Suara deru motor yang berhenti membuat Bintang menggeram kesal. Di sibaknya gorden polkadotnya dan mendapati Angkasa melambai dengan senyum tipisnya.
"Ganggu aja, berangkat setengah tujuh kan bisa. Lagi enak-enaknya mimpi dapet pangeran yang turun dari kayangan." dumel Bintang kesal. Melangkah malas dan mengambil handuknya.
Setelah 5 menit lulur Bintang sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Ketika membuka pintu ia dikejutkan dengan Angkasa yang berwajah datar, hampir saja ciuman. Kapan-kapan Bintang akan menambah tinggi badannya lagi agar Angkasa tak bisa mengejutkannya walaupun hampir menyuri first kiss-nya.
"Main muncul bae lo." Angkasa menyingkir di ikutinya langkah Bintang ke meja makan. Cewek berisi angin itu mulai sarapan dengan roti dan selai strowberi kesukaannya.
"Kenapa gak jemput Bela? Jangan nempelin gue terus dong sa, dia kan pacar lo." ucap Bintang di sela-sela makannya. Angkasa hanya menggeleng, Bela sudah selalu diantar jemput dengan supir pribadinya.
"Gak, lagian Bela kan diantar jemput sama sopirnya. Kalau bareng lo kan lebih enak, rame karena ngomel terus. Dulu pas ngelahirin lo itu ibu ngidam apa sih?" tanya Angkasa penasaran, kalau dua hari saja Bintang tak masuk karena demam ia jadi sepi, tak ada lagi omelan atau cubitan gemas Bintang bila dirinya tak peka-peka dengan moodnya.
Bintang berpikir dan...
"Oh cuman makan nasi lauk lele dan sambal terasi. Kenapa?"
"Pantesan mulutnya kayak mercon." goda Angkasa. Bintang mengacak rambut Angkasa yabg sudah tertata rapi, jambul berdiri karena gel rambut kini berantakan. "Hahaha, kadar kegantengan lo berkurang 95 persen."
"Gantengnya dikit dong?" Angkasa tak marah, ia merapikan kembali rambutnya dengan modal kaca di manik mata coklat milik Bintang.
"Ayo, lima belas menit lagi gerbang ditutup. Gak mau kan hafalin pasal yang ditebak oleh bu Ghina?" terkadang Angkasa kesal sendiri jika Bintang mengulur waktu seperti membenarkan liptint yang kurang ala ombre-ombre itu, maskara biar lentik, tambah bedak biar putih dan manis, rambut ditata ala-ala model cantik. Dan berakhir dengan pasal yang ditebak bu Ghina, mana hafal pasal-pasal? Yah berujung menyapu halaman sekolah yang luasnya subhanallah.
🌸🌸🌸
Ketika Bela memasuki gerbang ia melihat Angkasa yang kini melepaskan helm Bintang.
"Kenapa yah kamu gak pernah peka sama perasaan aku sa? Walaupun aku dintar jemput, setidaknya kan aku bisa bilangin mama kalau ada penggantinya yaitu kamu, pacar aku." Bela melangkah pelan dengan pandangan menunduk tak ingin melihat kemesraan Angkasa dengan Bintang.
"Bela, ke kelas bareng yuk." Bintang langsung merangkul pundak Bela akrab. Sedangkan Angkasa berjalan sendiri tak mempedulikan dirinya, apalagi menyapa.
Bela tersenyum ramah. "Ayo,"
🌸🌸🌸
"Yah nyawa gue habis." keluh Virgo ketika ia kalah memainkan game candy crush soda saga pada super hard level.
Angkasa panik dan menatap Virgo bingung. "Katanya nyawanya habis? Kok masih hidup?" lebih tepatnya ucapan nyinyir itu menambah kekesalan Virgo, aduh Angkasa! Kalau bicara itu di filter dulu jangan main gas!
"Yang nyawanya habis itu game ini, ya kali gue. Masih mau hidup ya dan pingin ngerasain yang namanya nikah."
"Bu Elok masuk tuh ponsel sembunyiin. Kalau pemeriksaan tas lagi? Habis deh nyawa lo." peringat Angkasa dan Virgo menyembunyikan ponselnya di kaos kaki, iya kalau bu Elok tak mengetahui, tapi kalau benda itu mengecap ya tinggal dapat hadiah poin dan panghilan orang tua sebagai peringatan pertama.
Suasana kelas hening, tak ada yang berani berisik apalagi berbisik yang jelas tatapan bu Elok itu tajam. Pemeriksaan tas setiap dua kali seminggu dan tanpa pemberitahuan itu memvuat pelajaran tersendiri bagi kalangan murid, terutama siswi yang membawa parfum, sisir, bedak, lipstik dan kosmetik lainnya akan disita dan dikembalikan lagi setelah lulus dari sekolah ini. Sama halnya dengan ponsel, bukan disita tapi juga diperiksa isinya takut ada video hal-hal negatif, atau menjerumus ke arah transaksi narkoba.
"Letakkan tas kalian diatas bangku!" perintah bu Elok, seisi kelas hanya berdoa dalam hati bahwa barang-barang yang di sembunyikan di kaos kaki, atau terpaksa di injak yang lebih tidak enak ya di sembunyikan didalam baju. Jijik? Gak, memilih tempat sembunyi itu rumit.
🌸🌸🌸
Virgi menghela nafas lega, ia menghabiskan dua botol air mineral dingin untuk menetralkan degup jantungnya. Pemeriksaan tas tadi benar-bebar memacu adrenalin.
"Minum terus lo? Beser tau rasa." ejek Angkasa.
"Buat menghilangkan kegugupan ini, untung ya bu Elok gak melirik kaos kaki gue. Aduh ngapain juga sih ada pemeriksaan tas? Tanpa pemberitabuan lagi! Kan kalang kabut bingung cari tempat sembynyi." Virgo protes, sekolah elite dengan peraturan ketat memang membuat siapa saja mengeluh. Untung CCTV tidak ada, kalau iya yang jelas akan diketahui siapa yang membawa barang-barang yang dilarang.
Suara cempreng datang tak diundang pulang tak diantar itu mengusik gendang telinga Virgo.
"Bintang kecil di langit Angkasa.. Kerlap-kerlip indah selalu... Keman emm." Virgo membungkam mulut Bintang, tak terlalu menekan. Seisi kantin lantai dua ini pun tersenyum menatap Virgo yang menderita dengan suara cempreng Bintang yang merusak gendang telinga.
"Diem lo, habis jedag-jedug malah ada bedug." ucap Virgo terusik, ia melepaskan tangannya. Bintang megap-megap, sok akting seakan kehabisan stok nafas.
"Sewot banget, gue kan nyanyi buat Angkasa. Liat dia, gak keberatan atau merasa kesal kok dengan suara gue." Bintang melirik Angkasa yang tampak tenang.
"Lo bandingin gue dengan Angkasa? Bisa-bisa gue tuli muda tang!" Virgo melahap kembali nasi goreng yang kini sudah dingin.
"Emang gue binatang apa? Pilih penggalan nama yang bagus dong." protes Bintang. Kan masih bisa memanggil Kejora atau Cahaya dan Indah.
"Males."
"Virgo nyebelin."
"Biarin"
"Diem!" Angkasa mulai jengah, telinga berdengung melihat pertengkaran kecil Bintang dan Virgo yang tak pernah akur.
🌸🌸🌸