∽ Penemuan... ∽
Detik-detik terdamai terakhir telah berakhir. Tepat di saat suara teriakan terdengar bersamaan dengan pecahnya guntur. Langit telah berubah semakin gelap sejak tiga jam terakhir. Air pertama jatuh tepat saat para penduduk berlari keluar dari rumah masing-masing. Saling bertukar pandangan, berbisik, bertanya-tanya. Tiap-tiap teras dipenuhi oleh orang yang tengah berkumpul. Pandangan mata mereka tertuju pada tempat yang sama. Asal teriakan.
"Si Janda! Jandanya Amran..." Setengah berlari seorang pria yang mengenakan kaos tanpa lengan dengan celana kain panjang dekil bermotif kotak-kotak yang dengan basahan yang hampir mengering, berkata, "Mati."
Ibu-ibu, para suami, laki-perempuan, mereka kembali saling bertukar pandang, menahan napas. Anak-anak dipaksa tetap di dalam rumah. Detik selanjutnya mereka berhambur dari teras untuk memastikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang baru didengar. Suara langkah-langkah cepat dan derit kayu memenuhi sepanjang jalan-jalan di atas papan.
"Ilmi!"
Imam datang dari arah yang berlawan ketika Ilmi ikut keluar dari rumah karena mendengar banyak suara langkah kaki. "Ada apa? Kenapa semua orang ke luar rumah?"
"Saya dengar ada yang meninggal. Biar saya yang lihat, kamu jangan kesana, ya!" Ilmi hanya menjawab peringatan Imam dengan anggukan kepala seadanya.
Sumber teriakan berasal dari rumah nomor 19. Rumah bercat hijau yang terasnya dipenuhi berbagai macam jenis tumbuhan hijau yang mudah ditanam. Tumbuhan hijau yang sebagiannya telah layu dan mengering. Sisanya dibiarkan begitu saja, tidak terawat. Rumput-rumput liar terlihat paling mendominasi tumbuh subur di antara tanaman hijau dalam pot-pot.
Imam tidak tahu persis rumah mana yang orang-orang maksud, tapi petunjuknya jelas. Rumah yang paling banyak dikerubuti para warga. Imam memaksa masuk di antara puluhan orang yang memadati sekeliling rumah nomor 19.
Berhasil masuk, hal pertama yang Imam lakukan adalah mengamankan TKP. Ia bersama Ketua RT, meminta semua orang yang berkumpul agar tidak berada terlalu dekat, tidak menyentuh, mengambil, atau mengubah apa pun tanpa terkecuali.
Para warga yang menonton segera mundur dengan teratur begitu mendengar peringatan Imam yang disampaikan Ketua RT setempat. Setelah ada cukup ruang kosong untuk menjaga agar TKP tetap aman, Imam memperhatikan sekelilingnya.
TKP adalah rumah bercat hijau dengan atap seng berwarna merah bata. Ukuran rumah kurang lebih dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Ada satu jendela di sisi kanan dan satu jendela lagi disisi kiri. Di sisi kiri rumah, papan-papan dipasang sepanjang kira-kira 40-50 senti untuk tempat menjemur pakaian. Tidak ada rumah lain di sisi kanan. Tetangga terdekat ada di sisi kiri dan depan.
Bangunan yang mudah dikenali adalah SD Negri, jarak beberapa meter dari TKP. Tapi ini hari libur sehingga tidak ada kegiatan apa pun baik di sekolah maupun halamannya yang luas. Merah putih yang berada di ujung tertinggi tiang bendera tetap berkibar meski mulai basah oleh hujan. Tidak ada satu anak pun yang datang untuk ekskul, atau guru, atau pun penjaga sekolah.
Yakin tidak ada hal mencurigakan di sekeliling TKP, Imam masuk. Memeriksa keadaan di dalam. Barangkali ada sesuatu yang bisa ia dapatkan untuk membantu penyelidikan.
Susunan ruangan dalam rumah sama seperti tempat Balqis tinggal. Ruang depan yang kosong digunakan sekaligus sebagai ruang tamu. 2 kamar saling bersebelahan di bagian kiri ruangan. Bedanya, ruang makan berada tepat di depan kamar kedua. Satu meja kayu dikelilingi 4 kursi yang juga dari kayu. Sisa ruangan paling belakang digunakan sebagai dapur dan sisi lainnya sebagai kamar mandi. Sementara toiletnya terpisah, di bangunan lain di belakang rumah.
