Bahkan beberapa orang di sekitarnya juga terheran mengapa pemuda itu bisa mengatakan hal sensitif semacam itu secara terang-terangan. Pada akhirnya mereka cepat-cepat menghabiskan makan siang mereka lalu keluar dari tempat itu dengan perasaan malu. Dalam hatinya, Arya sangat senang ketika pembayaran dilakukan sebelum mereka memakan apa yang dipesan. Sehingga mereka tak lagi menghadapi pemilik warung secara tatap muka.
"Kami semua tahu kalau mulutmu memang tak bisa dibedakan dengan sampah, tapi lain kali jangan mengatakan hal semacam itu ketika kau sedang bersama kami! Apa kau tak tahu kalau aku sedang menikmati makan siangku dan semuanya berubah ketika semua orang di sana memandang kita!"
"Kau juga hampir membuatku mati tersedak, dasar tolol! Aku tak mau mati konyol seperti itu karena ulahmu yang kurang aja!"
Saat ini mereka berada di belakang gedung fakultasnya. Di sana mereka bisa berteriak sekencang apapun karena tempatnya cukup tersembunyi dan kedap suara. Beruntung tak ada sekumpulan orang-orang yang menggunakan tempat ini, hingga mereka bisa meneriaki Arya sepuas mereka.
"Hehehe, aku menyadari kalau perbuatanku tadi memang bodoh. Tapi aku mengatakan sejujurnya. Apa pemilik warung makan itu ingin merontokkan gigi pelanggannya, Aku sempat memaksakan mengunyah lebih keras lagi. Tapi aku tak mau gigiku menjadi ompong di usiaku yang masih sangat muda dan mengedepankan penampilan."
"Persetan apa kau mau jujur atau tidak. Tapi kau membuatku geram karena menghalangiku menikmati makanan itu!"
"Ini tak adil! Bagaimana bisa pemilik warung makan itu memasak makanan terbaik dan terburuknya dalam waktu yang sama?!"
"Mana aku tahu! Kau pikir salah satu dari kami anaknya?"
"Lupakan tentang makanan enakmu itu, sialan!" Fahrizul menyela Fahmi lalu melanjutkan. "Selain itu bagaimana wajahmu yang pucat itu hilang! Padahal sebelumnya kau tak ada bedanya dengan mayat hidup!"
"Kau masih membahas itu! Bagaimana kalau kita makan di tempat lain karena perutku masih kelaparan?"
Arya, Fahrizul, Fahmi memiliki masalah masing-masing yang tak bisa diselesaikan secara bersamaan. Mereka mendapat kesialan itu ketika Arya berkata sesuatu yang sangat sensitif hingga tak satupun dari mereka memiliki keberanian kembali ke tempat itu. Di lain pihak, apa yang dikhawatirkan Fahrizul perlahan semakin membuatnya penasaran.
Temannya sudah melatih Aliyah dan Tia untuk mengikuti kompetisi basket yang di adakan di pinggir kota. Memang beberapa pertemuan terakhir Fahrizul tak lagi melihat perkembangan mereka sebab Arya memintanya untuk tak melatih mereka lagi agar pikiran Aliyah dan Tia fokus pada instruksi satu pengajar saja.
Walau masih ragu dan kebenaran itu, Fahrizul sampai detik ini mengira jika Arya pasti memiliki kecemasan tersendiri pada mereka berdua. Terlebih lagi tak sampai satu minggu Arya sudah mulai mengikuti turnamen Liga Basket Indonesia yang diadakan di sejumlah kota. Sudah dipastikan ia tak bisa menyaksikan langsung pertandingan temannya. Sudah mempersiapkan semuanya sebaik mungkin dan mengerahkan pengetahuan tentang basket, Arya percaya jika kedua gadis itu beserta temannya tak akan mengecewakan diri mereka sendiri serta teman-teman lainnya.
Lagi pula Arya percaya dengan kemampuan temannya Aliyah meskipun hanya mendengar dari ceritanya saja. Dalam dunia olahraga apapun, perbandingan antara laki-laki dan perempuan memang tak bisa dibandingkan. Sejatuh cinta apapun Arya pada olahraga basket, ia tak pernah menyaksikan pertandingan basket wanita baik melihat secara langsung maupun siaran. Sehingga ia tak bisa menilai sebagus apa dan seburuk apa ketika perempuan seumurannya sedang bermain basket.
