webnovel

Menghitung Prestasi

Ketika pagi menjelang siang, Arya sudah sampai di kampus yang ia banggakan setelah mendapat banyak beranekaragam teman. Dari teman yang kalem, humoris, cool, cerewet, seakan semuanya telah ditakdirkan bertemu Arya untuk mewarnai kesehariannya di kampus. Setelah memarkirkan motor di parkiran depan gedung fakultasnya, perlahan pemuda itu berjalan sembari membopong tas ransel berwarna hitam.

Di dalamnya terdapan setelan seragam tim basket kampusnya. Sedangkan sepatu yang biasa ia gunakan setiap basket, terpaksa ditaruh dalam bagasi motor karena Arya tak mau membawa beban berlebihan hingga membuat tubuh bagian atasnya terasa nyeri dan pegal. Gedung fakultasnya memang tak sebesar fakultas lainnya, bahkan Fakultas Pendidikan pun memiliki tingkat hingga 10 lantai dan terdapat lift di dalamnya. Dan juga masih ada bangunan tingkat 3 di sampingnya, biasanaya digunakan para mahasiswa dan dosen melakukan interaksi seperti konsultasi maupun ruang multimedia.

Sedangkan gedung Fakultas Olahraga hanya berlantai 3. Walau sebenarnya tak terlalu tinggi, setidaknya Arya bersyukur karena fasilitias olahraga di universitasnya sangat lengkap. Soal bicara akreditasi maupun prestasi, tentu fakultasnya sudah mendapat penilaian baik setelah melewati beberapa tahap serta memenangkan beberapa perlombaan lokal maupun nasional.

Selama perjalanan menuju kelas, Arya bisa melihat sepanjang lorong bangunan terdapat berbagai bentuk etalase berisikan piala. Dengan sejumlah sebanyak itu bahkan Arya tak bisa menghitungnya meski diberi waktu selama 5 menit. Saking banyaknya bahkan beberapa mahasiswa baru ketika berhasil keterima sebagai anggota Fakultas Olahraga, kebanyakan dari mereka sangat senang.

Berbagai prestasi dari olahraga bola, akuatik, hingga bela diri. Arya sempat berhenti sejenak lalu berpikir apa jangan-jangan piala ini sebenarnya prestasi dari berbagai fakultas namun dijadikan satu dan dipajang di sepanjang lorong gedung Fakultas Olahraga? Kalau pemikirannya itu memang benar, maka Arya berhak mencela fakultasnya sendiri sebab terlalu egois dan mementingkan urusan internal.

Tetapi Arya juga tak mengubah mengambil kesimpulan, sebelum menentukan apakah pemikirannya itu benar atau tidak, ia melangkah lebih pelan lagi dari sebelumnya dan memeriksa satu per satu piala itu. Setiap piala pasti ada kategorinya dan dari situlah semua orang bisa mengetahui tujuan piala itu dibuat dan dibentuk dengan berbagai macam.

Setelah berjalan dari lorong ke lorong bahkan sempat menarik perhatian orang lain, tak terasa ia telah menghabiskan waktu 10 menitnya di depan etalase itu. Andai Arya berniat menghitung berapa jumlah piala yang diperoleh, mungkin ia bisa mendapatkan dan mengingatnya. Nahasnya ia hanya penasaran apakah pemikirannya salah atau tidak, bukan karena ingin mengetahui jumlahnya sebab sejak awal Arya sudah tahu kalau jumlah piala di etalase lebih dari 200 piala.

Beberapa detik kemudian ada seseorang yang memanggil namanya. Spontan fokus Arya terpecah lalu mengalihkan pandangannya ke belakang. Tertanya hanya teman kelasnya, sedangkan dirinya berharap sosok itu adalah Amelia.

Tapi, untuk apa Amelia datang ke gedung fakultasnya sedangkan Arya tak pernah berencana menemuinya?

"Yak, kau sedang apa di depan etalase?" Fahrizul bertanya

"Sedang memeriksa karena sangat penasaran."

Fahrizul sejenak mengeringkan keningnya lalu lanjut bertanya. "Kalau boleh tahu, apa yang ingin kau pastikan? Mencari piala UKM basketmu karena gagal memasuki babak 32 besar?" Fahrizul melakukan sarkas.

Arya tak suka pertanyaan itu, sekilas mulutnya berdecak keras. "Kalau kedatangamu hanya mengganggu, aku minta kau pergi sekarang."

