semua sudah aman," ujar Ash.
"Huh ... untung saja!" jawab si anak dengan menghela napas. Kemudian berdiri.
"Kau aman sekarang, preman-preman itu sudah pergi," sambung Ash.
"Terima kasih, Om."
"Sekarang kamu ikut saya! Saya akan mengantarkan kamu ke rumahmu, agar ibumu tak mencari-cari dirimu," ucap Ash sembari melangkah menuju rusun, sedang si anak mengikutinya.
"Om, tolong aku! Sembunyikan aku!" pinta si anak dengan mata yang berkaca-kaca.
"Kau aman, sekarang bersembunyi di rumahku saja untuk sementara," jawab Ash, iba.
Ash mengajaknya naik ke rumahnya. Dengan mengikuti as dari belakang, si anak kini percaya bahwa Ash akan melindunginya.
"Dari mana kamu? Main lari aja dari rumah!" tegur Emak kepadaku, ketika Ash tiba di rumah.
Ash terdiam, kemudian menoleh sekitaran luar rumah sesaat sebelum menutup pintu itu kembali.
"Eh! Kenapa gak jawab? Loh! Ini anak siapa?" Emak semakin marah kepadanya ketika melihat anak kecil yang tak dikenal masuk begitu saja.
"Saya Jovan, bu. Saya tadi hampir dipukuli oleh preman. Beruntung om ini menyelamatkan saya!" jawab anak kecil tersebut.
"Nah! Sudah di jawab kan Mak!" sambung Ash sembari duduk di kursi pada ruang tamu.
"Terus, kenapa preman itu mau pukul kamu?" tanya Emak kembali.
"Aku adalah anak yatim yang di asuh oleh pemimpin preman-preman itu, bu—"
"Jangan panggil ibu, panggil Emak saja!" tegas Emak.
"Emak ... aku lelah harus memberikan setoran disetiap harinya, maka aku memutuskan untuk melarikan diri, lalu ponsel kepala preman itu aku ambil," jawab Jovan.
Ash melihat wajah Jovan saat ia bicara. Dari raut wajahnya, Ash merasa ada rahasia lain. Sebab saat Jovan yang berkata, tatapan matanya selalu mengarah ke atas, menandakan kalau ia sedang menutupi sesuatu.
"Mak, izinkan dia menginap beberapa hari disini. Aku takut preman-preman itu masih mencarinya," pinta Ash.
"Emak mah tak masalah, asal uang belanja di tambah," jawaban singkat dari Emak.
Ash yang mendengar hal itu, seketika membulatkan tekatnya untuk kembali bertarung nanti malam.
"Iya, selama masih ada nasi goreng buatan Emak, aku akan pulang bawa uang!" jaeab Ash yang tak ingin menyakiti Emak.
Secara tidak langsung, ucapan tersebut adalah doa. Memohon agar Emak selalu sehat, dan selalu memberikan Ash nasi goreng buatannya. Begitulah yang Ash harapkan.
Setelah Emak berlalu meninggalkan Ash dan Jovan, Ash kemudian bertanya dengan Jovan.
"Apa yang sebenarnya di sembunyikan olehmu, Jovan? Mengapa kelima preman berbadan kekar itu mengejarmu? Jujur!" tekan Ash.
"Jangan ngobrol di sini, Om. Sebabnya ini sangat rahasia," jawab Jovan.
Tanpa ragu lagi, Ash langsung mengajak Jovan ke kamarnya. "Jo! Kalau begitu ... kamu ikut denganku, ayo naik!"
Dengan mengangguk, Jovan mengikuti Ash naik ke kamarnya yang berada di plafound rumah tersebut.
"Waw, hebat banged! Ini plafoun rumah dijadikan kamar?" ujar Jovan, dengan memandang seisi kamar.
"Duduk sini!" perintah Ash, agar Jovan duduk di sebelahnya.
Tatapan Jovan penuh ketakutan, ketika Ash menyuruhnya untuk duduk disebelahnya.
"I ... iya, Om ..." lirih Jovan gemetar.
"Kau menyimpan rahasia apa? Katakan padaku! Jika kau tidak memberitahuku, aku akan mengembalikanmu ke jalanan!" ancam Ash seketika Jovan duduk.
"Tapi om janji, selamatkan aku dari para preman itu!" Jovan memohon.
"Tenang saja, saya janji. Sekarang, katakan!" tegas Ash.
"Di dalamnya ada video rekaman penyiksaan anak-anak jalanan, Om. Ponsel ini adalah ponsel milik si ketua preman-preman itu, yang terjatuh saat aku hendak mengantar uang setoran kepada bos besar," ujar Jovan.
"Berikan ponselnya, biar benda itu aman di tanganku. Selama beberapa hari ini, kau jangan keluar kemana-mana! Meski hanya menoleh keluar jendela. Bisa gawat jika mereka mengetahui keberadaanmu," tegas Ash.
"Baik om!" Jovan mengangguk.
Setelah menyimpan ponsel tersebut, Ash kemudian bersiap. Mengingat dirinya harus membersihkan diri, lalu kembali ke arena jalanan.
Setelah beberapa menit, Ash sudah siap. Kemudian ia mengambil jaketnya, sesaat sebelum pergi.
"Om mau kemana?" tanya Jovan ketika melihat Ash berpakaian begitu rapi.
"Mau kerja, kau tidur saja di kasurku! Jika kau ingin mandi, pakai handukku! Periksa di lemariku, mungkin ada baju yang bisa kau pakai," jawab Ash, kemudian berlalu pergi.
"Kamu sudah mau kerja?" Emak menyapa Ash ketika tiba di dapur. Berpapasan dengan Emak yang hendak mandi pula.
"Iya, Mak," jawab Ash.
"Enggak makan dulu?" sambung Emak.
"Enggak usah, Mak. Lebih semangat kerjaku jika dalam keadaan lapar!" jawab Ash.
Emak hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara aku melangkah keluar rumah.
Aku harus mendapatkan uang lebih malam ini!, ucap Ash dalam hatinya.
Namun ketika Ash keluar dari rumahnya, seperti biasa para tetangga yang berada di depan pintu menyapanya. Terutama Lastri yang menatap dengan penuh hasrat.
"Mau kerja?" sapa Lastri.
"Eh ... iya, Mbak. Mari ..." jawab Ash berlalu.
Namun sesaat sebelum Ash melangkah menuruni anak tangga, terdengar cibiran mereka yang sedang menggunjingkannya.
"Oh ... jadi itu pekerjaan Ash," ujar seorang wanita yang bersebelahan dengan Lastri.
"Bener, Jeng. Makanya aku sangat ... uh ..." jawab Lastri.
"Berapa semalam, memangnya?" pungkas yang lain.
Ash yang mendengar, menghentikan langkahnya. Matanya memerah, serta tangannya mengepal. Emosi berpalut dalam dirinya saat ini.
"HEY!" Ash membentak.