webnovel

Cokelat Pencuci Perut

"Emang tadi otak si Kala kenapa?"

Gavin menipiskan bibir dan menarik Iqbaal duduk. Sebelum Arkala menerkam dan membuat ia tidak bisa bernapas.

"Baal, lo kenapa nggak gabung sama geng kita aja? Gue rasa lo cukup berani. Apalagi kemarin lo berdiri di barisan paling depan waktu golongan BUSUI itu nyerang sekolah kita."

Iqbaal menghela napas ringan, membuat Arkala dan yang lainnya menatap laki-laki itu.

"Gue bukannya nggak mau. Tapi gue udah di cap anak baik-baik sama keluarga. Kalau tiba-tiba gue masuk geng motor, bisa-bisa uang THR tiap lebaran berkurang."

"Lo nggak usah khawatir kalau soal uang THR, si Kala bisa kasih sepuluh kali lipat. Iya kan, La?"

Iqbaal membulatkan mata takjub. "Kala suka bagi-bagi THR?" tanyanya polos.

"Iya dong. Geng kita ini berkualitas. Jangankan THR, tiap bulan puasa aja kita dapet parsel makanan dan minuman."

Apa yang Gavin katakan memang benar. Arkala bukan orang yang pelit bin kikir. Dia sangat dermawan. Jika uangnya terlalu banyak di dalam dompet, maka Arkala akan membelanjakan makanan dan membaginya ke seluruh anggota The Boys.

"Pantes aja kekayaan lo nggak pernah habis, La. Ternyata lo sering sodaqoh. Nggak kayak si Gavin, dia banyak duit tapi giliran gue mau pinjem malah nggak ada."

Gavin memukul kepala Iqbaal pelan. "Gue bukannya pelit, tapi lo selalu minjem di saat gue nggak punya duit!"

"Al, bulan depan lo ada kompetesi, kan?" tanya Matteo menatap Alvaro yang masih fokus dengan ponselnya.

"Hm."

"Alvaro, lo kenapa pendiem banget, sih? Lo nggak terkontaminasi sama Gavin? Dia kan pecicilan." Iqbaal sangat penasaran. Alvaro berbeda dengan teman-temannya yang lain. Dia sangat pendiam dan maniak belajar.

Yang membuat Iqbaal semakin membingungkan, mengapa Alvaro tidak masuk jurusan IPA dengan kumpulan anak-anak cerdas? Laki-laki itu justru memilih jurusan IPS bersama makhluk bobrok yang sering mendapat masalah.

"Harusnya lo tanya kayak gitu sama Gavin. Kenapa dia nggak terkontaminasi sama Alvaro? Harusnya dia bisa berubah supaya cerdas," ucap Matteo. Matteo juga bukan orang yang terlalu banyak omong seperti Gavin, tapi tidak pendiam seperti Alvaro. Dia netral.

"Kita ini diberi kelebihan masing-masing sama Tuhan. Walaupun gue nggak secerdas Alvaro, tapi pesona gue selalu bisa menaklukan hati para wanita." Gavin menyugar rambutnya ke belakang sambil bersiul pelan.

Menurutnya, kaum hawa zaman sekarang tidak memedulikan wajah. Yang penting humoris, seperti Gavin.

"Terserah lo, deh. Asal lo bahagia." Matteo mengakhiri topik.

Kelima laki-laki itu mulai fokus dengan makanan masing-masing. Arkala meringis pelan, merasakan nyeri di punggung akibat ulah Arsena.

Dia melirik sekitar dan melihat Arsena tengah tertawa bersama Aileen. Bisa-bisanya gadis itu tertawa setelah membuatnya malu sekaligus kesakitan.

"Vin, gue punya tugas buat lo," ucap Arkala tiba-tiba.

"Apaan, Bos? Udah lama banget gue nggak dapet perintah khusus dari lo." Gavin mengusap telapak tangan sambil tersenyum jahat.

Jika sudah seperti ini, pasti Arkala akan memberi titah untuk menjahili seseorang.

"Kasih ini ke cewek itu."

Gavin menoleh ke belakang, mengikuti arah yang ditatap oleh Arkala. "Sena?"

"Iya. Lo kasih ini ke cewek yang udah bikin gue malu."

Gavin mengusap tengkuk tidak enak. Bukannya dia ingin menolak, tapi Gavin sudah menganggap Arsena sebagai teman. Lagi pula gadis itu sangat baik dan satu frekuensi dengannya.

"Tapi, Bos...."

