webnovel

Chapter 43 - Dia datang untuk kalian (1)

[Book 2]

"Tuan muda. Pelayan ini tertarik untuk tahu hal apa yang akan Anda lakukan."

Sang pelayan bertanya pada tuannya di kala tuannya tengah meminum teh yang dia sajikan. Melihat tuannya sudah berpakaian rapih dan terlihat baik setelah beristirahat tanpa melakukan apapun selama empat hari.

Valias agak merutuki waktu yang terbuang tapi kemudian memilih untuk menerimanya. Selain itu dia jadi punya cukup waktu untuk menyusun barisan rencana akan apa yang ingin dia siapkan untuk pertarungan antar kerajaan di sembilan bulan ke depan.

Harusnya begitu. Tapi pemuda itu ingin terlebih dahulu mengambil anak-anak Hayden yang sudah dikirim ke Solossa. Valias akan merebut kembali mereka.

Dia akan mengajak beberapa orang untuk pergi ke Solossa. Sedangkan dirinya akan menonton dari pinggir. "Kau bisa ikut."

Alister di tempatnya tersenyum. Merasa puas pada ucapan itu.

Benar. Mulai saat ini, apapun yang direncanakan oleh tuan mudanya itu, Alister harus menyaksikannya dengan kedua matanya sendiri.

Valias meminta Alister untuk memanggil Mareen. Membawa mereka berdua ke istana. Lebih tepatnya ruangan Frey.

"Solossa? Kau ingin ke sana?" Sang calon raja Hayden bertanya.

"Ya. Aku akan mengajak Nona Vetra untuk bergabung."

Frey mencibir. "Kau pikir kau ingin melakukan apa? Kunjungan piknik? Kau bicara seolah kau mengajak mage itu untuk mengunjungi monumen sejarah."

Valias tidak merespon. Frey menghela nafas. "Baiklah. Akan kuikuti kemauanmu." ucapnya. "Ada lagi yang kau butuhkan?"

Valias menimbang-nimbang. Kemudian berpikir bahwa ini kesempatan bagus lain untuk mempersatukan sosok-sosok yang akan memiliki peran dalam memperjuangkan Hayden. Valias berpikir untuk mengajak pria yang bernama Javas. Komandan prajurit istana Hayden. "Anda bisa memanggil Komandan Javas, yang mulia."

"Javas? Komandan yang ditunjuk ayahku itu?" Frey menaikkan alisnya. "Aku tidak menyangka kau punya kedekatan dengannya."

Valias bergumam. Ada hal yang dia rencanakan.

"Terserah kau." Frey menyerah. "Apa lagi?"

"Kei. Aku akan mengajaknya juga." Valias melihat ke arah Frey.

"...Kei?"

Frey kemudian tersadar. Valias, ingin melanjutkan aksinya menyelamatkan anak-anak Hayden. Jadi pemuda itu akan mengajak saudaranya juga?

Frey terdiam sebelum berdeham. "Kau tau cara memanggilnya?"

Kali ini Valias yang terdiam.

Benar. Jika dia ingin memanggil Kei maka dia harus menemui langsung laki-laki itu terlebih dahulu.

Frey memandangi Valias yang berdiri berdampingan dengan Alister dari bangkunya. Menghela nafas. "Bagaimana kau akan menemuinya? Meminta Vetra mengirimmu? Lalu bagaimana kau akan ke sana? Sendirian?"

Valias membalas pandangan Frey sebelum mengangguk. "Ya. Sendirian."

"Saya rasa saya tidak akan membiarkan itu, tuan muda."

Valias menoleh untuk melihat Alister yang sedang menundukkan kepada ke arahnya. Memberi senyum palsunya. "Mulai sekarang pelayan tua ini akan selalu mendampingi tuan muda Valias kemanapun dia pergi. Saya tidak menerima bantahan."

Valias mengerjap.

Aku tidak menyangka orang tua ini akan mengatakan itu.

Frey di bangkunya menontoni aksi saling menatap di depannya itu. Mengangguk-angguk kepada dirinya sendiri. "Pelayanmu benar. Kau harus selalu memiliki orang di sampingmu. Aku merasa jika tidak begitu maka aku hanya akan mempunyai gangguan kecemasan setiap kali kau keluar dari tempat tinggalmu."

Melihat Valias Frey tidak ingin apapun terjadi pada remaja itu. Dia sudah melihat Valias berdarah. Dia sudah melihat apa yang dilakukan laki-laki itu dalam membantunya. Frey tidak bisa tidak khawatir.

