webnovel

Tidak Ada Kata Teman

"Lihat deh, kita ketemu siapa di sini? Kok kayaknya nggak asing banget."

Bola mata Arkala membulat sempurna, tatkala melihat Arsena dan Aileen berdiri di sampingnya.

"Kalian berdua ngapain di sini?" tanya pemuda itu.

"Bukannya elo yang udah bikin gue masuk rumah sakit?"

Arkala membuang wajah. Pasti Arsena tengah menertawainya dalam hati.

"Dokter, kenapa dengan teman saya?" tanya Aileen.

"Mas ini kecelakaan, Dek. Tadi dia diantar warga ke rumah sakit."

"Dok, kok dokter manggil mereka Adek, sih? Kenapa sama saya, Mas?"

Arsena dan Aileen mengulum tawa. "Itu karena kita berdua keliatan masih muda. Coba lo ngaca, mungkin muka lo udah banyak flek hitamnya." Arsena memanasi. Puas sekali rasanya.

"Dokter, ruangannya sudah siap."

"Baik. Mari, Dek."

Kedua gadis itu mengangguk sembari melambaikan tangan pada Arkala yang tengah menggeram kesal.

"Karma datang dengan sendirinya," ucap Arsena tersenyum puas.

"Lo tetep mau bawa rok ke sekolah?"

"Yes. Gue nggak akan lupa sama janji gue. Tapi liat situasi aja, kalau Arkala udah masuk dan sembuh total, baru gue bawa."

Arsena tidak menyangka jika ia akan bertemu dengan Arkala. Mereka baru saling mengenal, namun hubungan keduanya sudah memburuk. Bahkan Arsena adalah siswi baru yang masuk tadi pagi, dan seharian ini sudah banyak keributan yang terjadi antara keduanya.

"Ya udah kita balik ke kamar aja. Lo masih harus istirahat."

Arsena mengangguk dan kembali berbaring di atas ranjang rumah sakit.

"Lo udah kasih tahu orang tua lo?"

"Belum, Ay. Gue nggak mau ngerepotin mereka. Lagian bentar lagi juga bisa pulang."

"Kalau gitu, lo tunggu di sini dulu, ya. Gue mau keluar beli makanan."

Aileen pergi meninggalkan Arsena yang masih berbaring. Perutnya terasa perih karena belum diisi makanan apa pun.

"Kenapa rumah sakit ini gede banget, ya? Apa nggak pusing orang-orang yang dateng?" gumam Aileen, sembari memperhatikan tiap sudut rumah sakit tersebut.

"Ayang!"

Aileen menoleh, rambut panjangnya terhempas dengan indah. Kecantikan Aileen membuat jantung pemuda seseorang di sana hampir meledak.

"Gavin? Lo semua pada ngapain di sini?" tanya Aileen pada Gavin, Alvaro dan Matteo.

"Kita mau jenguk si bos. Katanya dia masuk rumah sakit," ucap Gavin memasang wajah lemas.

"Oh, Arkala? Gue juga tadi sempet ketemu sama dia, sih. Kondisi dia parah deh kayaknya."

"APA?" pekik tiga pemuda yang tengah berderet di depan Aileen.

"Maksud lo, Kala harus operasi?"

Refleks Matteo memukul kepala Gavin cukup keras. "Nggak usah sembarangan kalau ngomong. Coba lo denger dulu penjelasan Aileen," ujarnya.

"Ay, gimana?" tanya Matteo.

Namun Aileen hanya terdiam, seakan tidak melihat kehadiran Matteo di depannya.

"Mending lo liat aja ke dalem, Vin. Supaya lo tahu keadaan dia."

Hati Matteo mencelos. Perih sekali rasanya melihat sikap Aileen yang tidak menganggap kehadirannya.

Gavin melirik Matteo dengan tatapan sendu. "Ay, yang tanya bukan gue, tapi Matteo," ucap Gavin mengutarakan ketidaknyamanannya.

"Gue tahu. Tapi gue maunya ngasih tahu lo. Kalau gitu gue mau beli makan dulu, bye."

Setelah Aileen pergi, suasana terasa canggung. Gavin mengusap tengkuknya tidak enak.

"Teo, lo baik-baik aja, akan?" tanyanya.

Matteo hanya mengangguk sembari menepuk dada Gavin. "Kita temui Kala."

Aileen membuang napas berat, ketika sudah berada jauh dari Gavin dan teman-temannya.

"Kenapa perasaan gue masih kayak gini, sih?"

***

"Di kamar nomor dua puluh tujuh."

