webnovel

Dendam Semakin Besar

"Jadi saya udah boleh pulang, Dok?"

"Iya. Kamu cuma kekurangan cairan aja. Lain kali, harus banyak minum air putih minimal dua liter sehari, ya."

Arsena mengangguk kuat sambil tersenyum lebar.

"Kalau gitu saya permisi dulu."

"Terima kasih, Dok."

Gadis itu menghela napas lega dan kembali menyandarkan punggung. "Akhirnya gue pulang juga," gumamnya.

"Sena!"

Tubuh Arsena sedikit tersentak, ketika melihat Gavin tiba-tiba masuk.

"Vin? Lo ngapain di sini? Lo bukan sengaja mau jenguk gue, kan?" tanya Arsena dengan kening berkerut.

"Hehe... gue lagi jenguk Kala, dan kebetulan tadi ketemu Aileen di depan. Katanya lo juga dirawat di sini."

"Bos lo habis kecelakaan," ucap Arsena tiba-tiba.

"Gue tahu. Tapi keadaannya udah baik-baik aja, sih. Cuma luka luar doang. Lo sendiri, gimana?"

Arsena menggerakkan tubuhnya penuh semangat. "Gue udah boleh pulang. Tapi lagi nunggu Aileen dulu."

"Baguslah."

Gavin kembali terdiam. Sejujurnya dia masih tidak enak hati dengan kejadian ini. Arsena sakit karena dirinya, dia yang sudah membuat gadis itu sakit perut hingga kehilangan banyak cairan.

"Na," panggil Gavin dengan suara rendah.

"Kenapa?"

"Maafin gue, ya. Lo jadi kayak gini gara-gara gue."

Arsena mendengkus pelan. "Iya, ini semua gara-gara lo! Lagian lo kenapa, sih? Kenapa mau aja disuruh lakuin ini sama si Arkala? Lo dibayar berapa, huh?"

"Gue... gue nggak dibayar, Sen. Tapi gue juga nggak bisa nolak," ucap Gavin, sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Arsena berdecih. "Kayaknya kalau dia nyuruh lo terjun ke jurang, lo juga nggak akan nolak," ujarnya sarkasme.

"Ya nggak gitu juga, Sena. Gue cuma menghargai yang namanya pertemanan."

"Pertemanan macam apa yang lo maksud?"

Gavin terdiam beberapa saat. "Ya... pokoknya sulit banget buat nolak kemauan Kala," tegasnya.

"Eh, ngapain lo di sini?"

Kedua orang itu menoleh ke arah pintu, dan munculah Aileen yang tengah membawa kantung plastik berisi makanan.

"Gue lagi jenguk Sena, Ay," jawab Gavin, sambil menaik turunkan kedua alisnya.

"Ngapain lo jenguk Sena, hah? Bukannya lo seneng liat dia kayak gini?"

Gavin langsung berdiri dan mendekati Aileen. "Astaghfirullah, Ay. Kenapa lo suudzon terus sama gue, sih?"

Aileen menghela napas dan berbalik, berhadapan dengan Gavin. "Gimana gue nggak suudzon? Lo aja ngasih Sena coklat, tapi isinya beracun. Dan sekarang Sena di rumah sakit karena ulah siapa, hah?"

Arsena hanya menyaksikan keributan itu. Dia tidak akan melerai. Biarkan saja Aileen membuat Gavin sadar, bahwa yang dia lakukan itu adalah sebuah kesalahan.

"Iya, gue tahu. Tapi gue udah minta maaf kok sama Arsena. Iya kan, Sen?"

Aileen menoleh pada Arsena. "Lo maafin?"

Arsena mengangguk. "Gavin udah gue maafin, tapi bos nya nggak akan gue maafin sampai kapan pun!"

Gavin tidak peduli dengan Arkala. Yang terpenting Arsena tidak memiliki dendam pribadi padanya. Gavin mulai hafal seperti apa sikap dan sifat gadis itu. Sepertinya Arsena adalah gadis yang sulit untuk dihadapi.

"Oh ya, Ay, gue udah boleh pulang. Lo bantu gue beres-beres, ya."

"Biar gue bantu juga," sela Gavin.

"Nggak usah, Vin. Mending lo balik ke ruangannya Arkala. Siapa tahu dia butuh sesuatu," kata Arsena.

"Tahu lo. Balik sono, kasian si Kala. Tadi gue liat kakinya luka, pasti dia nggak bisa jalan," sambung Aileen, terlihat bahagia.

"Oke deh. Kalau gitu gue pergi dulu. Bye."