"Ayolah, aku serius. Apa yang ingin kau pastikan?"

Mengabaikan pertanyaan teman di belakangnya, Arya kembali memeriksa piala satu per satu hingga akhirnya ia bisa menyimpulkan pemikirannya tadi. Setidaknya Arya sedikit lega sebab semua piala itu memang diperoleh dari mahasiswa Fakultas Olahraga. Namun beberapa kali ia melihat ada piala yang sangat menarik perhatiannya sejak tadi, yakni piala UKM basket.

Arya sempat meragukan karena piala itu sekilas terlihat asli, namun setelah mengamatinya sekali lagi, ia tahu kalau itu hanya replika. Tak hanya piala UKM basket saja tetapi olahraga yang mewajibkan harus bermain tim juga mendapatkan bentuk replika masing-masing agar terlihat adil. Setelah apa yang dikhawatirkannya ternyat tak terjadi, Arya memutuskan langsung menuju kelas ketika dirinya baru sadar hanya dalam hitungan menit perkuliahan segera dimulai.

"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku?!" Fahrizul mendengus kesal lalu mau tak mau mengikuti langkah Arya.

Saat istirahat jam makan siang, seperti biasa Arya, Fahrizul dan Fahmi sering bersama. Tak satupun mereka pernah terlihat berpisah ketika di luar maupun di dalam kelas. Kebanyakan teman mereka selalu melihat ketiga orang itu di manapun. Taman, perpustakaan, kantin, warung makan depan universitasnya. Temannya pun bisa melihat mereka sendirian ketika menjelang mengikuti kegiatan UKM masing-masing mengingat mereka memiliki hobi dan cita-cita yang berbeda.

Fahrizul beberapa kali sempat mengawasi Arya semenjak pertemuannya di lorong penuh etalase itu. Walau sebenarnya ia sendiri juga kebingungan apa yang diawasinya, namun melihat wajah Arya semakin siang semakin tak bersahabat, Fahrizul memaksakan dirinya sendiri untuk bertanya.

"Apa hanya aku saja yang mengira kalau wajah teman kita ini sangat pucat dari pagi tadi?"

Spontan Arya dan Fahmi menghentikan sendoknya ketika hendak memasuki mulut. Perlahan mereka menaruh sendok di tangan mereka di atas piring masing-masing, lalu memandang Fahrizul dengan wajah lesu.

"Jadi, kau sedang membicarakan siapa?" Fahmi di depannya bertanya, kesal waktu makan siangnya terganggu.

"Siapa lagi kalau bukan pemain basket profesional yang mendapatkan pendapatan puluhan juta di usianya masih muda."

Arya langsung paham maksud ungkapannya itu, juga ia tak suka Fahrizul harus menggunakan kata-kata itu untuk menunjuk dirinya. "Ada masalah apa?"

"Wajahmu, kawan! Kau sangat pucat seakan aku sedang berteman dengan mayat hidup. Apa kau sedang sakit dan menyembunyikannya dari kami?" Fahrizul bertanya dengan nada sedikit keras, sambil menunjuk-nunjuk dahi temannya.

Fahmi yang tak bisa membedakan wajah pucat dengan wajah bodoh temannya, mendadak terkejut dan mulutnya menganga kebingungan. "Benarkah? Perasaan di mataku wajah Arya tak kenapa-kenapa dan memang terlihat seperti ini."

"Aku tak tahu kalau punya masalah penglihatan. Orang mana pun tahu kalau wajah orang ini sedang pucat. Sekarang katakan apa kau sedang sakit, mengkhawatirkan sesuatu…"

"… atau menahan buang air besar?" Fahmi menyela begitu saja. Tebakannya sering kali melenceng dari pembicaraan dan mereka juga sering kali memukul kepalanya.

"Aku tak sedang sakit, menahan buang air besar, atau apapun itu. Seperti yang kalian lihat aku sudah berulang kali mengunyah daging sialan ini tapi tetap alot. Aku berjanji demi apapun tak akan pernah mengunjungi tempat ini lagi."

Arya memang sedikit bebas dari pengawasan orang tuanya. Namun menilai buruk buatan orang lain di depan orangnya langsung, itu sama sekali tak pernah diajarkan oleh kedua orang tuanya maupun guru-gurunya yang mengajar sejak sekolah dasar hingga saat ini.