Bagi Frey, Valias adalah adiknya. Adiknya yang membutuhkan perhatian khusus.

Dia tiba-tiba teringat sesuatu. "Ah, benar." Dia bersuara. "Bunga-bunga di wilayahmu, aku sudah mengurusnya."

Valias terdiam. Baru teringat soal itu. "Bagaimana, Anda mengurusnya?"

"Aku belum melihat-lihat karena aku sedang punya banyak urusan di mejaku. Tapi kedua mage itu bilang bahwa bunga itu memang bukanlah bunga yang seharusnya ada di Reiss, dan juga daratan lain yang mereka tau. Bunga itu mencurigakan. Mereka mengambil cara aman dengan mengambil semua bunga itu. Menyimpannya di ruang berangkas istana. Bunga-bunga itu aman. Tidak akan ada yang menyentuhnya, jika itu yang kau khawatirkan."

Ah.

Valias kehilangan kemampuan berkata-kata.

Bunga-bunga itu, adalah pemberian Pralta. Meskipun dia melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan, Valias yakin bahwa elf perempuan itu memiliki niat yang baik.

Untuk mengambil bunga-bunga itu tanpa sepengetahuan sang elf, Valias merasa tidak enak.

Tapi sesuatu sudah terjadi. Tidak ada yang bisa dilakukan. Valias hanya akan meminta maaf pada elf perempuan itu. "Bunga-bunga itu adalah bunga yang Anda lihat empat hari lalu, yang mulia."

Frey menaikkan alisnya. "Empat hari lalu?"

Dia kemudian teringat. Matanya melebar dan mulutnya membuka.

"Bunga itu?!!"

Valias mengangguk. Frey langsung mengerti kenapa laki-laki di depannya bereaksi seperti tadi. Frey tidak tahu apa tujuan para elf menanam bunga yang mereka katakan sebagai bunga rahasia itu di wilayah Bardev. Tapi melihat apa yang tercipta dari bunga sihir itu, dia tau pasti mereka bukan bermaksud buruk.

"Haruskah aku meminta mereka mengembalikan bunga-bunga itu?"

Valias menimbang-nimbang. Menggeleng.

Jika bunga itu memang seharusnya dirahasiakan, maka lebih baik mereka disimpan di istana seperti yang sudah dilakukan.

Frey melihat gelengan Valias dan mengangguk. Sudah yakin pasti pemuda itu sudah membuat pertimbangannya.

Tok tok.

"Nona Vetra datang, yang mulia."

"Biarkan dia masuk."

Vetra masuk dengan tongkat miliknya. Membuat bungkukkan hormat ke arah Frey.

"Yang mulia." Dia mengangkat wajahnya dan melihat keberadaan Valias juga pelayan di sampingnya. "Ah, tuan muda!"

Ketidaksabaran terpancar dari wajah perempuan itu.

"Nona." Valias memberi sapaan.

Vetra sudah tahu. Kehadiran putra bangsawan muda itu di istana dan dipanggilnya dirinya ke hadapan sang putra mahkota bersama sang putra bangsawan hanya berarti satu hal.

Akan ada hal yang harus dia lakukan. Dan itu adalah hal yang pasti akan dirinya sukai.

"Nona Vetra."

"Ya, yang mulia."

"Kau akan bekerja di bawah tuan muda Valias. Lakukan apapun yang dia minta."

"Saya mengerti." Vetra menjawab dengan sepenuh hati. Mengangkat wajahnya menemui pandangan sang putra bangsawan dan langsung membalas senyum pemuda itu dengan senyum hangatnya.

"Sekarang apa yang akan kau lakukan? Menemui saudaraku?"

"Ya."

Valias baru akan berkata kepada Vetra untuk membawanya ke suatu tempat. Ketika cahaya lingkaran sihir yang diaktifkan muncul menarik perhatian semua orang yang ada di dalam ruangan.

Itu Kei. Seorang diri dia berdiri di atas lingkaran sihir yang cahayanya sedikit demi sedikit meredup.

Pakaian kusamnya masih sama seperti sebelumnya. Pedangnya yang bersarung kulit yang mulai mengelotok tergantung di sabuk pinggangnya yang juga terbuat dari kulit yang juga sudah sama mengelotoknya.

Pemuda bertubuh tinggi itu berdiri dengan wajah datarnya. Membalas pandangan Valias yang memiliki wajah melongo.

