5 Susu Teh Ina

"Sakit, hm? Gue bisa bikin lebih sakit dari ini."

Arsena memandang wajah Arkala geram. Enak saja dia bisa melakukan apa pun padanya. Gadis itu tersenyum penuh arti, tatkala Arkala melirik ke arah lain. Dan tangannya menjulur, lalu menarik tangan Arkala yang menggantung.

Bruk!

"Sena!"

"Kala!"

Seisi kelas memekik kaget. Arsena rupanya menarik tangan Arkala hingga tubuhnya ambruk di samping tubuh Arsena yang masih tergeletak.

Gadis nakal itu berdiri sambil menepuk kedua tangannya. "Gimana? Sakit, kan? Makanya nggak usah sok jagoan jadi orang." Dia pergi meninggalkan Arkala yang tengah memegangi punggungnya yang sedikit nyeri.

Gavin dan Matteo berlari dan segera membantu ketua mereka. Dengan bantuan keduanya, Arkala dibawa kembali ke kursi.

"La, lo nggak apa-apa, kan?"

"Nama gue Arkala, bukan Lala."

Gavin mencebik samar. Beginilah ketuanya. Jika sedang marah pasti menolak dipanggil 'La' namun jika sedang baik-baik saja, ia tidak pernah protes. Dan Gavin hanya harus bersabar dengan semua ini.

Setelah memastikan Arkala baik-baik saja, Gavin dan Matteo kembali ke tempat masing-masing.

"Vin, gimana keadaan Kala?" tanya Iqbaal berbisik.

"Dia baik-baik aja. Tapi pinggangnya mungkin sakit."

"Encok?"

Gavin menggeleng cepat. "Mana mungkin si Kala encok. Dia itu masih muda, bugar, kondisi badannya baik. Paling cuma nyeri doang." Kali ini Gavin tidak berniat menghina Arkala. Dia justru merasa kasihan pada laki-laki itu, karena baru kali ini ada orang yang berani melawannya.

"Teo, menurut lo Kala bakal balas dendam?"

"Pasti lah. Harga diri dia dipertaruhkan di sini." Sungguh di luar dugaan Matteo. Dia pikir Arsena tidak seberani itu, ternyata ia lebih berani dari apa yang dipikirkan.

Matteo menoleh ke samping, melihat Arsena yang sedang berbincang dengan Aileen. Mereka terlihat sedang berdebat, dan sepertinya Aileen sangat khawatir jika Arkala melakukan sesuatu yang lebih buruk pada Arsena.

"Sena, lo tahu nggak sih, apa yang udah lo lakuin sama Kala barusan?"

"Tahu. Gue udah bikin dia jatuh," jawab Arsena santai. Dia membuka kotak makan yang berisi sandwich isi daging.

"Itu lo tahu. Tapi kenapa masih bisa santai?"

Gadis itu menyodorkan kotak makannya ke arah Aileen, bermaksud memberikan sepotong sandiwch yang tersisa padanya. "Makan dulu. Lo udah marah-marah dari tadi."

Aileen berdecak kesal. Bisa-bisanya Arsena masih bisa bernapas dengan tenang setelah membuat masalah dengan macan sekolah.

"Na, gue serius. Gimana kalau Kala balas dendam sama lo?"

Arsena berhenti mengunyah. Dia menoleh pada Aileen yang tengah menatapnya dengan cemas. "Gue nggak peduli," ucapnya kembali mengunyah.

"Sena!"

Semua pasang mata menoleh ke meja Arsena dan Aileen, setelah Aileen menggebrak meja dengan cukup keras. Dia sebal, kesal dan tidak tahu harus berbuat apa. Padahal dia mencemaskan Arsena. ArKala adalah laki-laki dengan harga diri setinggi langit, ia tidak akan melepas orang yang sudah membuatnya malu.

"Gue nggak takut sama dia. Dia itu cuma bisa sembunyi dibalik kekuasaan bokapnya."

***

Bel tanda istirahat sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Arsena sudah menarik tangan Aileen menembus orang-orang di tengah koridor.

"Ayo, Ay, kita harus sampai kantin duluan. Gue udah laper."

"Sabar kali, ah. Ini gue juga udah lari. Tapi kenapa kantinnya jauh banget, sih?"

Arsena terus menarik tangan Aileen. Mereka tidak melihat siapa saja yang menjadi korban tabrak lari mereka.

"Sena tunggu!"

Terlambat. Arsena kembali mengibarkan bendera perang dengan Arkala. kepala gadis itu menabrak punggung macan sekolah, hingga membuat Arkala membalikkan tubuh.

"Mampus," gumam Aileen mematung.

