"Sini dik, kok jauh-jauh dari kakak-kakak yang lain." Salah satu Mahasiswa Pendamping menyuruh Arya tak menjaga jarak dengan mereka. Namun, ia langsung mengiyakan ajakannya sebab Mahasiswa Pendamping itu sangat cantik di pandangan Arya.
Awalnya Arya hanya mengobrol dengan Mahasiswa Pendamping itu, namun lambat laun Mahasiswa Pendamping lainnya tertarik dengan obrolan mereka. Ada juga yang sengaja mendekati Arya hanya ingin melihat wajah Arya lebih dekat.
Seketika Arya kembali seperti biasa, tak ada lagi rasa panik atau apapun yang membuatnya gelisah. Ia terlalu asyik mengobrol dengan para Mahasiswa Pendamping sampai ia lupa jika acara ospek bukan untuk mencari relasi dengan kakak panitia.
Jam istirahat hampir tiba, ketua itu sama sekali tak lupa dengan janjinya. "Silahkan Arya, maju ke depan sini."
Seketika Arya tertegun. Ia kira ketua itu akan memanggil secara face to face, ternyata sampai menggunakan mikrofon. Arya merasa ada yang aneh, melangkahkan kakinya kembali memasuki lapangan futsal.
"Nah sekarang kamu coba nyanyi sambil joget," kata ketua itu. Arya terperanjat, ia bertanya-tanya kenapa harus melakukan itu semua.
"Bukannya tadi kakak bilang nggak ada kekerasan?" tanya Arya.
"Memangnya nyanyi dan joget termasuk kekerasan?" ketua itu tanya balik, Arya pun tak mampu membalasnya.
"Ini hanya hukuman agar kamu tak lupa dengan kewajibanmu. Lagian cuma nyanyi dan joget kok. Sebentar, lagunya biar kakak yang pilih."
Cuma nyanyi dan joget? Yang mana pun itu, keduanya bukanlah sesuatu yang Arya senangi. Jika bernyanyi, ia masih bisa meski suaranya sangat tak merdu. Tetapi jika berjoget, Arya tak mempunyai bakat semacam itu dari lahir. Kakinya kembali gemetar, dan Zia kembali menertawakannya. Ketua itu kembali setelah memilih lagu yang sekiranya membuat Arya benar-benar merasa malu.
"Kamu tenang saja. Kamu nggak joget sendirian kok. Kakak temani." Entah itu bantuan atau bukan, Arya senang jika ia tak melakukan hal konyol sendirian. Mendadak sebagian Mahasiswa Pendamping tadi, juga ikut menemaninya. Arya pun hanya tersenyum paksa.
Kemudian mereka semua bernyanyi sambil berjoget ria. Mereka yang kenal dengan Arya hanya bisa menertawainya sambil bertepuk tangan, karena suara dan gerakannya sangatlah kaku dan tak sesuai dengan irama. Arya merasa kesal melihat ejekan mereka. Selama 5 menit, Arya menunjukkan sisi kebodohannya di depan mahasiswa baru. Setelah itu jam istirahat berbunyi.
"Sekarang istirahat dulu, ya. Masuknya masih lama, sekitar satu jam lagi," ketua itu menaruh mikrofon, mematikan sound system, lalu meninggalkan lapangan.
Arya yang saat ini berada di kantin bersama Fahrizul dan Fahmi, memecah kemasan botol yang ia pegang.
"Udah-udah, nggak usah sampai marah segala. Tadi itu hitungannya bukan hukuman tapi hiburan." Fahmi mencoba menghibur Arya sambil menahan tawa.
"Kalau mau ketawa, ketawa aja kali. Nggak usah sok ditahan segala," kata Arya kasar, wajahnya benar-benar tak berubah sejak mereka meninggalkan lapangan futsal.
…
Selesai sudah ospek hari pertama. Arya benar-benar tak menikmati hari ini. Kemudian ia pulang bersama Zia. Bahkan saat Zia ingin membahas tentang pagi tadi, Arya sama sekali tak ingin mengingatnya, dan menyuruh Zia agar melupakan masalah sepele itu.
Setelah ia mengantar Zia sampai rumah, Arya langsung menuju rumah, menyiapkan semua peralatannya yang dibutuhkan esok hari. Setelah mandi, makan, Arya langsung tidur.
