Ara dan Aya tiba di depan sebuah rumah mewah bertingkat bergaya minimalis.
Siang ini mereka pindah dari rumah kedua orang tua mereka dan tinggal di rumah sendiri sesuai harapan Ara.
Rumah ini sudah dibeli Ara sebelum ia menikah dengan Aya. Ia sengaja ingin memiliki rumah sendiri setelah menikah dengan Aya, agar ia bisa lebih leluasa bersama Aya. Ia bisa dengan bebas mencurahkan rasa cintanya kepada Aya. Terlepas dari alasan untuk hidup mandiri.
Saat keluar dari mobil milik Ara, Ara segera menggenggam tangan Aya dan membawanya masuk ke dalam. Aya mengikuti saja tanpa bicara apapun.
Barang-barang mereka sudah dibawakan oleh para asisten rumah tangga mereka yang sudah tiba terlebih dahulu. Rumah tersebut sudah terisi lengkap dengan perabotan mewah.
Rumah tersebut memiliki taman yang luas, dengan banyak tanaman dan bunga-bunga. Ada beberapa pohon-pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan masuk, dari pagar depan menuju rumah. Aya terkagum melihat rumah dan halamannya yang luas.
Saat mereka masuk ke dalam rumah, mereka disambut oleh beberapa orang yang sedang beridiri berjajar. Mereka adalah para pegawai yang berkerja di rumah tersebut.
Ada kepala asisten rumah tangga yang bernama bapak Haito dan beberapa asisten rumah tangga lainnya baik perempuan maupun laki-laki. Mereka mempunyai tugas masing-masing di rumah tersebut.
Namun hanya di siang hari para asisten rumah tangga itu melayani mereka. Di malam harinya, mereka pulang ke rumah masing-masing.
Hal ini disebabkan karena Ara tidak mau ada yang mengganggu ia di malam hari. Ia hanya ingin berdua saja dengan Aya.
Ara memperkenalkan mereka dengan Aya.
▪︎▪︎▪︎
Di ruang tamu yang besar itu, berisi perabotan mewah dan modern. Ara memandang Aya yang tersenyum tipis.
"Kamu suka?" Tanya Ara berharap Aya akan betah tinggal di rumah tersebut. Aya hanya menganggukkan kepalanya.
Lalu Ara membawa Aya ke lantai atas menuju kamar tidur mereka. Aya dengan ragu melangkahkan kakinya untuk memasuki ruangan tersebut.
Ara melihat Aya yang ragu-ragu dan berkata "ayo masuk, ini kamar kita." Katanya dengan tersenyum manis.
Aya masuk dan melihat-lihat seisi kamar. Dilihatnya sudah terpampang foto pernikahan mereka kemarin. "Uhhh cepat sekali cetak fotonya?" Kata Aya pada diri sendiri, tetapi terdengar oleh Ara.
Ara yang baru tiba tepat di belakang Aya, mendengar perkataan Aya tersebut. Ia langsung memeluk Aya dari belakang dan berkata "hmmm, memangnya kenapa kalau foto kita sudah dicetak? Ada masalah?" Tanya Ara yang berbicara tepat di samping telinga kanan Aya.
Hembusan nafas Ara terasa jelas oleh Aya. Aya terkejut dan terdiam di tempatnya. Jantungnya berdetak dengan cepat.
Karena tidak ada jawaban, Ara memutar tubuh Aya menghadap dirinya. Dengan tatapan mesra, Ara bertanya "kenapa? Kamu gak suka?"
"Eh.." Jawab Aya. Ia bingung hendak berkata apa.
"Enggak, aku cuma kaget aja kalau foto itu sudah dicetak dan dipajang." Kata Aya cepat. "Cepat aja menurutku" lanjutnya.
Ara tersenyum sambil menaikkan sebelah alisnya. "Oooooh begitu!"
Ia menarik tubuh Aya dan dihempaskannya ke tempat tidur. Tempat tidur itu begitu besar dengan seprai dan sarung bantal guling berwarna putih.
Aya terhempas di kasur. Saat ia hendak bangun, tubuhnya sudah ditindih oleh Ara. Aya yang bertubuh mungil, merasa keberatan saat Ara yang bertubuh tinggi besar berada di atasnya.
Ara langsung mencium Aya tanpa ampun. Kedua tangan Aya dipegang erat dengan tangan kirinya dan di taruh di atas kepala Aya. Aya terkunci. Tidak bisa melawan.
Aya menggeliat hendak melepaskan diri, namun Ara tidak peduli. Ia terus mencium, merambat ke leher dan ke dada Aya. Ara melepas kancing baju Aya. Saat tangannya sampai di daerah dada, Aya berbicara "aku belum siap. Aku mohon..."
Ara berhenti dan langsung menatap pada Aya. Dilihatnya Aya berlinangan air mata. Ara mengepalkan tangannya. Ia lalu bangkit dan duduk di tepi kasur. Ara berusaha untuk menahan amarahnya.
Aya yang menghela nafas lega, memejamkan matanya dan bangun untuk menghindari Ara. Saat ia hendak beranjak dari tempat tidur, Ara menoleh melihat Aya dan berkata "aku berusaha untuk sabar. Tapi aku tidak tahu itu akan seberapa lama!!" Ia lalu bergegas pergi keluar kamar.
Aya terdiam di tempat tidur. Ia mengelap air matanya yang tak kunjung berhenti keluar.
▪︎▪︎▪︎
Di ruang kerja milik Ara, Ara duduk termenung menghadap ke jendela. Dilihatnya hari sudah mulai sore. Ia masih berusaha mengatur emosinya setelah mendapat penolakan dari Aya siang tadi.
"Aku tidak akan bisa sabar kalau begini." Bicaranya pada diri sendiri.
