______________________________
"A challenge of a lifetime ... why not?"
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
DEG
"Eh? Tapi, Phi--"
"Atau paling tidak, boleh aku menemuimu kapan pun mulai sekarang?" tanya Paing, yang tiba-tiba mencondongkan tubuh. Bahkan mengurung Apo dengan lengan-lengan kekarnya. Oke, mereka sama-sama berkeringat. Sial! Pikir Apo. Dia mendadak malu kepada bau menyengat usai olahrga. Juga hidung mancung Paing yang teramat dekat. "Dengan atau tanpa alasan. Kebetulan, atau janjian. Aku ingin bersamamu kalau ada kesempatan."
Jemari Apo pun diseret menopang tubuhnya perlahan-lahan. "Ah, iya. Begitu juga tidak apa-apa," katanya. Susah fokus walau mata mereka saling menatap. "Phi kan bisa menghubungiku. Just call me. Nanti kita sesuaikan saja."
Jeda lagi yang menegangkan.
".... kau masih terbiasa mengabaikan telepon seperti dulu?"
DEG
Fuck, please. Susahnya berhubungan dengan orang yang mengenalmu itu jadi terasa sulit mendebat. Mereka sudah tahu sama tahu. Dan Apo semakin merasa ciut.
"Iya--tapi, sudah mendingan kok. Aku pasti pin nomor Phi juga nanti di atas--"
"Juga?"
Salah lagi kan. Brengsek! Apo pun gugup membayangkan nomor Paing dan Mile akan disematkan atas bawah. Padahal selingkuh sama sekali tak pernah terpikirkan, tapi sekarang dia melakukannya!
Apa-apaan sih player sekali kesannya?! Ya Tuhan! Padahal Mile yang mengawali! "Ya, tapi--um, bagaimana ya ...." Apo pun membuang muka sebentar. "Itu sepertinya malah ide buruk. Salah-salah nanti aku keliru mengangkat."
"...."
Paing membiarkan Apo berpikir.
"A-Atau bagaimana kalau pakai dua ponsel? Um, tapi satu saja aku jarang mengurusi."
"...."
"Phi ...." kata Apo. Dia pikir, Paing akan membantunya dapatkan solusi, tapi Alpha itu membuat napasnya semakin tertekan. "Um-" Sampai-sampai bibirnya mengatup rapat. Karena perlahan didekati dengan kecupan lembut. Penuh kehati-hatian tapi tak cuma sekali. Gerakannya seperti kupu-kupu yang hinggap nakal. Kadang menekan, dan terus diulang hingga Apo mau membuka mulutnya. "Ummnh."
Tidak ada yang menutup mata selama mereka saling melumat. Manik hitam dengan manik hitam beradu. Dan alis presisi keduanya bergerak dalam kerutan yang sama. Membuat Apo tahu ada kilat hasrat yang ditahan di dalam bola mata sang Alpha. Tapi, aneh ... Apo hanya dipeluk erat sewajarnya.
"Ah--" Omega manis itu pun berjengit karena lengan Paing melingkari pinggang rampingnya. Dia kaget, sulit mengatur ekspresi yang bagus. Hingga tak ada ruang lagi diantara keduanya. "Mmnh. Nngh," lenguh Apo, yang perlahan merasa nyaman karena aroma mereka semerbak keluar. Antara Alpha dan Omega. Antara segar dan harum. Saling menyatu hingga keringat masing-masing kalah kuat dengan wangi di ruangan itu.
"Apo, bisa coba lihat aku?" pinta Paing. Alpha itu memindah bibirnya ke kening. Lalu turun ke pipi-pipi Apo yang merah. Dia meniti seluruh bagian hingga sang Omega tidak tenang. Tahu-tahu membalas saat jemarinya digenggam jadi satu dengan miliknya.
"Phi, sebentar--" kata Apo. Mendadak ingin lepas karena megap-megap. Tapi sialnya langsung dilahap lagi. "--mh. Nnh," lenguhnya. Lalu meremas bahu kiri Paing Takhon. Rasanya nikmat, serius. Dia tetap bersemangat meski agak kewalahan. Dan ciuman itu membuat bibirnya semakin merah. " Hah ... hahh... hahh ...." desahnya begitu sungguhan dilepas.