"Sudahlah, lupakan soal perutmu itu. Kau bisa lanjut makan sebelum kau pergi UKM. Masih ada yang ingin aku tanyakan pada Arya," ucap Fahrizul namun tak menatap Arya sama sekali.
Tak hanya Arya, bahkan Fahmi juga ikut menatapnya. "Seberapa penting pembicaraan yang akan kau bicarakan sampai rela temanmu ini kelaparan?"
"Tidak bisa dibandingkan. Sangat susah membandingkan obrolan kami ini dengan orang idiot yang terus merengek meminta makan," sindir Fahrizul. Arya di sampingnya mendadak tertawa keras dan lantang, tak menduga jika temannya juga bisa membuat lelucon semacam itu.
Selama beberapa detik kedua sejoli itu adu mulut sedangkan Arya memilih melanjutkan tertawanya daripada melerai mereka. Waktu terus berjalan dan Fahrizul merasa tak bisa menunda waktu lebih lama lagi.
"Cepat katakan pada kami sebenarnya apa yang kau cemaskan? Jika tidak ada, setidaknya ubahlah kulit wajahmu agar tak pucat seperti itu." Fahrizul sedikit terkejut melihat wajah Arya kembali seperti sebelumnya.
Arya tak bisa mengelak lebih dari ini. Nampaknya Fahrizul benar-benar penasaran apa yang sedang dialaminya semalam dan membuatnya tidur tak nyenyak. Ia mengambil napas panjang lalu dihembuskan begitu saja, lalu Arya menceritakan semua kejadian semalam.
"Hahaha! Kau ini sedang mengkhayal atau bagaimana? Mana ada kejadian mimpi di dalam mimpi! Apa yang kau katakan ibarat tokoh kartun sedang menonton film kartun. Benar-benar penuh khayalan."
Apa yang Arya khawatirkan benar adanya. Kedua temannya langsung tertawa jika dirinya mengalami sebuah kejadian di mana ia mengalami mimpi di dalam mimpi. Arya bukan dokter ataupun ahli spritual, tapi ia pernah membaca jika hal semacam itu bisa dikatakan false awakening atau mimpi di atas mimpi.
"Pertama, kau terus bertanya padaku dengan menanyakan hal sama. Sekarang setelah apa yang aku katakan… kau justru tertawa dan mengira aku sedang menghalu? Memang orang paling bodoh yang pernah aku jumpa."
"Hahaha, kau dikatain bodoh," tawa Fahmi sembari memukul pundak Fahrizul.
"Kau juga, idiot!"
"Terus? Apa yang membuatmu menjadi pucat begini karena mimpi pertama kau melihat sosok menakutkan sampai keluargamu mengira kau sedang mimpi buruk?" Fahrizul menggali lebih dalam.
"Entahlah. Aku tak yakin apakah itu bisa dikatakan mimpi buruk atau tidak. Tapi aku bisa mengingat semuanya ketika aku terbangun pukul 3 pagi."
Setelah mendengar penjelasannya, Fahrizul dan Fahmi tak bisa memutuskan apakah Arya sebenarnya sedang sakit jiwa atau tidak. Semua orang pastinya pernah mimpi ketika sedang tidur, namun tak semua pernah mengalami false awakening, dimana orang yang mengalami hal tersebut dibuat kebingungan dengan dunia mimpinya sendiri, termasuk mereka berdua.:
"Memang kau yakin melihat sosok mengerikan itu? Bukannya kau bilang ketika kau bangun, kakak sepupumu sudah ada di hadapanmu?" Fahrizul memastikan sekali lagi.
"Ya, aku tak salah melihat. Bahkan aku sempat mengamati sosok mengerikan itu selama beberapa detik sebelum aku melihat wajah kakakku."
Semuanya menjadi membingungkan dan aneh ketika seseorang tak mengerti tentang apa yang dialaminya, namun demi mencairkan suasana, Fahmi memiliki pemikiran yang tak pernah terlintas di pikiran orang normal.
"Bagaimana kalau sosok mengerikan itu ternyata kakak sepupumu sedang menyamar dan mengendalikan pikiran untuk berusaha menakut-nakutimu? Sedikit masuk akal, kan apa yang aku tebak?"
Note: Author sendiri memang tak tahu banyak tentang lucid dream, false awakening, dan sebagainya. Jadi kalau ada salah penjelasan dalam chapter ini, maafkanlah. Hehehe ^^