"Ay, emang si Gavin kayak gitu, ya? Dia keliatannya beda dari anggota The Boys yang lain."

"Emang beda, Sen. Dia itu lebih friendly menurut gue, tapi kalau udah berantem, dia yang paling brutal. Apalagi berantemnya sama anak BUSUI."

Kening Arsena mengerut seketika. "BUSUI? BUSUI apaan yang lo maksud?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Ih, lo jangan berpikiran aneh dulu. BUSUI itu sekolah yang kemarin tawuran sama kita. Yang lo bubarin itu."

Arsena akhirnya membulatkan mulut dengan sempurna. "Aneh banget sih namanya. Kenapa harus BUSUI?"

"Itu kan singkatan sekolah mereka. Udah ah, semuanya udah rapi. Sekarang kita pulang."

Arsena mengangguk dan menggandeng tangan Aileen keluar. Kedua gadis itu menyusuri lorong rumah sakit yang panjang dan ramai dilalui oleh banyak orang.

"Perut lo udah enakan, kan?"

Arsena mengangguk kuat. "Udah lebih enakan."

"Lain kali, jangan mau terima apa pun yang dikasih sama geng itu. Gue udah hafal banget. Kalau mereka baik, pasti ada tujuannya."

"Gue juga nggak mau lagi percaya sama dia. Untung cuma obat pencuci perut. Kalau racun, gimana?"

Aileen memukul lengan Arsena pelan. "Bakal gue laporin si Arkala ke kantor polisi. Nggak peduli walaupun dia anak orang kaya sekali pun."

"Ay, menurut lo Matteo gimana, sih?"

Kedua mata Aileen sedikit melebar, dia menoleh pada Arsena dan menatapnya intens. "Lo suka sama Matteo?"

"Nggak suka juga, sih. Gue seneng aja liatnya. Badan dia bagus, dia juga ganteng. Gue yakin, pasti dia rajin olahraga."

Aileen menghela napas berat dan merangkul kedua bahu Arsena. "Lo itu jangan tertipu sama penampilan. Walaupun dia ganteng, tapi belum tentu hatinya baik. Gimana kalau ternyata dia tukang selingkuh?"

Arsena tertawa dan melepas tangan Aileen yang melingkar di bahunya. "Kayaknya Matteo bukan tipe cowok yang suka selingkuh, deh. Dia kayaknya setia. Gila ya, cewek beruntung mana yang bisa dapetin dia," ujar Arsena sembari menggeleng takjub, membayangkan wajah tampan Matteo.

Aileen berdecih pelan. "Jangan dibahas lagi. Ayo balik!"

Arsena mengangguk dan mereka menghentikan sebuah taksi yang melintas.

"Gue anter lo dulu."

"Oke."

Setelah menempuh hampir tiga puluh menit perjalanan, Arsena pun tiba di depan rumahnya. Rumah sederhana berwarna putih dan dilindungi oleh pagar kayu dengan warna senada.

Gadis itu melangkah perlahan. Menghindari pertanyaan curiga dari anggota keluarganya.

"Sena."

Arsena memejamkan kedua matanya dalam-dalam, ketika mendengar suara Amira dari belakang.

"I-iya, Bu?" sahut Arsena berbalik.

"Kamu kenapa? Kok mukanya keliatan pucat? Kamu sakit?"

Sebagai seorang ibu, Amira memiliki firasat yang kuat. Apalagi terhadap anak-anaknya. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu menangkup wajah putrinya yang terlihat tidak baik-baik saja.

"Sena nggak apa-apa, Bu. Mungkin karena kecapean aja," ucap Arsena. Dia tidak ingin membuat Amira khawatir.

"Bohong, Bu. Pasti terjadi sesuatu sama Kak Sena."

Bobi datang. Bocah berusia sebelas tahun itu sengaja ingin membuat masalah pada Arsena.

"Nggak kok, Bu. Si Bobi mah, emang nyebeli. Dia mah kompor. Hobinya bikin aku sama Ibu berantem." Arsena menatap sang Adik dengan tatapan mencekam.

"Sudah, sudah. Bobi, jangan kayak gitu lagi. Kakak kamu baru pulang sekolah."

Bobi mencebik kesal. Ibunya selalu membela Arsena.

"Sena, kamu istirahat, ya. Ibu mau buatkan sayur buat kamu."

Arsena mengangguk. Sebelum menaiki tangga, dia menjulurkan lidah ke arah Bobi.

Sesampainya di dalam kamar, Arsena menjatuhkan tubuh di atas kasur berukuran king size miliknya.

"Gue harus kasih pembalasan sama Arkala."