Namun, fokus mata Paing tetap tidak berganti. Alpha itu mengingat detail raut Apo setelah disentuh. Dan betapa seksi caranya menarik napas. Kedipan matanya yang indah. Bentuk bibirnya yang cukup berisi. Membuatmu ingin selalu melihat ke sana. Bahkan melumatnya setiap ada kesempatan.
"Oke, kalau begitu Phi ganti pertanyaannya," kata Paing. "Bisa menetap saja di sini? Denganku."
".... eh? Anu--"
"Jujur sekarang sulit melihatmu berkeliaran, Apo." Alpha itu mengelus belahan bibir Apo dengan ibu jari. "Bukan karena ingin mengekangmu, bukan," tegasnya. "Kau boleh kemana pun yang kau mau. Tapi bisa pulangnya tetap kemari? Aku lega melihatmu setelah bekerja."
"...."
"Mau terjaga atau sudah tidur. Aku senang mengecekmu apa hari ini baik-baik saja," kata Paing lagi. Mungkin Apo tidak tahu, tapi dia memang selalu melakukannya, meski masih memakai setelan kantor. "Ada kesulitan, kah. Ada yang bisa kubantu, kah. Atau ada yang ingin kau katakan."
"...."
".... mungkin kondisimu kadang kurang bagus? Just come and let Phi check you out. Jadi, sebelum parah sakitnya cepat diobati," kata Paing. "Satu lagi. Sadar tidak kalau mimisanmu sudah berhenti? Phi lihat kau tak pernah dapat gejala sejak di sini."
Mimisan? Oh, iya. Refleks, Apo pun menyentuh hidungnya. Tapi kemudian salah tingkah sendiri. Ugh, sulit. Sebab yang barusan kedengaran agak berlebihan. Namun, Apo merasa Paing juga berkata apa adanya.
"Tapi, aku bergantung kepada Phi terus sejak di sini," kata Apo. "Maksudku, kan masih merasa bisa sendiri. Untuk hidup, untuk makan, untuk merawat Er dan lain-lain--jadi kenapa harus dibelikan semua? Aku tidak merasa kurang atau bagaimana. Umn, sejujurnya ini agak membebaniku."
"Oh, jadi sebenarnya hanya karena itu?" tanya Paing.
Damn, kenapa mulutnya tidak terkontrol? Diatur sedikit kan harusnya bisa. Apo sendiri bingung kenapa Paing membuatnya mudah saling terbuka. "Iya," kata Apo sambil mengangguk. "Soalnya dulu aku memang dadakan kemari. So, it was indeed with no plan, Phi. Makanya, kupikir ... oke, sementara berhutang kepada Phi saja. Kapan-kapan kubayar--umn, itu kalau Phi tak keberatan? Tapi makin ke sini aku rasanya harus kembali. Ma bisa sakit kalau kelamaan mengganti seperti Papa."
"Hahh ... astaga. Kukira tadi kenapa," desah Paing langsung lega. Dia pun memijit pelipis. Senyum. Lalu terkekeh-kekeh. "Kalau begitu kan jadi jelas, Apo. Dasar ... malah berputar dulu sampai ingin pulang? Kupikir kau belum nyaman di sini."
Apo pun makin gelisah. "Y-Ya ... tapi itu kenyataan, kan?" katanya. "Aku lihat kok waktu Phi membayar proses penjemputan Ameera. Habis berapa banyak di Oslo? Kutanya Jeff. Terus aku syok lihat nominalnya. Eh, harusnya tidak sebanyak itu? Jeff bilang obat-obatannya juga sangat mahal. Tapi aku kepalang sungkan mau tanya Phi, soalnya kartu-kartuku yang unlimit di rumah. Belum lagi total proses penelitian kasusnya. Ya ampun, Phi. Untung Jeff sudah ku-counter duluan. Jadi, dia batal kau bayari, kan? Habis itu aku mulai kepikiran ...."
"Ha ha ha ha ha."
Ditertawakan tiba-tiba, Apo pun ingin memukuli Alpha di depannya ini. "Phiiii, serius ...."
"Ha ha ha ha ha ha ha."
"Phiii, sumpah ya ...."
"My god, benar-benar menggemaskan," kata Paing sambil menutup matanya dengan telapak. Dia mendongak karena kesulitan mengatur ekspresi. Tapi melihat Apo yang ada makin menjadi-jadi. "Apo ... kau ngomel-ngomel seperti Papa. Ha ha ha ha ha. Harusnya sambil bercermin biar tahu mukamu seperti apa."
