webnovel

Bench in the Park

Tidak semua orang mendapat kesempatan kedua dalam hidup, namun tak sedikit pula yang justru menggunakan kesempatan yang diberikan itu hanya untuk memuaskan nafsu keduniawian saja. Begitupula yang terjadi pada Keisha. Mengkhianati orang yang justru berperan besar dalam mengangkat kehidupan, bahkan rasa percaya dirinya. Dan saat semua sudah terlanjur terjadi, kata maaf dan penyesalan tentu tidak lagi berguna, sebab karma itu menyakitkan.

Ando_Ajo · แฟนตาซี
เรตติ้งไม่พอ
402 Chs

Keinginan Seorang Ibu

Di waktu lain, Mutiya tahu pasti: Pindang ikan baung besar dan tumisan sayur bayam merah yang telah ia sediakan itu akan sangat membuat Keisha kegirangan. Dan akan menyantap makanan tersebut dengan sangat bergairah, sebab makanan itu adalah kegemaran sang anak sendiri sebelumnya.

Dan setelah itu, selalu akan berakhir dengan ucapan terima kasih yang lantang dari mulut Keisha, bahwa ia bersyukur punya ibu yang selalu menyediakan makanan terbaik baginya.

Mutiya sungguh merindukan saat-saat seperti dulu itu.

"Kei, Mama hanya mengkhawatirkan kamu, Nak…"

Keisha menghentikan suapannya, meletakkan sendok dan garpu begitu saja. "Aku bukan anak tujuh tahun atau dua puluh tahun yang harus dikhawatirkan tentang ini dan itu. Bukan."

"Tapi setidaknya Mama akan lebih tenang kalau tahu ke mana kamu akan pergi, Kei."

"Sudahlah," dengus Keisha sembari menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Detik selanjutnya, ia meraih gelas berisi air putih dan menyesap minuman tersebut.

"Mama sangat mengkhawatirkan kamu, Kei. Papa juga… ka—kami menyayangimu, Nak. Sangat menyayangi."

Keisha seperti kehilangan gairah untuk meneruskan menyantap makanannya. "Terima kasih," ujarnya dengan begitu datar dan kemudian bangkit, lalu berlalu menuju kamarnya.

Mutiya melenguh pelan, mengurut dada. Ia masih menahan bergulirnya air mata. Sungguh, dalam keadaan begitu ia tidak tahu lagi harus berkata dan berbuat apa. Bahkan untuk sekadar menyentuh nasi putih tanpa lauk-pauk di pinggan makannya itu saja, Mutiya seolah kehilangan daya akan dirinya sendiri.

Dan kala tatapannya tertuju pada piring makan sang anak, lenguhan itu semakin merajam jantungnya. Keisha tidak menyentuh sama sekali potogan ikan baung di dalam piring itu, hanya tumpukan bayam merah itu saja sepertinya yang baru disentuh sang anak, dan menyisakan lebih dari setengah nasi yang ada di dalam piring.

Keisha duduk melamun di pinggiran pembaringan, setengah membungkuk dengan kedua siku bertopang di atas kedua lutut. Tidak ada ekspresi apa pun di wajah itu selain kebekuan yang menjadi-jadi yang seolah sanggup membuat seluruh ruangan di dalam kamarnya itu ikut membeku.

*

Curah air dari shower di bagian atas itu masih terus setia mengucur membasahi kepala dan seluruh tubuh Keisha. Sudah lebih dari sepuluh menit ia berlaku demikian. Udara di awal malam kali ini memang sedikit panas dari biasanya, namun bukan itu yang membuat laki-laki tersebut hening seperti patung di bawah air mancur di satu taman.

Bukan.

Adalah wajah gadis yang sore tadi ditemuinya di bangku taman itu yang kembali muncul di dalam ingatan. Senyumnya, sepasang matanya yang bening itu—yang ia sendiri tidak tahu pasti seperti apa warna mata gadis itu sebab selama ini kedua pandangannya selalu saja menipu dirinya. Lalu, pada suara yang merdu dan terdengar sangat ceria itu.

Siapa dia?

Keadaan ini terus berlanjut kala Keisha sudah berada di dalam kamarnya, berbaring menelentang di atas kasur. Wajah itu selalu kembali lagi dengan senyumannya. Lagi, dan lagi.

Keisha akhirnya bangkit dari pembaringan, duduk di tepian dengan kedua kaki terjulur ke lantai. Dan tatapannya tertuju ke arah langit gelap lewat dua daun jendela yang masih terbuka lebar.

