webnovel

Be Your Wife

Judul lama : FAKE WIFE Simpan dulu siapa tahu suka ;) * Diculik dan di paksa menyamar sebagai sepupunya untuk di jodohkan, adalah hal yang tidak pernah Clarisa duga semasa 21 tahun hidupnya. Clarisa dibawa paksa pergi ke kota New York untuk bertunangan dengan seorang pria tua bangka. Kejutan demi kejutan Clarisa dapatkan begitu berada di sana. Mulai dari sepupunya yang memiliki keluarga kandung, lalu dari tunangan sepupunya yang ternyata sangat tampan dan juga sangat kejam. Namanya adalah Leo, pria 30 tahun yang tampan, yang menyembunyikan identitasnya sebagai pengusaha tua bangka. Apakah identitas Clarisa yang sebenarnya akan terungkap? Apakah Clarisa akan tetap aman di saat Leo mulai terobsesi padanya? * Hei, yang sudah mampir terima kasih ya... Jangan lupa beri power stone, komentar yaa.. Biar semangat nih authornya!

Chuuby_Sugar · สมัยใหม่
Not enough ratings
31 Chs

19. Mengelak

Leo menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Tidak ada yang membuka pintu kamar itu untuk memeriksa kondisinya, selain dokter pribadinya ataupun pelayan yang mengantarkan makan.

Jasmine? Gadis itu sama sekali tidak menunjukkan wajah kehadapan Leo, semenjak hari dimana dia memberi Leo semangkuk bubur. Leo tidak mengharapkannya datang! Ingat! Leo hanya heran saja.

Sudah tepat tiga hari Leo terkapar lemas diatas ranjang. Kondisinya tak kunjung membaik. Untung saja, Leo tidak pernah membawa wanita penghiburnya kerumah, pasti sangat mengesalkan jika Leo yang sedang beristirahat seperti ini diganggu.

Leo tidak mengharapkan mama Karina datang dan merawatnya, karena Leo memang sengaja tidak memberitahu hal semacam ini kepada wanita yang telah melahirkannya itu.

Leo menegakkan punggungnya saat pintu kamarnya terbuka, tapi semua semangatnya lenyap melihat Alan yang masuk kedalam kamarnya.

"Kenapa tuan tampak muram? Bukankah tuan harusnya senang saya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit?"

"Aku yakin kau yang mengancam dokter untuk segera memulangkanmu." Alan tersenyum, tuannya ini tahu gerak-geriknya bahkan hanya dengan berbaring di atas kasur.

"Kau mengharapkan orang lain yang masuk kesini tuan?" Ujar Alan sembari menyiapkan beberapa pakaian rumahan bersih untuk Leo.

"Tidak ada."

"Jangan berbohong padaku tuan. Aku tahu kau sedang menunggu seseorang saat ini."

"Lalu siapa yang kau maksud?"

"Nona Jasmine mungkin." Alan tersenyum melihat tuannya-Leo langsung terdiam. "Dengan melihat tuan yang terdiam seperti ini, aku rasa tebakan saya benar."

Leo mendesis tidak suka. "Ya, benar! Kau mau apa?!" Leo menendang kaki Alan yang posisinya tak jauh darinya, tapi Leo langsung memegangi perutnya yang sakit akibat adanya tekanan.

"Kita sedang sama-sama sakit tuan. Aku harap tuan bisa berdiam diri sejenak. Kita bisa berkelahi nanti saat sudah pulih." Leo kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang empuknya. Inilah rasa sakit akibat tidak segera ditangani.

"Bagaimana tuan, ingin kutelfonkan sekarang? Siapa tahu tuan akan nafsu nanti."

"Aku sedang tidak mood melakukan 'itu' Alan."

"Apa maksud tuan dengan 'itu'. Yang saya maksud adalah makan. Saya dengar tuan tidak nafsu makan, maka dari itu saya berniat memanggil nona Jasmine kesini." Leo melirik Alan dengan sebal.

"Sekali lagi kau bicara tidak jelas, akan kupotong lidahmu." Alan tertawa pelan.

"Baiklah tuan, setelah aku membantu tuan mandi." Leo mendelik.

"Jangan mendekat! Kau mau apa?!" Leo bangkit dari tidurnya, segera menjauhi Alan yang mendekatinya.

"Apalagi? Membantu tuan mandi. Saya dengar dari pelayan, tuan belum mandi selama tiga hari."

"Berhenti disitu! Aku bisa mandi sendiri." Alan benar-benar berhenti. Dengan cepat Leo merebut handuk dan mengambil pakaian bersih yang sudah Alan siapkan tadi.

"Kau lebih baik pulang. Aku kan sudah menyuruhmu libur. Ah, jangan lupa pecat semua pelayan yang mengadu padamu sebelum kau pulang." Ucap Leo sebelum akhirnya membanting pintu kamar mandi dengan keras.

Alan tersenyum, bagaimana dirinya bisa libur disaat tuannya tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuannya?

Beginilah mereka, saat tidak ada orang lain diantara mereka. Mereka akan bersikap biasa dan saling melempar candaan sebagai seorang teman.

Leo menciptakan batasan itu agar saat dirinya kehilangan Alan. Leo tidak akan merasa sangat terpukul sama seperti ketika Leo kehilangan kekasihnya dulu.

Alan hampir lupa, alasannya kemari adalah untuk memberi informasi pada tuannya, mengenai pengkhianat Dion yang hampir membunuh mereka malam itu.