Apo pun memerah hebat, tapi tidak bisa sungguhan kesal. Dia hanya menggebuk gebuk bahu Paing dengan tinju. Dan rautnya makin lucu saja.
BUGH!
"Stop it, oke? Enough, Phi ...." kata Apo. "Ini normal, tahu. Kalau tidak sampai mikir kan namanya tidak tahu diri."
"Ya, ya. Tetap saja. Ha ha ha ha. Tapi bilang ingin membayarku segala? Pfffft ...."
BRUGHHHHH!!
Perdebatan mereka pun berakhir dengan guling-guling di atas lantai. Yang mana Apo lanjut meninju dan kadang menggigit bahu, sementara Paing balas menggelitiki.
"HA HA HA HA! ARRRGH!--PHI, AMPUN! HA HA HA HA TOLONG AKUUUUUU! GELI! HA HA HA HA HA!"
"Tidak akan--ssshh."
"HA HA HA HA HA HA HA HA HA!"
Capek! Pikir Apo. Dendamnya pun menumpuk tinggi. Hingga bertekad membanting Paing balik ke bawah.
BRUGHHH!
"Hahh ... hahh ... hahh ... hah ...." Meski tersengal, Apo masih bisa menyeringai kemenangan. Dan dengan tenaganya sudah terkuras habis, dia pun meremas bahu Paing agar tetap rata di lantai. Menahannya di sana. "Kalau begitu jangan menyesal saja," katanya. "Soalnya kan Phi sedang menginginkan Omega-nya orang. Apalagi sudah punya baby tiga."
"Hahhh, iya. Memang menurutmu aku selama ini bagaimana? Kurang prinsip dan bermain-main?" tanya Paing. "Atau tidak cocok jadi Daddy mereka? Ah ... tapi aku yang sekarang memang tidak paham bagaimana menjadi Ayah."
"Phi ...."
"Makanya kau wajib mengajariku, Apo. Dan ini PR-mu mulai sekarang."
DEG
Apo pun tertegun karena pembahasan mereka jadi serius. Brengsek! Padahal suasananya santai sekali. Kenapa jadi begini? Pikirnya. Diam-diam berdebar membayangkan Paing berkeliaran di rumah bersama dia. Tak berbaju seperti habis diompoli waktu itu? Phi sungguh sembarangan kalau sudah di zona aman.
"Hmmmh." Apo pun meringis-ringis karena dicubit di pipi. "Bisa, Phi. Kapan-kapan," katanya. "Tapi Phi mungkin orang yang terakhir. Jadi, kalau nantinya malah menyesal. Pokoknya aku tidak mau menikah lagi."
"Ho ...." Seperti melihat bocah merajuk. Paing pun tertawa kecil. "Baiklah. Kita lihat saja nanti," katanya. "Kalau sampai aku menyesal. Berarti kau yang menang taruhan."
Otak Apo pun macet sesaat. "Eh? Taruhan apa?"
"Yeah. Jadi tidak ada main curang seperti tadi."
Sial! Soal menembak ternyata dibahas lagi, Pikir Apo. Barulah tersenyum selebar telinga. "Kalau begitu good luck untuk Phi. Semoga berhasil dengan pilihanmu itu," katanya dengan nada meremehkan.
Namun, Paing menjawabnya begitu yakin. "Sure."
Eh?
Tunggu ... ini serius?
...
....
"Sial. Phi sadar kan taruhannya berlaku seumur hidup?" tanya Apo. Lalu menjambak kaus depan Paing kesal. "Atau kau hanya bertahan setahun juga denganku? Seperti dia?"
"Hmph."
BRUGH!
"FUCK! PHI!" Apo pun oleng karena sang Alpha mendadak terbangun. Membuatnya nyaris menabrak wajah tampan tersebut. Untung saja segera mundur. "Kau ... kau ini sebenarnya mau apa?"
"Dengar, Apo ...." kata Paing dengan tatapan lurusnya. Alpha itu mendadak jadi serius. Bahkan mengunci pinggang Apo dengan dua lengan kokohnya. "Aku tidak tahu bagaimana masa depan berjalan. Tapi sebelumnya maaf-maaf saja."
"...."
"Kalau kau menantangku soal prinsip dan sesal menyesal, kupastikan kita bisa melakukan taruhannya sampai kapan pun."