"Konnichi wa, Minna-san..." salam dari Yoshida sensei di pagi hari itu disambut koor balasan konnichi wa serempak dari kelasku. Miiku Yoshida sensei ini asli orang Jepang tapi sudah cukup lama menetap di Indonesia sehingga bahasa Indonesianya sudah cukup fasih meski logat bahasa Indonesianya masih bercampur dengan logat Jepangnya.
"Ogenkidesuka?" Tanya Yoshida sensei seperti biasa sebelum memulai kuliah bahasa Jepang.
"Hai, kenkōdesu." Jawab kami serempak lagi seperti sebuah kaset rusak yang selalu memutar rekaman yang sama setiap hari. Padahal di pojok sana ada Andri yang sedang menyusut hidung berkali-kali karena pilek, ada Bima yang sedang batuk-batuk, dan ada Abdi yang enggan melepas jaket karena meriang.
"Subarashīdesu." Yoshida sensei tersenyum senang. "Hari ini saya mau membagikan nilai tes yang kita lakukan minggu lalu."
Kelas pun langsung berisik oleh riuh rendah suara teman-teman sekelasku.
"Ah, dan saya punya kejutan-" Yoshida sensei tak langsung menyelesaikan kalimatnya. Sengaja agar tampak misterius.
"Sensei to wa?" Tanya Amel, salah satu temanku yang memang jago bahasa Jepang.
"Saya akan memberikan hadiah berupa buku untuk kalian yang punya nilai paling tinggi di kelas." Yoshida sensei tampak bahagia saat teman-teman sekelasku menanggapinya dengan antusias.
"Saya punya 3 orang yang punya nilai tertinggi di kelas. Nah, nanti tiga orang itu silakan maju satu satu ke depan dan pilih hadiah yang disuka. Oke?"
"Hai!" Bak dikomando, teman-teman sekelasku yang biasanya barbar jadi patuh.
"Amel," panggil Yoshida sensei. "Amel dapat nilai 100." Seisi kelas memberi tepuk tangan meriah pada Amel karena berhasil mendapat nilai tertinggi di kelas dengan nilai 100. Tapi itu bukan sesuatu yang mengejutkan karena Amel memang langganan dapat nilai bagus di semua mata kuliah. Lagipula Amel memang pandai bahasa Jepang. Amel maju ke depan kelas dengan bangga sembari mengambil kertas tesnya dari tangan Yoshida sensei.
"Kamu mau pilih buku yang mana?" Yoshida sensei menjajarkan tiga buah buku di atas meja. Amel memilih satu: Bahasa Jepang Untuk Perjalanan Wisata.
"Pilihan bagus," puji Yoshida sensei. "Kamu mau liburan ke Jepang?"
"Insyaa Allah, Sensei, kalo sudah terkumpul uangnya," jawab Amel.
Yoshida sensei tersenyum. "Ganbatte!"
"Arigatōgozaimashita," kata Amel lalu kembali ke kursinya.
"Shinta," panggil Yoshida sensei lagi. Seisi kelas kembali bertepuk tangan untuk Shinta yang berhasil mendapat nilai 98 dan menempati urutan kedua dalam perolehan nilai.
"Omedetō," kata Yoshida sensei sambil menyerahkan kertas tes milik Shinta.
"Kamu mau pilih buku yang mana?"
Setelah berpikir sejenak, Shinta akhirnya menjatuhkan pilihan pada buku berjudul Belajar Menulis Hiragana.
"Arigatōgozaimashita, Sensei." Shinta pun kembali ke kursinya setelah mengambil hadiahnya.
"Nah, sudah bisa menebak yang ketiga?"
Seisi kelas hening. Amel dan Shinta memang jagoan di kelas terutama kelas bahasa asing. Tak ada perkiraan lagi siapa yang bakal meraih peringkat ketiga karena stok mahasiswa yang pintarnya di atas rata-rata cuma mereka berdua. Sisanya hanya mahasiswa dengan kemampuan biasa saja.
"Omedetō, Samira-san!"
Makhluk di seluruh kelas menujukan pandangan mereka ke arahku. Aku yang sedang asyik mengunyah pilus karena lapar gara-gara tak sempat sarapan langsung merasa bersalah. Aku tak berani berkata apapun dan hanya mampu memberi tatapan kenapa-sih pada teman-teman sekelasku.