*

"Berhentilah berputar Jasmine. Aku pusing melihatmu." Protes Denise pada temannya yang entah mengapa jadi sangat tergila-gila dengan balet beberapa hari ini.

Ini sudah sejak dua jam pelatihan berkahir dan Jasmine masih betah berlatih, sedangkan Denise sudah rapi dengan mengenakan pakaian casualnya.

"Aku tahu kau dulu hebat, tapi kau tidak bisa memaksakan tubuhmu untuk mengingat gerakan itu. Jangan buat instruktur marah padamu." Akhirnya Clarisa berhenti berputar dan menjatuhkan dirinya pada lantai.

"Aku memang bukan penari balet. Makanya aku berlatih keras." Gumam Clarisa.

"Apa?" Tanya Denise.

"Maksudku aku memang seperti bukan penari balet sejak kecelakaan itu." Denise tersenyum dan mendekati Jasmine yang sedang melepas ikatan tali sepatunya.

"Kau pasti bisa Jasmine, kembali ke masa kejayaanmu. Hanya saja kau tidak perlu memaksakan tubuhmu, pelan-pelan saja." Clarisa mengangguk, sembari mengelap keringatnya oleh handuk kecil yang diberikan Denise.

"Aku jadi penasaran apa yang membuatmu begitu semangat akhir-akhir ini?" Denise berfikir sejenak. "Apa itu karena Alexa?"

"What?! Kenapa karena dia?"

"Kau tahu, Leo sangat menyukainya. Aku fikir kau tidak ingin dikalahkan oleh Alexa, kau ingin membuktikan pada Leo bahwa kau lebih dari Alexa terlebih karena kau tunangannya."

Clarisa terdiam sembari membulatkan mulutnya. Mungkinkah?

Clarisa menyentil dahi Denise sedikit keras. "Berhentilah berkhayal."

"Aku tidak berkhayal Jasmine. Aku menyadarinya."

"Menyadari hal yang salah." Clarisa buru-buru masuk kedalam ruang ganti sebelum Denise berbicara hal yang tidak masuk akal lagi.

Clarisa sangat bersyukur, semenjak kedatangannya disini. Clarisa tidak kesepian karena memiliki teman sebaik Denise, walaupun sedikit rese.

"Kau ingin bermalam disini?" Tanya Clarisa pada Denise yang asik bermain hp, saat dirinya sudah selesai berganti pakaian.

"Itu yang kau katakan saat aku menunggumu selama dua jam?" Clarisa terkikik geli.

"Aku bercanda. Ayo kita cari makan. Kau yang pilih restorannya." Denise tersenyum sumringah, kekesalannya kepada Jasmine lenyap jika sudah menyangkut makanan.

Clarisa menyesal mengatakan itu, lihatlah dimana dirinya berada sekarang. Mereka duduk disebuah restoran sandwich.

Oh, Clarisa sama sekali tidak terbiasa mengenyangkan perut dengan roti. Biarpun sudah makan roti, setelah ini Clarisa pasti akan mencari makanan lain. Padahal Clarisa sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menggunakan uang papa Robert secukupnya.

Bahkan untuk gaun yang ia beli untuk adiknya, Clarisa berniat menggantinya. Clarisa merasa tidak berhak menggunakan semua kemewahan yang sebenarnya bukan untuknya ini.

"Kenapa kau diam saja Jasmine? Ayo makan. Kau butuh tenaga untuk menari lagi besok." Clarisa meraih sandwich itu dengan malas.

"Aku jadi penasaran apakah kedua keponakanku sudah menerima paket yang kukirim."

"Kau belum mendapatkan telfon dari mereka?" Clarisa menggeleng lemah.

"Mereka pasti akan mendapatkannya, mungkin paketnya sedikit oleng."

"Iya, semoga saja begitu."

"Lupakan itu, kau menginap dirumah Leo setelah acara ulang tahunnya bukan?" Clarisa mendelik, perasaan Clarisa tidak bilang pada siapapun soal itu.

"Aku melihatmu sedang membopong Leo yang mabuk ke dalam mobil ditengah-tengah acara." Denise tersenyum sembari menaik-turunkan kedua alisnya, menggoda Jasmine.

Clarisa menghela nafas panjang, malam itu memang benar Clarisa membopong Leo. Tapi bukan karena Leo mabuk, tapi karena Leo terluka.

Ah, Clarisa jadi ingat. Kira-kira bagaimana kondisi Leo saat ini? Mama Karina pasti tidak tahu jika Leo terluka. Tangan kanan Leo siapa namanya? Alan juga tidak terlihat ada bersamanya.

Abaikan saja, dirumah Leo banyak pelayan dan penjaga yang bisa merawatnya.

"Kenapa? Kau merindukannya?" Clarisa menyumpal mulut Denise dengan sandwich miliknya. Tanpa memperdulikan kebingungan Denise, Clarisa mengambil tasnya dan berlari keluar dari restoran.

Clarisa memang tidak menyukai Leo yang kejam, tapi Clarisa tidak menyangkal bahwa dirinya adalah manusia yang berperikemanusiaan.

Oke, bilang saja Clarisa penasaran dengan kondisi Leo.

Hai, lama tidak update ya

Jangan lupa terus dukung author biar tambah semangat nih huhuhuhu

Chuuby_Sugarcreators' thoughts