Malam sepertinya sedikit berbeda kali ini. Gelap, dan sedikit taburan bintang di beberapa sisi selimut gelap itu sendiri.

***

Di tempat lain, seorang gadis juga sedang menikmati pesona lain langit malam hari itu. Dia adalah gadis yang sama yang sore tadi menemui Keisha di bangku taman. Tapi sang gadis tidak sendirian, ada dua sosok wanita lainnya sekarang bersama sang gadis.

Ketiga wanita tersebut sedang berendam di dalam sebuah kolam di samping kiri sebuah rumah semipermanen.

Rumah itu terlihat seperti bangunan yang sudah cukup tua dengan penerangan yang tersedia begitu minim di sisi luar. Keremangan itu mungkin akan mendatangkan rasa takut pada orang lain yang mencoba bertandang, terutama di waktu malam.

Bangunan itu lebih mirip rumah tradisional. Dari permukaan tanah yang tampak, yang terbuat dari semen dan bata hanya setinggi satu meter—di sekeliling bangunan itu sendiri—dan selebihnya, hanya terdiri dari susunan papan. Dan di bagian atasnya berupa atap yang membentuk sudut segitiga dari seng. Meski malam hari sekalipun, cukup terlihat bahwa seng-seng yang menutupi bagian atas rumah itu juga sudah menghitam dimakan karat.

Meski terlihat cukup tua, namun terlihat indah dan unik dengan beberapa ukiran yang ada pada sisi luar rumah tersebut: Pada setiap kusen jendelanya, daun jendela yang tertutup itu, pada kusen pintu-pintu yang ada, juga pintu-pintunya sendiri.

Ukiran juga terlihat menghiasi tiang-tiang penyangga atap: Dua tiang kayu di bagian depan rumah yang menjadi penyangga kanopinya, dan empat tiang lainnya yang ada di sisi kiri yang berdekatan dengan kolam itu sendiri. Empat tiang kayu itu menyangga atap yang menaungi beranda atau balai-balai di bagian tersebut.

Semua ukiran itu kebanyakan menggambarkan akar tumbuhan, dedaunan. Hanya ada dua jenis makhluk hidup lainnya yang menjadi motif ukiran: Burung dan ikan. Tidak ada ukiran binatang lainnya di sana, tidak pula yang menyerupai manusia.

Di atas balai-balai yang terbuat dari susunan utuh batang-batang bambu itu, terdapat satu kursi panjang, dua kursi pendek, dan sebuah meja persegi panjang. Baik meja dan semua kursi tersebut juga terbuat dari batang bambu. Di atas meja, terdapat sebuah nampan dari keramik. Dan di atas nampan terdapat satu teko dan tiga cangkir, kesemuanya juga terbuat dari keramik, berwarna putih susu dengan aksen lukisan warna biru pada beberapa sisi, begitu juga dengan nampan itu sendiri.

Satu-satunya penerangan di beranda itu menggantung di dekat atap di bagian tengah-tengah. Sebuah lampu penerangan yang cukup antik seolah berasal dari abad pertengahan.

Kembali ke kolam di mana ketiga wanita tersebut sedang berendam hingga sebatas dada. Kolam itu sendiri tidak begitu luas, namun juga tidak terlalu kecil, bahkan masih ada ruang bagi tujuh orang lagi untuk bisa ditampung sekaligus oleh kolam itu sendiri.

Kolam itu terlihat tidak dibuat sengaja seperti itu sebelumnya, sama sekali tidak. Lebih terlihat sebagai sebuah kolam alami tanpa ada satu pun bagian sisi kolam yang terbuat dari semen atau beton. Dasar kolam tertutup lapisan batu-batu kerikil dalam berbagai ukuran.

Bahkan, kolam berair jernih itu juga ditumbuhi bunga teratai kecil. Setidaknya, ada tiga warna teratai yang tumbuh di kolam tersebut: Merah, putih, dan ungu. Lebih mirip sebuah kolam ikan hias daripada sebuah kolam berendam. Kelopak-kelopak mawar berwarna merah juga memenuhi sebagian besar permukaan kolam tersebut.

"Memandangi bintang di langit tidak akan membuatmu mendapatkan pasangan."

Sang gadis tersenyum mendengar ucapan yang ditujukan kepada dirinya itu. Ia membalikkan badan, menyandarkan punggungnya ke sisi kolam. Lalu melirik wanita dengan rambut yang berwarna nyaris memutih keseluruhannya itu.