∽ Beberapa Jam Sebelum Penemuan... ∽
Hachiii !!!
Imam menggosok-gosokkan jarinya ke depan lubang hidungnya. Ia sudah bersin sebanyak lima kali pagi ini. Begitu langit sudah terlihat terang, ia memutuskan untuk berkeliling di sekitar perkampungan sembari mencari rumah Ketua RT. Melaporkan kedatangan dan rencana tinggalnya selama beberapa hari.
Ketika melewati rumah yang ditempati Ilmi, pintu rumah tertutup rapat. Jendelanya sudah terbuka, tapi sama sekali tidak ada aktifitas yang terendus oleh Imam. Mungkin Ilmi sedang berkeliling untuk melihat-lihat atau melaporkan kedatangannya pada Ketua RT seperti rencananya. Mungkin ia akan bertemu dengan Ilmi, tidak lama lagi.
Imam menginap di rumah yang masih ditempati pemiliknya. Pasangan tua suami-istri yang berusia 60 tahunan. Mereka memiliki dua orang anak yang meski tidak tinggal dengan mereka namun masih rutin datang berkunjung. Satu laki-laki yang telah menikah dan bekerja dipertambangan, satu lagi anak perempuan yang tak kunjung selesai skripsi.
Pak Fadhil dan istrinya Bu Patemi adalah penduduk yang ramah dan berpikiran terbuka. Mereka menyambut kedatangan Imam dengan senang hati. Kedatangan Imam terasa seperti memiliki tambahan anggota keluarga baru. Imam sendiri memiliki tingkat adaptasi yang cepat. Ia bisa memaklumi segala kekurangan di tempat barunya tinggal tanpa banyak mengeluh. Dalam waktu sehari Imam sudah menjadi tempat berkeluh kesah Bu Patemi mengenai kehidupan, juga teman begadang sepanjang malam Pak Fadhil.
Dengan mengenakan setelan kaos abu-abu lengan panjang dan celana drawstring hitam pudar dengan leg karet, Imam mulai berkeliling.
Hachiii !!!
Imam bersin sekali lagi ketika melewati sebuah Sekolah Dasar.
SDN 015 adalah satu-satunya sekolah yang ada di Pulau K. Ketika anak-anak para penduduknya sudah masuk usia Sekolah Menengah Pertama atau Sekolah Mengengah Atas, mereka harus membawa anak-anak mereka bersekolah ke kota terdekat, ke Bontang. Beberapa dari mereka harus menitipkan anak mereka di tempat sanak keluarga yang lain, atau jika tidak, maka pilihan terakhir adalah tinggal di kos-kosan. Bolak-balik Pulau K-Bontang setiap hari sangat merepotkan. Belum lagi jika cuaca sedang tidak bersahabat.
Ketika Imam mendongakkan kepalanya, ia baru sadar langit tidak secerah seperti hari kedatangannya. Awan hitam hampir merata memenuhi langit yang terhampar luas. Angin kencang berembus sesekali.
Imam telah selesai menelusuri bagian yang berakhir pada bangunan Sekolah Dasar dan berniat untuk kembali. Menelusuri bagian lain perkampungan.
Di rumah pertama, bagian seberang setelah meninggalkan bangunan sekolah, ada sebuah rumah dengan pintu setengah terbuka. Halaman depannya berantakan tak terawat. Tidak terlihat ada orang. Tidak juga adanya tanda-tanda kegiatan yang berarti di sana.
Suara 'duk' kemudian terdengar ketika Imam masih mengamati rumah itu. Ternyata masih ada tanda-tanda aktifitas, berarti masih ada orang yang tinggak di dalam sana.
Sosok Ilmi di arah lain kemudian membuat perhatian Imam tertuju sepenuhnya pada wanita itu. Ketika akan beranjak untuk menempel pada Ilmi, suara 'duk' kembali terdengar. Kali ini suaranya lebih keras.
Dua suara mencurigakan yang ditangkap indra pendegaraan Imam, membuat panggilan dari rasa penasarannya bergema kuat. Ia mendekat ke arah rumah dan berusaha mengintip dari kejauhan. Tapi begitu matanya mulai menelisik ke bagian pintu yang sedikit terbuka, sebuah tangan terjulur.
Tentu saja Imam terkejut setengah mati. Untungnya tidak sampai menjerit. Akhir-akhir ini ia ditulari sindrom ketakutan yang berlebihan oleh salah seorang rekannya sesama polisi. Rekannya beda satuan itu seorang reserse yang tidak percaya pada hantu, tapi takut terhadap hal-hal seperti itu. Aneh. Tapi ia benar-benar memiliki rekan dengan kepribadian itu.
Kembali ke pembahasan tangan terjulur.
Tangan yang terjulur ke luar adalah tangan telanjang seorang wanita dewasa berkulit sawo matang. Tangan itu memegang remot yang kemudian dinaikkan volume televisinya terlalu keras hingga terdengar sampai ke tempat Imam berdiri.
"Mungkin tidak apa-apa," batin Imam berbisik "Tidak ingin diganggu." Tidak ada yang bisa ia lakukan, pandangannya kembali pada sosok Ilmi yang kini sedang membantu seorang ibu mengangkat masuk rumput laut yang baru dijemur.