Setelah beberapa lama ia menyendiri, ia teringat kalau mereka belum makan siang. Ia bergegas keluar ruangan menuju kamar, untuk mencari Aya.
Sesampainya di kamar, dilihatnya Aya sudah tertidur sambil meringkuk di kursi sofa yang berada di dekat jendela kamar.
Didekatinya wanitanya tersebut. Ditatapnya dan ternyata air mata Aya masih ada terlihat di pipinya. Lalu diusapnya air mata tersebut dengan hati-hati, khawatir akan membangunkannya.
Ara duduk di samping kursi sofa dengan memandangi Aya. Ia merebahkan kepalanya di pinggiran sofa. Tanpa sadar, ia pun tertidur dan terbangun disaat hari telah gelap.
Dilihatnya Aya sudah tidak ada di tempat. Ia segera berdiri. Tak sadar terjatuh selimut yang menutupi tubuhnya. Lalu ia mengambil selimut yang terjatuh tersebut. Dan ia pun tersenyum mengerti.
▪︎▪︎▪︎
Aya sedang asyik memasak di dapur, karena ia sudah merasa sangat kelaparan. Sedari siang ia belum ada makan apapun. Untungnya di dapur itu tersedia semua kebutuhan yang diperlukannya. Walaupun tidak ada pelayan, tapi ia tetap bisa menyiapkan semuanya sendiri.
Aya memasak makanan dua porsi. Untuk dia dan suaminya. Saat Aya berbalik hendak pergi dari dapur, ia terkejut.
▪︎▪︎▪︎
Ara mencari Aya ke seluruh ruangan kamar. Namun tidak ada. Ia lalu keluar kamar sambil memanggil-manggil nama Aya. Juga tak ada sahutan.
Lalu ia pergi ke dapur, dan disanalah ia melihat Aya sedang membelakanginya, sedang asyik memasak. Dipandanginya Aya selama memasak. Ia tersenyum melihatnya. Ia sengaja tak membuat suara agar bisa lebih lama memperhatikan Aya.
Sesaat kemudian, Aya berbalik dan bertemu mata dengan Ara. Ara terkejut, begitu juga dengan Aya.
"Ehem...." Ara berusaha bersikap santai sambil berjalan menuju ke arah Aya. Aya lalu buru-buru menaruh makanan yang baru dimasaknya itu ke meja makan.
"Makan??" Tanya Aya sambil menata makanan di meja.
"He eh. Lapar, dari siang lupa makan." Jawab Ara sambil duduk menghadap makanan.
"Oh iya. Maaf ya kalau aku lupa mempersiapkan makan siang kamu?" Aya bicara sambil duduk menghadap Ara yang dipisahkan oleh meja.
Saat Ara hendak menyuap makanan ke mulutnya, ia terhenti. Diletakkannya kembali sendok yg berisi makanannya kembali ke piring dengan kasar. Ia lalu menatap Aya dengan marah. Lalu pergi meninggalkan dapur.
Aya yang tak mengerti apa yang terjadi, juga menghentikan suapannya. Ia menangis dalam diam. Ia menundukkan wajahnya.
▪︎▪︎▪︎
Kembali di dalam ruang kerja nya, Ara menghempaskan tubuhnya ke kursi sofa yang ada. Ia memegang dadanya dan mengurut keningnya. Ia memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya.
Tak lama, terdengar suara ketukan dari luar ruangan. Ia berdiri dan membuka pintu. Dilihatnya Aya berdiri sambil membawa nampan yang berisikan makanan. Ia mengernyitkan dahinya.
"Boleh aku masuk?" Tanya Aya lembut. Yang dijawab dengan anggukan oleh Ara sambil memberikan jalan untuk Aya agar bisa masuk. Ia menatap punggung Aya yang terus masuk dan menaruh nampan tersebut di meja kerjanya.
Saat Aya menoleh melihat Ara, Ara tersadar dan langsung menutup pintu. Ia berjalan ke arah Aya. Aya hanya diam di samping meja.
"Makanlah dulu." Kata Aya saat Ara sampai di depannya. "Nanti kamu masuk angin kalau ditunda-tunda terus."
Ara tersenyum dan membelai lembut pipi kiri Aya. Aya pun tersenyum.
Saat Aya hendak menarikkan kursi untuk Ara, Ara langsung menarik pinggul Aya dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih di pipi kiri Aya dan langsung mencium Aya dengan lembut.
Ara merasakan kalau Aya terkejut, namun tetap diteruskannya. Perlahan tapi pasti Ara mulai mencium Aya dengan rakus.
Aya mulai kehabisan nafas, dan ia berusaha mendorong dada Ara dengan kedua tangannya. Ara berhenti dan menatap Aya. "Kenapa?" Tanya Ara dengan suara serak.
"Hmmmm, kita makan dulu. Nanti dingin dan aku takut nanti kamu masuk angin." Jelas Aya, berusaha berbicara dengan tenang. Tapi Ara tahu, ia sedang gugup.
Ara tersenyum dan menggandeng Aya untuk makan bersamanya. Saat Aya hendak duduk di kursi sebelahnya, Ara menarik pinggul Aya agar duduk di pangkuannya.
Saat Aya menoleh, wajahnya hampir bertemu dengan wajah Ara. Ara tersenyum lagi kepadanya. Aya langsung kembali menoleh ke makanan di depannya.
Terdengar suara "aaaaaaaa". Ternyata Ara minta disuap oleh Aya. Dan tanpa pikir panjang, Aya menyuapkan makanan tersebut ke mulut Ara. Ara kegirangan. Aya hanya tersenyum melihatnya.
'Seperti anak kecil. Lucu.' Tanpa sadar Aya membatin di dalam hati.
Ia sendiri terkejut dengan pikirannya itu.