Mayat berada di depan kamar pertama. Seorang wanita dengan perkiraan usia antara 25-30 tahun. Tubuhnya terlentang dengan kepala menghadap ke kiri. Pakaian yang digunakannya adalah gaun tidur putih selutut dengan 5 kancing depan bagian atas yang terlepas semuanya. Rambutnya dipirang dengan mengunakan cat, panjang hampir sepingang, kusut. Penampilan si mayat berantakan. Pipi kanan dan kirinya lebam, keningnya luka, dan ada jejak penjerat sekaligus cekikan tangan di leher.
Ada bercak darah di meja makan. Celana dalam yang ditemukan tidak jauh dari tempat korban tergeletak memperkuat dugaan bahwa hendak atau telah terjadi kekerasan seksual. Imam tidak berani berasumsi lebih tanpa adanya hasil pemeriksan profesional.
Sebelum keluar dari TKP, Imam mengambil kain tipis dari kamar untuk menutupi jasad korban.
"Bagaimana, Pak?" Imam bertanya pada Ketua RT.
"Cuacanya lagi jelek Mas, jadi susah dapat sinyal yang bagus. Tapi saya sudah nyuruh orang buat nyoba terus nelepon ke kantor polisi."
"Terima kasih, Pak," Imam menanggapi. "Di situasi seperti ini seharusnya saya bisa diandalkan karena saya juga polisi. Tapi kasus-kasus seperti ini bukan tugas dari satuan tempat saya ditugaskan. Jadi sebelum petugas yang bertangung jawab datang, tidak ada yang bisa kita lakukan selain mengamankan TKP."
"Saya justru berterima kasih sama Mas Imam. Kalau saya sendiri, saya tidak tahu harus apa di keadaan seperti ini," balas Ketua RT.
Pandangan Imam menyapu ke setiap penjuru yang masih mampu ditangkap penglihatannya, sekitar rumah-rumah terdekat. Orang pertama yang menemukan jenazah sedang berada di rumah terdekat dari TKP. Ia diberi minum oleh pemilik rumah yang sekaligus mencoba menenangkannya. Dikerumunan orang-orang yang masih berkumpul, Ilmi terlihat di barisan paling belakang berkumpul bersama belasan orang yang masih bertahan di bawah guyuran hujan.
"Ilmi..."
"Kecelakaan atau pembunuhan?" Ilmi berkata tanpa suara pada Imam.
Imam mendatangi Ilmi dan keduanya kemudian berlindung di depan teras rumah seorang warga. Imam ingin menjelaskan bagaiaman situasi dan apa yang dilihatnya di dalam, tapi kemudian ia berubah ragu. "Polisi yang bertugas akan memeriksa itu saat mereka datang."
"Kamu juga polisi, 'kan? Mana mungkin kamu enggak tahu bagaimana situasinya."
"Ilmi..." Imam hendak memberi pengertian. Tapi belum apa-apa, tahu-tahu kalimatnya sudah dipotong begitu saja.
"Aku enggak apa-apa," tegas Ilmi mengerti apa yang belum sempat Imam katakan. "Aku cuma mau tahu apa yang terjadi. Aku enggak akan ikut campur," tambahnya melakukan penawaran.
Imam berpikir sesaat. Ia tahu sekeras apa watak wanita di depannya ini. Sangat tahu. Begitu Ilmi tahu situasinya, tidak mungkin ia tidak ingin terlibat lebih jauh. Setelah apa yang terjadi pada anak mereka, semuanya terasa sangat menyakitkan. Termasuk bagi Ilmi untuk melihat mayat lagi. Terkadang, meski menyakitkan, bagian lain dari diri Ilmi tidak pernah mau berhenti atau sekadar berpura-pura untuk tidak peduli.
Tatapan mata Ilmi lekat tertuju pada wajah Imam. Memelas. Imam menghela napas panjang sebelum memutuskan. Jelas ia merasa tertekan. Ini pilihan yang sulit untuknya secara pribadi.