"Kau," Valias tidak mampu berkata-kata.

Kei menoleh ke arah Vetra. Membuat perempuan itu terperanjat.

Frey terlalu terkejut hingga dia tanpa sadar berdiri dari bangkunya.

Kei kemudian kembali menolehkan kepalanya. Kali ini ke arah orang yang ada di sisi belakang Valias.

Berbagi tatapan dengan orang tua itu hingga keduanya terlibat dalam perang mata tanpa siapapun berniat untuk kalah dari yang lain.

Valias mengerjap. "Kei. Kau, bagaimana kau ada di sini?"

Pria berwajah datar itu mengabaikan kekalahannya dari Alister dan mengalihkan perhatiannya pada Valias.

"Kau akan mengambil anak-anak itu."

Valias terdiam. Kemudian mengangguk.

Tapi bagaimana dia tau?

Valias bertanya-tanya akan hal itu.

"Bawa aku ke sana."

"Ya?" Valias keheranan di tempatnya. Tapi kemudian mendapat maksud Kei.

"Baiklah. Kita akan pergi bersama. Tapi sebelum itu kita menunggu beberapa orang dulu."

"Tidak perlu. Aku bisa mengurus mereka sendiri."

Semua orang memandangi Kei si sosok tinggi berambut hitam dan memiliki senjata itu.

Maksudnya dia bisa mengatasi orang-orang yang akan melawan mereka sendirian?

"Pft."

Kali ini perhatian semua orang teralihkan pada sosok lain yang ada di dalam ruangan bersama mereka. Sosok dengan rambut merah. Yang tertawa kecil sendirian di tempatnya.

"Ya, ya benar. Kau pasti bisa mengurus mereka sendirian."

Itu Kei. Sang tokoh utama di cerita yang dirinya baca. Survivor tunggal dari perang akibat pertarungan antar kerajaan yang berlangsung selama satu bulan tapi mencapai puncaknya di minggu terakhir.

Kei sang pemuda yang lebih kuat dari semua yang lain. Pemuda yang bisa bertarung melawan puluhan hingga ratusan orang sendirian dengan darah dingin dan pedangnya yang lebih tajam dari pisau manapun di dunia

"Tapi kita tetap memiliki hal yang harus kita lakukan terlebih dahulu." ucap Valias. Menoleh ke arah Frey yang sempat terkesiap walaupun kemudian mulai menghela nafas.

"Inilah yang membuatku tidak senang."

***

"Anak-anak itu tidak berkutik."

"Kau seperti baru pertama kali melihat mereka saja."

"Kenapa orang Hayden tega menjual anak-anak mereka?"

"Siapa tahu? Lagipula kenapa kau harus penasaran? Bukankah ini bagus? Kita tidak harus bekerja. Dan bukan anak kita juga yang bekerja. Tapi anak-anak itu. Yang rela melakukan apapun hanya demi mendapatkan makanan."

"Benar. Lagipula mereka bukan anak-anak kerajaan kita. Tidak ada keharusan bagi kita untuk berbelas kasih."

"Anak-anak itu sudah tidak lagi memiliki harga diri sebagai manusia. Mereka sudah seolah menjadi hewan ternak."

"Pemilihan kata-katamu kejam. Tapi kurasa kau benar."

"Permisi."

Kedua orang yang sebelumnya berbincang di tempat duduk mereka menoleh ke arah sosok yang baru saja bersuara.

Itu adalah sosok orang yang mengenakan jubah. Di sampingnya berdiri seorang pelayan tua yang memiliki senyum yang membuat kedua orang itu bergidik. Kemudian ada pengguna jubah lain. Dan yang terakhir adalah sosok pria tinggi dengan rambut dan mata berwarna hitam. Matanya sedikit menyipit oleh amarah kebencian. Kedua orang itu bisa merasakan tatapan ingin membunuh dari sepasang mata berwarna gelapnya. Memandang mereka penuh pandangan merendahkan. Seolah mereka berdua yang ada di bawah matanya hanyalah seonggok kotoran yang tidak selayaknya hidup di dunia.

Sosok yang sebelumnya bersuara mengeluarkan tangannya dari balik jubah. Perlahan membuka tudung yang yang menutupi rambut hitamnya dengan kedua tangannya.

"Tolong bawa kami ke tempat anak-anak yang barusan tuan tuan bicarakan." ucap sosok itu dengan senyum ramahnya.

04/06/2022

Measly033