"Cieeee, Samira." Silvi yang pertama kali bersuara. Aku jadi makin bingung. Kenapa aku di-cie-in?
"Maju sana lo!" Anty menarik tanganku agar aku berdiri dari kursiku. Aku jadi makin takut. Kok aku disuruh maju? Beneran mau dikasih hukuman ya gara-gara aku makan pilus pas kuliah?
"Lo dapet urutan ketiga, Mir!" Tita yang menyadarkanku akan apa yang sedang terjadi.
"Hah?" Aku langsung gelagapan.
"Omedetō, Samira-san. Kamu berhasil dapat nilai 97."
Seisi kelas bertepuk tangan meriah untukku. Ada yang bersorak-sorai menyebut namaku dengan heboh. Beberapa yang lain ber-ciecie sambil bersiul. Ada juga yang meneriakkan seruan yang kutakutkan: Jangan Lupa Traktiran. Astaga, mahasiswa miskin seperti aku masih mau dipalak traktiran juga.
Aku akhirnya maju ke depan kelas dan menerima kertas hasil tesku. Sembilan puluh tujuh. SEMBILAN PULUH TUJUH. ASTAGA. SEMBILAN PULUH TUJUH. Berkali-kali kulihat tulisan angka Yoshida sensei di kertas yang kupegang. Beralih ke nama yang tertera di kertas. Samira Daneswari. Betul itu namaku. Aku benar-benar mendapat nilai sembilan puluh tujuh. Alhamdulillah.
"Ini satu-satunya buku yang masih ada. Jadi silakan diterima." Yoshida sensei menyerahkan sebuah buku bersampul biru berjudul Belajar Menulis Huruf Katakana kepadaku.
"Arigatōgazaimashita, Sensei!" Aku mencium tangan perempuan paruh baya itu lalu membungkuk berkali-kali.
Teman-teman bersorak sorai makin heboh melihat tingkah norakku. Bodo amat. Sembilan puluh tujuh. Yang penting nilaiku sembilan puluh tujuh. Setelah itu Yoshida sensei membagikan kertas tes mahasiswa yang lain selama sepuluh menit. Lalu kelas pun dimulai seperti biasa.
"Lo kok ga ngasih tau gue sih, Mir, pas tes Jepang minggu kemarin?" Protes Silvi. Anty dan Tita juga kompak mengangguk menyetujui protes Silvi.
"Aku aja ga nyangka dapet nilai 97. Malemnya tuh aku belajar asal-asalan aja."
Iya, aku selalu menerapkan sistem belajar cramming alias SKS alias sistem kebut semalam. Oleh sebab itu, aku tak pernah menyangka aku bisa mendapat nilai bagus meski kadang cara ini berhasil. Cara ini pernah kupakai waktu UN SMA. Aku baru benar-benar belajar saat di sekolah karena aku tak punya buku paketnya. Aku beralasan ingin belajar bersama temanku padahal niatku untuk meminjam buku paketnya. Ternyata cara ini berhasil. Tapi cara ini butuh 10% bakat menghapal, 10% kepandaian, dan 80% keberuntungan. Kesimpulannya kalo kamu masih gagal dengan cara ini kamu hanya kurang beruntung bukan kurang pintar.
Keesokan harinya aku kaget karena mendapat notifikasi pesan dari nomor tak dikenal.
"Kamu tau nomer ini ga?" Aku mengangsurkan ponsel ke Anty yang kemudian digilir ke Tita dan Silvi. Mereka semua menggeleng.
"Fiki kali, Mir," ledek Anty.
"Hah? Mana mungkin? Ga ada nama pengirimnya kok. Kalo Fiki sih mungkin udah dikasih nama." Aku menolak gagasan Anty soal kemungkinan siapa pengirim pesan itu. Rahasia bukanlah nama tengah Fiki. Dia kalo mau ngegombal ya ngegombal aja kayak ga ada malu.
"Tapi bunyi SMS-nya kenapa gitu? Hey, Samira. Selamat buat nilai tertinggi di Bahasa Jepang ya. Menurut lo siapa?" kali ini giliran Tita yang angkat bicara.