…
Besoknya, Arya terbangun dari tidurnya sangat pagi. Meregangkan badan sembari menunggu kesadarannya kembali. Biasanya ia selalu melihat jam dinding yang terpasang di atas ventilasi pintu. Namun karena takut mengulangi kesalahan yang sama, Arya sekali lagi mengecek peralatannya, ada yang belum dimasukkan ke tas kardusnya atau tidak.
Setelah selesai mengecek sambil melihat daftar peralatannya, Arya meninggalkan kamarnya, mengambil handuk yang dijemur di ruang cuci, menuju kamar mandi. Ia sempat merasa kedinginan saat air pertama menyentuh tubuhnya. Ia tahu ini masih pagi sekali, namun ia tak tahu saat ini jam menunjukkan pukul berapa.
Lima belas menit menghabiskan waktu di kamar mandi, ia keluar dan terkejut melihat ibunya yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Lo, Ibu. Pagi-pagi kok udah ngagetin anaknya." Arya terperanjat, melompat ke belakang.
"Kamu semangat sekali hari ini. Ada apa?"
Arya kebingungan dengan pertanyaan ibunya. "Nggak ada apa-apa, Bu." Ibunya juga kebingungan harus membalas apa. Ibunya terheran kenapa Arya mandi pagi jam setengah 4 pagi. Ini sangatlah jarang, bahkan hampir tak pernah. Biasanya Arya selalu kembali tidur jika waktu masuk sekolah masih sangat lama.
Saat pukul 4:30 pagi, Arya baru tersadar mengapa ibunya kebingungan. Ia sendiri juga tak tahu jika ia bangun terlalu pagi. Pantas saja airnya dingin, gumam Arya dalam hati sambil melihat waktu di ponselnya.
Kemudian ia langsung sarapan yang telah disiapkan ibunya. Arya menaruh ponselnya, meninggalkan kamar, melangkahkan kaki menuju ruang makan. Di ruang makan hanya ada ibunya yang sedang duduk di kursi.
"Ayah belum bangun, Bu?" tanya Arya pada ibunya.
"Ini masih pagi sekali. Kalau bukan karena kamu ospek jam segini, ibu juga nggak menyiapkan sarapan."
Arya terkekeh pelan melihat ibunya yang masih dipenuhi belek di matanya.
"Nggak harus nyiapin sarapan bu selama Arya masih ospek. Asal ada roti, mentega, meses, Arya bisa bikin sarapan sendiri. Toh juga bikinnya gampang."
"Ya sudah, kalau begitu mau-mu. Nanti Ibu belikan roti sama meses deh. Sekarang sarapan dulu sana."
Di meja makan, Arya melihat nasi goreng kecap dengan porsi jumbo dan segelas susu. Baru mencium aromanya, perut Arya langsung berbunyi, mulutnya hampir mengeluarkan iler. Tak sampai 10 menit, nasi goreng dan segelas susu habis tak tersisa.
"Bu, aku berangkat sekarang aja, ya,"
"Lo, mau ngapain? Ini masih jam 5 kurang. Memang kampus mu udah dibuka gerbangnya?" tanya Ibunya, sedikit terkejut.
"Ya nggak ngapain-ngapain. Cuma mau cari angin pagi aja. Udah lama juga nggak olahraga pagi. Seenggaknya kan bisa merasakan suasananya." Arya berkata sambil terkekeh.
"Aduh. Kamu ini aneh-aneh aja." Ibunya menghela nafas. "Ya udah kalau mau berangkat. Hati-hati di jalan."
Arya mengangguk. Kemudian kembali ke kamarnya, mengambil tas kardus buatannya, jaket tebal dan tak lupa ponsel dan dompet yang berisi surat-surat. Arya mengeluarkan motor dari garasi yang sempit. Mobil milik ayahnya terlalu besar untuk ukuran garasinya saat ini.
"Duh, mobil Ayah ganggu amat. Mana mobilnya dua lagi." Arya sedikit mengeluh ayahnya mampu membeli dua mobil, namun tak mampu memperlebar garasinya. Kemudian ibunya keluar dari rumah, diikuti ayahnya yang tak menggunakan baju.
"Lho, Ayah udah bangun? Aku pikir masih ngorok."
"Kamu pagi-pagi aja udah bikin suara di garasi. Gimana Ayah nggak bangun coba." Ayahnya menguap, masih mengantuk.