Arkala berdecak kesal dan langsung meletakkan sebuah cokelat berbentuk bulat ke telapak tangan Gavin. "Lo kasih, atau lo yang gue kasih?"

Gavin menelan ludah dengan susah payah melihat kepalan tangan Arkala yang mengacung di depan wajahnya.

"Baal, lo aja deh yang kasih," pinta Gavin memohon.

"Gak! Kala udah kasih perintah sama lo, jadi lo yang harus kasih ini ke Sena."

"Berdua."

Bola mata Iqbaal membulat sempurna. Mengapa dia jadi terbawa oleh perintah Arkala?

"La, tapi kan...."

"Satu, dua...."

Iqbaal dan Gavin segera beranjak meninggalkan meja sebelum Arkala menghajar wajah mereka hingga babak belur.

Matteo tertawa pelan melihat wajah Iqbaal dan Gavin yang tertekan. "Lo jahat banget sama mereka, La."

"Lo mau juga?"

Matteo menggeleng sambil mengibas kedua tangan di depan wajahnya. "Al, bos lo, nih."

"Bos lo juga," sahut Alvaro tanpa menoleh.

***

"Beruntung sampai sekarang lo masih hidup, Na."

"Emangnya kenapa? Lo doain gue supaya cepet mati?"

Aileen mengusap wajah Arsena dengan telapak tangannya. "Maksud gue, masih untung Arkala nggak ngapa-ngapain lo. Biasanya ya, kalau dia merasa terusik sama orang pasti langsung nyuruh Gavin buat balas dendam."

Arsena hanya tertawa hingga kepalanya mendongak. "Kalau si Kalajengking itu berani ngapa-ngapain gue, besok gue bakal bawa rok buat dia."

"Ngapain lo bawa rok?" tanya Aileen dengan kening mengerut.

"Supaya dia ganti pakai rok. Lagian cowok mana sih, yang berani balas dendam sama cewek? Mending dia jadi bencong aja sekalian."

"Hai, Sena."

Aileen dan Arsena menoleh ke samping. Mereka tersenyum melihat Gavin dan Iqbaal yang tiba-tiba datang.

"Hai. Lo berdua ngapain ke sini?"

Gavin berdeham. "Gue tadi beli cokelat kebanyakan. Lo mau, nggak?"

Arsena menatap cokelat di tangan Gavin dengan sumringah. "Mau dong. Lo tahu aja kalau gue suka cokelat!" seru Arsena sembari mengambil cokelat tersebut.

"Vin, lo nggak ada niat jahat, kan?" Aileen menatap curiga pada Gavin. Tidak biasanya laki-laki itu memberi cokelat atau makanan pada wanita.

"Ng-nggak. Ngapain juga gue jahatin Sena. Iya kan, Baal?"

Iqbaal mengangguk pelan, sangat pelan. Dia tidak tega jika nanti Arsena kenapa-kenapa. Masih mending hanya sakit perut, kalau sampai masuk rumah sakit, gimana?

"Hm... cokelatnya enak banget, Vin."

"Sena!"

Dari meja yang berbeda, Arkala tengah tersenyum puas melihat Arsena memakan cokelat yang dia berikan. Ternyata sangat mudah sekali menjebak gadis itu.

"Lo yakin itu cokelat?"

"Iya. Lebih tepatnya cokelat pencuci perut," ucap Arkala tersenyum puas.

Matteo menggeleng heran. Meski sudah biasa, tapi dia tidak tega juga jika Arsena menjadi korban Arkala selanjutnya.

"Jangan sebenci itu sama orang. Nanti malah jadi suka."

Manusia dingin di samping Arkala tiba-tiba bersuara. Membuat Matteo dan Arkala melirik Alvaro.

"Fokus aja sama belajar. Nggak usah ngurus beginian," ujar Arkala.

Gavin dan Iqbaal kembali dengan wajah muram. Kedua makhluk langka itu duduk dan melipat kedua tangan di atas meja sambil memanyunkan bibir.

"Kenapa lo berdua? Kayak baru diputusin pacar aja," ucap Matteo terkekeh.

"Kita kasian sama Arsena. Nggak tahu deh setelah ini dia gimana."

Arkala menyesap susu kotak rasa stroberi kesukaannya hingga tandas. "Lo tenang aja, Vin, dia cuma sakit perut dan itu pun cuma sehari."

"Jadi, cokelat itu bisa bikin sakit perut?" tanya Iqbaal, sembari menatap wajah Arkala dengan berani.

"Lo berani ngeliatin gue kayak gitu?"