"Ada beberapa hal yang terlihat aneh, jadi ini mungkin pembunuhan," kata Imam dengan suara berbisik. Suaranya bersaing dengan suara air yang jatuh di atas atap-atap rumah yang berupa seng, dan suara bisik-bisik dari sekeliling yang masih dipadati para warga. Meski seperti itu, Ilmi masih dapat dengan jelas menangkap setiap kata dari kalimat yang Imam ucapkan.
"Ada yang lain?"
Imam tidak langsung menjawab. Ia menatap Ilmi sesaat, "Enggak tahu," katanya sembari memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Bohong!" tandas Ilmi cepat.
Kepala Imam yang sebelumnya terangkat angkuh, tertunduk seketika. Ia tahu ia tidak akan pernah bisa berbohong di depan Ilmi. Sekeras apa pun usahanya, wanitanya itu selalu saja menemukan celah untuk ketidakjujuran dalam ekspresinya. Imam menghela napas kalah.
"Sebenarnya..." Imam lebih merendahkan suaranya.
"Aku enggak bisa dengar."
"Sebenarnya..." ulang Imam dengan menaikkan sepersekian volume suaranya "Ada tanda-tanda percobaan pemerkosaan." Mulut Ilmi setengah terbuka. "Tapi ini masih hanya sekadar kemungkinan. Untuk mengetahui seseorang telah diperkosa atau tidak, harus ada hasil pemeriksaan dokter."
Ilmi tidak menanggapi. Ia terlalu sibuk dengan rasa keterkejutannya.
"Kamu sudah bilang enggak akan terlibat, 'kan? Pokoknya jangan terlibat!" Imam berkata lagi, memberi ultimatum setegas-tegasnya. Ilmi masih tidak memberi tanggapan. "Kalau begitu saya temui Pak Nasir dulu."
Tatapan mata Ilmi mengikuti ke mana pria itu pergi, masuk di antara kerumunan, dan menginjak teras TKP. Imam menyapa Ketua RT yang mengamati TKP dari teras rumah sekali lagi.
"Polisi berhasil dihubungi. Tapi cuaca yang buruk, ombak yang tinggi, kemungkinan besok baru mereka bisa datang." Pak Nasir, si Ketua RT memberi laporan pada Imam. "Ini pasti kabar buruk untuk warga karena mereka harus berada satu kampung dengan mayat. Terutama untuk pendatang seperti Mas Imam dan Mba Ilmi. Saya benar-benar jadi tidak enak."
"Namanya juga musibah, Pak. Enggak ada yang mau, enggak ada yang tahu kapan datangnya," Imam menaggapi bijak.
Suara jatuhan air hujan di seng-seng atap rumah bercampur dengan angin menghasilkan irama yang berat. Sudah lebih dari setengah orang yang sebelumnya mengerumuni TKP mengamankan diri ke tempat yang lebih kering dan nyaman dalam rumah-rumah mereka. Sisanya, masih bertahan di teras rumah-rumah terdekat untuk terus memperbaharui informasi yang mereka punya mengenai nasib salah satu penduduk yang selama ini tinggal di kampung yang sama dengan mereka.
"Pak Nasir melarang kita dekat-dekat rumah Jandanya Amran, tapi kenapa orang asing malah bisa sesukanya mondar-mandir di tempat itu?" Seorang pria yang masih tinggal untuk mengikuti perkembangan terbaru lebih lanjut angkat suara. Orang-orang di sekitarnya mengiyakan. Bisik-bisik antar warga kemudian berubah menjadi adu argumen penuh tanya.
Pak Nasir mengangkat tangannya, meminta warganya agar tenang. "Mas Imam memang tamu di kampung kita. Tapi bukan tamu biasa karena kebetulan beliau seorang polisi," jelasnya.
Mendengar kata-kata polisi, bisik-bisik kembali membuncah. Pria yang pertama bersuara pun terlihat terkejut, tidak menyangka. Tapi dengan cepat ia bisa mengendalikan diri dari keterkejutannya. Tidak ingin argumennya kalah hanya karena Imam seorang polisi, ia kembali berbicara.