Meski sudah begitu seringnya diabaikan, Imam tetap menyapa Ilmi dengan kalimat romantis yang membuat bulu roma mendadak meremang. Ibu yang ikut mendengar sapaan Imam ikut tertawa geli.
"Suami Mbak?" tanya si ibu.
"Bukan," tepis Balqis cepat "Orang ini delusi jangan dihiraukan," tambahnya.
Delusi. Alasan kenapa sejak awal Imam menekankan bahwa dirinya bukan seorang pengidap delusi karena setiap kali ada orang yang bertanya apa dia suaminya atau siapa dia, Ilmi akan selalu mengecapnya dengan kata delusi.
Selesai berbincang singkat, Ilmi meninggalkan si ibu yang sibuk dengan pekerjaannya. Di sampingnya, Imam masih menyelaraskan langkah. Keduanya jalan beriringan.
"Semalam apa kamu menyusup lagi ke tempatku?"
"Menyusup? Saya?" Imam mengambil jeda sebelum melanjutkan "Mana mungkin! Saya seorang petugas yang baik, yang taat hukum."
Hachiii
Imam bersin tepat saat ia menghadap ke arah Ilmi. Alhasil, virus beserta percikan air liurnya memandikan wajah Ilmi.
"Maaf, maaf."
Ilmi mendesis pelan dan memilih menjaga jarak dari Imam sejauh mungkin. Imam mempercepat langkah kakinya, kembali menyejajarkan langkahnya dengan Ilmi.
"Apa kamu benar-benar akan tinggal di sini selama 2 minggu?"
"Iya," jawab Balqis singkat.
Imam akan kembali memulai pembicaraan tapi mereka telah sampai ke tempat yang dituju. Papan putih bertuliskan 'Ketua RT. Wajib Lapor 2 × 24 Jam,' ditulis dengan tinta hitam dalam huruf-huruf besar dan tebal.
Pintu rumah terbuka namun tidak ada seorang pun di ruang depan. Ilmi mengetuk pintu 3 kali dan mengucapkan salam. Terdengar sahutan dari dalam beserta minyak yang meletup-meletup dalam penggorengan. Tidak lama kemudian seorang ibu-ibu berkerudung dengan tubuh semampai, gemuk muncul. Ada aroma ikan asin yang menempel di pakaiannya. Tapi cara bicaranya yang ramah segera membuyarkan fokus yang tercium hidung.
Ilmi menyampaikan maksud kedatangannya dengan cara bicara yang tak kalah ramah. Ketua RT sedang tidak berada di rumah. Mengurus aula kampung untuk pertemuan rutinan tiap bulan. Nyoya rumah meminta keduanya menunggu, sementara ia menyuruh anak laki-lakinya memanggil suaminya pulang.
Ada jeda yang cukup lama sampai akhirnya Ketua RT pulang. Bukan karena anak yang mencari tidak menemukan ayahnya di mana pun, melainkan karena ia bertemu dengan teman-temannya yang lain dan tinggal cukup lama untuk melihat permainan apa yang sedang mereka mainkan.
Setelah menunggu selama hampir 15 menit, seorang pria tinggi bertubuh tegap dengan kumis tebal memasuki rumah. Ketua RT, Pak Nasir. Sekilas perawakannya terlihat kasar. Kulitnya gelap khas nelayan karena sering terbakar sinar matahari. Suaranya berat dengan cara bicara yang cepat. Meski bahasanya indonesianya sempurna, tetap masih tertinggal logat yang kental sebagai identitas sukunya.
Ketika mereka bersalaman, kesan kebapakan dan hangat dari sikapnya terlihat. Jelas ia seorang pria yang bijaksana. Ia mengatakan hal yang sama dengan apa yang sudah istrinya sampaikan pada Imam dan Balqis mengenai ketidakberadaannya di rumah karena sedang mengurus aula kampung untuk pertemuan rutin.
Istri kembali keluar dengan membawa mampan berisi dua gelas teh manis dan satu kopi untuk suaminya. Urusan dapurnya sudah selesai dan ia datang untuk ikut bergabung. Menemani tamu mengobrol.
Ketua RT mengeluarkan sebuah buku besar untuk mencatat identitas Imam dan Balqis beserta tujuan kedatangannya. Mungkin buku tamu. Mereka bercerita cukup lama.
Ketua RT menceritakan sedikit mengenai asal-usul kampung mereka. Ia juga mengatakan bahwa kampung mulai sering kedatangan pengunjung dari luar. Entah untuk berwisata atau para mahasiswa yang melakukan riset ini-itu. Kedatangan para pengunjung tentu saja disambut dengan baik. Para warga sangat terbuka dan tidak pernah merasa keberatan. Mereka justru sangat senang jika kampung di mana tempat mereka tinggal bisa semakin dikenal banyak orang.
Jam hampir menunjukkan pukul setengah delapan ketika pembicaraan pagi mereka berakhir. Ketua RT dan istrinya harus segera bersiap untuk pertemuan rutin mereka. Sementara Imam dan Ilmi sendiri merasa sudah tinggal terlalu lama, berbicara terlalu banyak, waktunya mereka pamit.