Ketiga pemuda tampan itu segera mencari kamar di mana Arkala dirawat. Mereka terlihat cemas dan tergesa-gesa.

"Apa yang dibilang Aileen tadi bener, ya? Apa kondisi Kala seserius itu?"

Gavin tak hentinya mengoceh. Berbeda jauh dengan dua temannya yang lain. Apalagi Alvaro, lelaki itu terlihat tenang seperti tidak memikirkan sesuatu.

Kalau Matteo... ah, sudahlah. Gavin tidak ingin mencari masalah dengan temannya yang satu ini.

"Ini kamarnya." Matteo mendorong pintu begitu saja.

"Kala!" teriak ketiganya sembari menghampiri ranjang Arkala.

"Akhirnya kalian dateng juga," ucap Arkala yang sedari tadi memainkan ponsel.

"Lo kenapa bisa kayak gini, sih? Lo lagi balapan liar? Atau lo dikerjain sama anak-anak BUSUI?" tanya Gavin, beruntun.

"Nggak, nggak. Gue murni kecelakaan." Arkala mengubah posisinya menjadi duduk dan bersandar di kepala ranjang.

"Terus dokter bilang apa?" sambung Matteo.

"Gue udah nggak apa-apa, kok. Cuma ada luka luar aja. Nggak ada yang serius."

"Tapi tadi Aileen bilang, katanya kondisi lo mengenaskan," timpal Gavin.

Arkala mendengkus kesal. "Aileen sama Arsena itu nggak bisa dipercaya. Tadi mereka nyamperin gue, dan mereka malah ngetawain gue. Apa nggak kurang ajar?"

Matteo berdeham, dan membuat Arkala langsung mengatupkan bibir.

"Kita semua langsung kaget, tadi. Makanya langsung nyari kamar lo," imbuh Gavin lagi.

"Makasih, ya. Lo semua udah dateng ke sini." Arkala merangkul bahu Gavin dan Matteo yang berada di kedua sisinya.

"Lo nggak mau kabarin bokap?" tanya Alvaro yang sedari tadi hanya diam.

Arkala menggeleng sembari tertawa hambar. "Dia nggak akan peduli sama gue. Cukup kalian yang nemenin gue di sini."

"Oma lo?"

Arkala kembali menggeleng. "Oma pasti syok liat gue di sini."

"Tahu lo, Al. Oma itu sayang banget sama Kala. Kalau dia syok dan sakit, emang lo mau tanggung jawab?" sahut Gavin sedikit emosi.

"Pokoknya jangan ada yang kasih tahu keluarga gue. Dan kalau balik, gue akan balik ke apartemen."

Gavin dan yang lainnya mengangguk mengerti. Keluarga Arkala memang tidak seharmonis dulu, semenjak sang ibu meninggal duni dan ayah Arkala memiliki hubungan dengan wanita yang usianya lebih muda.

"Eh iya, Sena dirawat di sini juga? Di kamar mana, La? Gue mau jenguk dia," ucap Gavin yang sudah berdiri dari duduknya.

"Nggak tau. Tapi kayaknya nggak jauh dari sini," jawab Arkala. Tumben sekali dia tidak emosi mendengar nama Arsena.

"Kalian berdua jagain Kala di sini. Gue mau jenguk Sena." Gavin meninggalkan kamar Arkala dan ketiga temannya.

"La, mungkin ini karma buat lo."

Arkala menatap Matteo sinis. "Ini cuma kecelakaan. Nggak ada yang namanya karma."

Matteo dan Alvaro hanya saling melirik sekilas. "Mending lo berdamai aja sama anak baru itu. Kayaknya dia emang nggak ada takut-takutnya sama lo."

"Nggak bisa. Dia udah lancang dan bikin gue malu di depan anak-anak. Gue nggak bisa diginiin, Yo!" ucap Arkala penuh drama.

Pemuda itu sangat tidak suka ditentang, apalagi oleh seorang gadis yang baru saja hadir di hidupnya.

"Kalian semua harus bantu gue buat balas dendam ke cewek itu."

"Tapi, La...."

"Kenapa? Aileen? Gue nggak terima alesan!"

Alvaro hanya membuang napas ringan. Si irit bicara itu tidak memiliki alasan untuk tidak menuruti perintah Arkala.

"Lo kecelakaan di mana?" tanya Matteo, mengalihkan topik.

"Di perempatan yang nggak jauh dari sekolah. Untung gue pake helm. Kalau nggak, mungkin gue udah nggak ada di sini lagi."

"Lo udah minta maaf sama Arsena?"