"Aku tetap enggak bisa sepenuhnya percaya pada orang luar," ucap pria itu kukuh pada pendapatnya. "Kalau benar polisi coba perlihatkan buktinya," tambahnya menantang.
Pak Nasir tidak dapat berkata apa-apa dalam hal ini selain menenangkan warganya. Pak Nasir mempersilahkan Imam untuk memerkenalkan dirinya sekaligus menjawab keragu-raguan warganya.
"Nama saya Imam Adzriel," Imam memperkenalkan dirinya dengan canggung. "Di kepolisian saya ditempatkan di satuan Samapta. Biasanya yang mengurusi persoalan patroli dan penjagan, jadi tidak begitu berpengalaman menangani penyelidikan kasus-kasus seperti ini." Imam mengambil jeda untuk kalimat yang akan ia ucapkan selanjutnya. Ada keraguan. "Untuk bukti... kebetulan tanda pengenal polisi saya tertingal. Tapi kalian bisa memeriksa KTP saya. Saya benar-benar seorang polisi."
"Sudah kuduga!" Pria yang sama berkomentar cepat. "Sekarang banyak penipu yang mengaku sebagai polisi. Mana tahu KTP yang kamu perlihatkan palsu. Pokoknya aku enggak percaya orang itu. Mencurigakan!"
"Ini e-KTP tidak mungkin palsu. Chip-nya juga asli."
"Mana tahu itu KTP orang lain!"
"Tapi fotonya sama."
"Pokoknya aku enggak percaya!"
Lebih dari setengah orang yang masih tinggal menyatakan pendapat yang sama. Mereka tidak ingin mengambil risiko tertipu oleh Imam.
"Pak RT, kapan polisi datang?" Seseorang yang lebih muda bertanya.
"Sebenarnya... karena ombak tinggi dan cuaca yang buruk, polisi baru bisa bergerak setelah cuaca lebih baik. Paling cepat besok. Itu pun kalau benar cuaca sudah lebih baik. Jadi sampai polisi datang, saya harap kerja samanya dari semua orang," kata Ketua RT meminta pengertian.
Keadaan yang sempat menenang kembali ribut. Kasak-kusuk dan bisik-bisik penuh kegelisahan terdengar dari setiap orang.
"Jadi kita akan berada di kampung yang sama dengan mayat yang tidak diurus semalaman?!" Seorang ibu berkacamata menimpali ngeri.
"Ditambah lagi pembunuhnya mungkin ada di antara kita." Ibu yang lain menambahkan. Tubuhnya pendek, gemuk, dan menggunakan penutup kepala. "Kalian tadi lihat kondisi mayatnya? Saya lihat. Seperti habis diperkosa baru dibunuh. Bisa kalian bayangkan bagaimana enggak tenangnya kita tidur malam ini? Mana suami saya enggak bisa pulang karena kejebak ombak besar lagi."
"Enggak mungkin pembunuhnya memilih Bu Eko sebagai target selanjutnya. Jelek-jelek begitu pembunuhnya juga pasti milih-milih orang," seru seorang bapak pemilik rumah yang tinggal di seberang, jarak satu rumah dari TKP. Yang lain menaggapi dengan tawa kecil, si Ibu yang disindir memasang wajah masam tidak terima.
"Tetap aja saya enggak berani tidur sendiri."
"Kalau begitu Bu Eko malam ini tidur di sini saja, nemanin mayatnya biar enggak kedinginan, biar enggak sendirian." Pria yang sejak awal telah berbicara terlalu banyak, yang sama sekali tidak memercayai Imam, mencoba melucu. Seolah menjadikan orang yang telah meninggal sebagai bahan candaan adalah menyenangkan.
"Hiii... Mas Boy ini kalau ngomong sembarangan." Si Ibu bergidik, memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangannya.
"Jadi bagaimana ini Pak RT ? Anak gadis saya yang sedang libur sekolah ada di rumah." Si Ibu berkacamata kembali berbicara, menuangkan segala ketakutan dan kegelisahan atas anak gadis satu-satunya.
"Bagaimana kalau kita sendiri yang menangkap pelakunya?" usul seseorang.
"Caranya?" Orang yang lain bertanya.