"Yang jelas dia pasti sekelas sama kita di kelas Bahasa Jepang," kata Anty. "Tapi siapa ya?" Anty, Silvi, dan Tita berpikir keras mencari sosok si pengirim SMS itu.
"Eh, seru juga nih. Kira-kira siapa ya yang naksir sama Samira? Lo mo pasang berapa, Vi? Etdah ceban doang? Lo berapa, Ta? Nah, dua puluh rebu. Mayan deh. Gue goceng aja. Bisa buat makan dua harian nih kalo menang." Anty mengipas-ngipas uang yang dia dapat dari Silvi dan Tita.
Aku menoyor kepala mereka bergantian saat mereka menjadikan aku taruhan.
"Gemblung kabeh! Sini duitnya mending buat aku aja," aku lalu mengambilalih uang dua puluh lima ribu yang dipegang Anty. Sorakan huu terdengar riuh di telingaku dari Anty.
"Hey kalian, boleh minta tolong ga?" Tanya Nuya menginterupsi saat aku dan ketiga temanku itu masih ribut masalah taruhan. Nuya ini teman sekelasku. Aslinya bernama Ayunda atau Ayun tapi teman-teman sekelas entah kenapa malah membalik namanya menjadi Nuya.
"Kenapa, Nuy?" Tanyaku, berharap Nuya bukan mau pinjem duit. Duitku lagi cekak. Kiriman juga belum dateng.
"Aku harus SMS temen tapi ga ada pulsa. Aku boleh minta pulsa?" Aku mendesah lega. Untung bukan mau pinjem duit.
"Oh, iya boleh kok, Nuy. Nih," aku menyodorkan ponselku padanya. Nuya langsung mengetik pesan.
"Kamu ada nomernya Afdhal ga di hp?" Tanya Nuya.
"Afdhal tuh yang mana ya?"
Nuya terlihat kesal lalu dia mengeluarkan ponselnya sendiri untuk mengecek nomor yang dimaksud.
"Lah, kok kamu nyimpen nomer Afdhal pake nama secret admirer, Mir?"
"Apaaa?" Aku terkejut bukan kepalang.
"Ciieee," seruan itu terdengar dari Anty, Silvi, dan Tita.
"Afdhal tuh yang mana sih, Nuy?" Tanya Anty semangat.
"Aku tadi mo kirim SMS ke Afdhal. Samira bilang ga ada nomernya. Pas aku ketik nomernya trus pas sending eh laporannya delivered to Secret Admirer. Kalian ga tau yang mana yang namanya Afdhal? Kan selalu sekelas sama kita." Kata Nuya.
"Yang mana sih?" Ketiga temanku masih saja heboh dengan penampakan Afdhal.
"Siniin hp kamu!" sementara aku langsung mencocokkan nomor ponsel di kontak Nuya dan kontakku sendiri.
"Oke, makasih, Nuy." Aku menepuk pundak Nuya sambil berjalan menjauh. Aku tiba-tiba langsung teringat sosok Afdhal Afdhal ini.
"Woy, mau kemana lo, Mir?" Teriak Anty yang tak kugubris.
"Harusnya aku yang makasih, Mir!" Teriak Nuya. Aku melambaikan tangan tanpa berbalik badan.
Tring. Ponselku berbunyi. Notifikasi pesan masuk. New message from Secret Admirer. Kubuka dan kubaca isinya.
Hai, Samira. Ini aku, Afdhal. Kamu pasti sekarang udah tau siapa aku kan? Salam kenal. Semoga kamu masih mau berteman sama aku.
Akhirnya aku ingat. Yang kutahu Afdhal itu kemana-mana sama Fiki karena mereka satu kos. Yang kutahu Afdhal itu juga pendiam. Yang kutahu Afdhal itu pemalu. Tapi kenapa dia berani SMS begini ke aku? Apa dia sudah ketularan gombalnya Fiki? Namun, saat kami bertemu di kampus di hari berikutnya Afdhal berlagak seolah tak pernah mengenalku atau bahkan pernah mengirim SMS pujian padaku. Apa semua cowok gombal di kota ini selalu melakukan pencitraan sebagai cowok pendiam dan pemalu?
***