Sebelum benar-benar berpisah, Ketua RT mengundang Imam dan Ilmi untuk bergabung pada pertemuan di aula kampung. Ada senam bersama setelah sesi diskusi antar warga usai. Imam dan Ilmi menanggapi dengan anggukan kompak.
"Enggak ngelaut Pak Basuki?"
"Libur dulu, Mbak. Cuacanya lagi enggak bagus."
Kalimat sapaan singkat antar warga terdengar ketika Imam dan Ilmi melewati sebuah rumah. Ada tiga orang ibu-ibu yang berkumpul teras. Seorang ibu tinggi kurus berkacamata, seorang lagi gemuk dengan rambut keriting sebahu, dan terakhir seorang wanita yang terlihat lebih muda dengan bibir tebal dan mata sipit. Mereka mengenakan setelan training terbaik mereka yang berarti telah siap berkumpul di aula kampung untuk pertemuan rutin bulanan.
Pertemuan bulanan dilakukan di minggu kedua dan dimulai pukul 07.30 sampai 09.30. Agendanya adalah diskusi evaluasi. Bagaimana kelanjutan perkembangan program kerja yang sebelumnya telah disepakati. Apakah ada keluhan atau tidak. Apakah ada kendala atau semuanya berjalan dengan baik. Pun jika ada permasalahan antar warga biasanya akan diselesaikan dengan diskusi bersama. Tujuannya jelas, untuk membina kerukunan antar warga dan menjadikan pertemuan rutin yang diadakan sebagai sarana penyelesaian masalah.
Begitu sesi pertama selesai, sesi lanjutan yang berupa senam kesehatan dimulai. Kursi-kursi plastik yang sebelumnya diduduki ditumpuk di sudut ruangan. Barisan dibagi dua. Laki-laki dan perempuan. Barisan ibu-ibu jauh lebih banyak dan panjang, tumpah sampai ke luar ruangan. Awan-awan gelap terus berarak menutup langit. Untuk beberapa saat mereka yakin masih dalam radius aman. Setidaknya hingga acara selesai.
"Dia enggak datang?"
"Enggak. Dari tadi saya enggak liat."
"Paling kalau ditanya alasannya kayak bulan-bulan lalu. Dia, kan orangnya sombong. Mana mau kumpul-kumpul begini. Apalagi setelah kejadian itu."
Ibu-ibu yang berada di barisan paling belakang bergosip. Mereka ikut menggerak-gerakkan badan dan tangan mereka seperti yang diperagakan oleh instruktur senam di atas panggung, tapi mulut mereka juga sesekali saling berbicara membahas ini dan itu. Ilmi yang berada di antaranya mau tidak mau ikut mendengar meski tidak tahu apa yang dibicarakan atau siapa yang dimaksud.
Musik berdecak-decak dengan dentuman yang keras, kadang melembut, diikuti oleh gerakan-gerakan seirama. Meski tidak sepenuhnya kompak, setiap warga yang memadati aula sebenarnya telah menguasai hampir dari semua gerakan-gerakan yang diperagakan. Semua orang tampak bersemangat. Ada yang bahkan terlalu bersemangat. Seolah inilah momen yang memang telah ditunggu-tunggu untuk berkeringat bersama.
Begitu musik berhenti dan instruktur senam telah mengatakan kalimat-kalimat penutup dengan cepat dan singkat, barisan dibubarkan. Mereka telah cukup mengeluarkan keringat untuk hari ini.
Yang dilakukan selanjutnya adalah menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing seperti memasak untuk makan siang, memeriksa keramba, membuka toko, rehat sejenak, atau apa pun. Beberapa ibu dan para pria bahkan suadah memadati sebuah toko yang baru buka. Mereka memerlukan minyak goreng, tepung, dan bumbu-bumbu dapur untuk melengkapi bahan yang akan diolah. Para pria yang didominasi oleh bapak-bapak hanya datang untuk membeli rokok sehingga bisa selesai lebih cepat.
Awan abu-abu telah bertahta. Menguasai segenap penjuru langit yang menggelap. Kilat dan guntur saling mengis membelah cakrawala. Angin berembus semakin sering, terlalu kuat hingga melepaskan sebuah seng yang tidak tepasang dengan benar.
Semuanya berjalan dengan baik. Tentu saja selain cuacanya. Ini akan menjadi hari-hari yang berjalan dengan damai. Waktu yang akan Ilmi habiskan akan berjalan dengan cepat dan tanpa masalah. Ia mungkin tidak akan sepenuhnya bisa menenangkan diri selama Imam masih terus menempel dan berada terlalu dekat. Tapi semuanya akan baik-baik saja. Minamal ia bisa menenangkan syaraf-syarafnya dengan menikmati suasana baru. Laut, pemandangan favoritnya.
Setidaknya hal itulah yang diharapkan.
***
Cerita ini hanya fiktif, hanya latar tempat yang nyata. Kebiasaan, nama orang, dan yang lainnya tidak nyata.