Tidak ada jawaban. Jangankan menangkap pelaku yang mereka sendiri tidak tahu dengan cara apa atau bagaimana atau siapa, mereka bahkan tidak diperkenankan menginjakkan kaki lebih dekat ke TKP.
"Kalau begitu malam ini para pria dan bapak-bapak akan melakukan patroli semalaman. Dengan begitu semua orang bisa saling mengawasi," Ketua RT memberi saran.
"Bagaimana kalau pelakunya adalah salah satu pria yang ikut berpatroli. Dengan alasan patroli dia bisa seenaknya menyusup ke rumah lain untuk mencari mangsa baru."
"Kalau begitu orang-orang yang berpatroli akan dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang minimal terdiri dari tiga orang." Ketua RT memberi tambahan atas sarannya.
"Tapi... bukannya terlalu berisiko meninggalkan anak dan istri sendiri di rumah?"
Kembali hening. Tidak terdengar ada yang mengemukakan pendapatnya. Semua sama-sama berpikir. Mereka berada di situasi yang serba salah. Ada terlalu banyak ketakutan yang tersimpan sehingga bisa begitu saja mematahkan saran yang telah dipikirkan matang-matang.
"Boleh saya bicara?" Ilmi mengacungkan tangannya dan semua mata kini tertuju padanya sebagai fokus perhatian baru. "Ini situasi yang memang dibutuhkan peran polisi seperti Imam untuk setidaknya bisa meredam persoalan korban dan pelaku. Saya memang orang asing di sini sama seperti Imam. Hanya tamu. Tapi dengan kalian memberi Imam sedikit otoritas, pelaku mungkin tidak akan berani bertindak gegabah untuk beberapa saat."
"Bagaimana kalau dia pelakunya dan kamu kaki tangannya? Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelum kedatangan kalian."
"Ilmi enggak mungkin!" tepis Imam cepat. "Saya juga enggak mungkin pelakunya."
"Itu tuduhan tidak berdasar! Saya bisa menuntut Anda kalau saya mau." Ilmi berusaha menanggapi dengan tenang.
Ilmi sudah sejak awal memperhatikan pria yang baru saja menepis pendapatnya, ia suka sekali mematahkan pendapat orang lain dengan balik melemparkan tuduhan-tuduhan tak berdasar. Satu-satunya cara menghentikan orang dengan tipe itu, yang sangat suka asal bicara tanpa memberi solusi apa pun, adalah dengan melemparkan ancaman serius.
"Suka atau tidak kalian butuh seseorang polisi yang bertindak sesuai aturannya. Jika tidak ada yang menghentikan kalian memasuki TKP dan menyentuh apa saja seenaknya, sidik jari kalian yang tertinggal di mana-mana dan akan membuat polisi yang datang besok mencurigai kalian. Jika tidak ada yang mengendalikan keingintahuan kalian, petunjuk yang mungkin masih ditinggalkan penjahatnya bisa saja hilang dan kita tidak akan pernah tahu siapa pembunuh sebenarnya. Pembunuh bisa berulah lagi suatu hari nanti dan mungkin... akan memakan korban dari tempat ini lagi." Ilmi menyelesaikan semua hal yang ingin ia katakan.
Segala hal yang Ilmi katakan masuk akal dan bisa diterima. Pengandaian yang digunakan tepat sehingga meski tidak ingin, tidak ada yang bisa menyangkalnya. Termasuk si Pria tukang tuduh, ia kalah telak saat semua orang akhirnya memihak pada Ilmi dan setuju dengan pemikirannya.
"Saya pribadi setuju dengan Mba Ilmi dan keliatannya warga yang lain juga sama." Ketua RT mengambil alih sebagai perwakilan pembicara untuk warganya. "Jadi sekarang kami harus bagaimana?"
"Pertama, saya pikir patroli itu perlu. Patroli tetap dilakukan tapi tidak perlu sampai dalam jumah besar karena para suami juga wajib memberi rasa aman bagi anak dan istrinya di rumah." Dalam waktu singkat Ilmi sudah bisa mengambil hati semua orang dan berperan sebagai seorang negosiator yang baik. "Kedua, Imam sebagai satu-satunya polisi yang ada di sini saat ini akan mulai melakukan penyelidikan..."