"Kalian ngapain sih jalan di tengah koridor? Udah tahu rombongan, harusnya minggir. Kalian nggak tahu kalau gue sama Aileen lagi buru-buru?" Arsena mengomel panjang lebar di depan wajah Arkala.

"Sena, hidup lo punya masalah apa, sih? Kenapa lo seneng banget cari masalah sama Kala?" tanya Gavin, mewakili ketiga temannya yang masih mematung.

"Vin, gue nggak pernah cari masalah duluan sama dia. Apa lo nggak lihat, badan dia itu tinggi, bahunya lebar, gede, terus jalan di tengah koridor. Udah kayak pohon beringin aja. Tapi pantes sih, karena dia dingin, dan berhantu." Arsena bergidik ngeri dan terus mengoceh. Sedangkan laki-laki di depannya hanya diam, tidak bergerak, persis seperti patung hidup.

"Mending lo sekarang pergi." Matteo membuka suara.

"Ngapain lo ngusir kita seenaknya, hah? Emang lo siapa? Kenapa nggak lo aja yang pergi?" Aileen ikut berdiri di samping Arsena tepat di hadapan Matteo.

Matteo yang ditatap tajam oleh Aileen hanya bisa berdeham dan memalingkan wajah ke arah lain.

"Cabut." Arkala berbalik meninggalkan Arsena dan Aileen yang masih berdiri sambil berkacak pinggang. Untung saja dia sedang berbaik hati. Jika tidak, sudah dipastikan Arsena menyesal karena sudah memarahinya di depan umum.

"Nggak nyangka gue, ternyata ada orang kayak mereka."

"Sama. Apalagi Matteo. Udah sok ganteng, sok cool. Pokoknya nyebelin!"

"Ay, lo punya masalah apa sih sama Matteo? Kayaknya dia lebih banyak diem, tapi kenapa lo benci banget sama dia?"

Aileen mengusap tengkuknya pelan. "Nggak ada, sih. Gue nggak suka aja sama dia. Ayo ah pergi."

***

"Vin, lain kali lo harus urus cewek itu dengan baik. Kayaknya dia makin berani aja sama Kala."

"Kenapa nggak lo aja yang urus mantan lo dengan baik?"

Matteo mendesah pelan. Mendengar kata mantan membuat bulu kuduknya meremang. Entah itu alergi atau apa namanya.

"Al, gimana menurut lo? Apa kita harus bikin penjagaan ketat buat Kala?"

Alvaro hanya melirik dan mengangkat bahu. Dia kembali memainkan ponsel yang tengah memperlihatkan Ensiklopedia online.

"Kalau orang pinter emang beda, ya. Di kantin aja masih sibuk belajar," ucap Gavin.

"Gue mau beli makanan. Siapa yang mau ikut?" Matteo berdiri dari duduknya, dan bersiap membeli makanan.

"Gue pengen susu Teh Ina."

Susu rasa stroberi menyembur dari mulut Arkala membasahi meja secara tiba-tiba. Membuat Gavin dan Matteo saling bertatapan.

"Lo kenapa, La? Lagi minum aja bisa keselek," tanya Gavin bingung.

"Lo tadi bilang apa, Vin? Susu teh Ina?"

Gavin mengangguk polos. "Iya. Teh Ina kan jualan minuman susu. Ada yang aneh?"

Tiba-tiba saja Matteo terbahak dan memukul bahu Gavin cukup keras. "Haha... gue tahu kenapa Kala keselek," ucap Matteo di sela tawanya.

"Kenapa?"

"Lo pasti mikir yang aneh-aneh, kan? Lo pasti mikirnya susu yang lain." Matteo menunjuk wajah Arkala yang tersipu.

Bola mata Gavin membulat dan kembali menatap Arkala sambil menggeleng. "Nggak nyangka gue. Ternyata lo diem-diem udah tahu susu."

Arkala mencebik pelan dan mengibaskan tangan, mengusir kedua temannya agar cepat pergi. Wajahnya merona tapi berusaha dia sembunyikan dibalik sifatnya yang dingin. Menyesal dengan pikirannya yang telah menerawang jauh.

"Bisa-bisanya otak lo traveling," gumam Alvaro.

"Bacot lo."

Tidak membutuhkan waktu lama untuk membeli makanan. Gavin dan Matteo sudah kembali sembari membawa makanan masing-masing. Namun mereka datang tidak hanya berdua, ada Iqbaal di tengah keduanya.

"Arkala yang tampan dan baik hati, dengan spesial gue beli susu Teh Ina buat lo."

Arkala memukul pelan lengan Gavin. "Lo jangan salah paham. Otak gue masih waras."

"Emang tadi otak Kala kenapa?"

avataravatar
Next chapter