"Ilmi..."
Tidak tahu namanya dimasukkan dalam daftar rencana yang sudah Ilmi buat, Imam awalnya akan menepis tidak setuju. Tidak ada pembicaraan seperti ini sebelumnya. Tapi Ilmi buru-buru mengangkat tangannya tanda tidak ingin kalimatnya yang belum selesai dipotong.
"Ini dilakukan agar kalian setidaknya bisa memiliki informasi mengenai penyebab atau waktu kematian korban. Tentu kalian belum sepenuhnya percaya pada kami yang hanya datang sebagai tamu. Oleh karena itu Pak Nasir sebagai orang yang paling kalian percaya akan selalu mengawasi kami."
"Bagaimana dengan hasil penyelidikannya?" si pria yang dipanggil Mas Boy bersuara lagi. "Sebagai warga sini kami harus diberitahu apa-apa yang kalian temukan sedetail-detailnya."
"Tidak bisa!" tepis Ilmi cepat. "Dengan melihat kemungkinan bahwa salah satu dari kita semua adalah penjahatnya, membagikan semua informasi sama artinya dengan memberi kesempatan untuk penjahatnya melarikan diri. Tapi kami akan melihat apa ada informasi tambahan yang harus kalian ketahui atau tidak." Boy memasang wajah tidak puas. "Untuk keputusan akhir, setuju atau tidaknya kalian yang menentukan."
Balqis memberi kesempatan pada Ketua RT dan warganya untuk memikirkan baik-baik setiap perkatannya.
Begitu berita tersebar, para warga dan beberapa perwakilan berbondong-bondong menuju aula ruang pertemuan kampung. Mereka terlihat sangat bersemangat dan kompak. Mereka akan membahas semua hal dan segala kemungkinan dalam forum, berdiskusi, dan menentukan sikap.
Imam dan Balqis sendiri tidak ikut terlibat dalam diskusi karena ada hal lain yang harus mereka bahas. Mereka akan membiarkan warga memutuskan tanpa diinterfensi oleh kehadiran mereka. Sembari menunggu hasil kesepakatan, keduanya yang masih menumpang berteduh di rumah seorang warga dengan disuguhi teh hangat dan biskuit kaleng.
Ini akan makan waktu sedikit lebih lama sebelum semua warga sepakat dengan keputusan yang sudah mereka ambil.
Imam sudah memelototi Ilmi sejak beberapa menit yang lalu. Sejak pemilik rumah beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan siang yang sudah sangat terlambat. Anehnya sejak beberapa menit itu pun belum satu pun kata keluar dari mulutnya. Entah ia sedang menunggu Ilmi membuat alasan atau ia sendiri bingung harus memulai dari mana.
"Kita enggak punya pilihan," Ilmi memulai, membela diri.
"Apa itu bukan sekadar alasan?" Imam bertanya datar.
Ilmi menyesap teh hangatnya, meletakkan kembali ke lepek tanpa suara kemudian menatap Imam lekat. "Memang hanya alasan. Tapi polisi memang harus melakukan sesuatu, 'kan? Mana bisa kita hanya diam saja menunggu sampai besok. Sebagai seorang polisi apa kamu enggak masalah dengan itu?"
"Ini jelas bukan soal saya. Bagi saya sama sekali enggak ada masalah untuk hanya menjaga TKP agar tetap steril." Imam menaikkan volume suaranya. Ia sudah hampir berada di titik frustrasinya. "Ilmi ini sepenuhnya tentang kamu!"
Tidak ada jawaban. Hening.
Tatapan keduanya bertemu. Lekat. Tanpa kata. Ada pendar-pendar kerinduan. Ada rasa sakit dan duka. Berada sedekat ini, bersitatap selama ini, terkadang seperti ada kabut penyekat sehingga segalanya tampak abu-abu. Sepanjang apa pun berpikir, mencoba merasakan. Tetap tidak mampu saling mengerti. Sebuah suara kemudian berbisik lembut. Terlampau lembut. Saat disadari, yang tertinggal hanya rasa sakit.
'Bahwa aku tidak pernah sepenuhnya mengenalmu meski ribuan hari kuhabiskan bersamamu.'
***