Hingga detik ini Amira pun masih memainkan emosi Inem dan berpura - pura bahwa dia benar - benar marah hingga ingin melaporkan Inem ke kantor polisi. Tak ayal Inem pun langsung memohon dengan berlutut di kaki Amira. Tidak suka dengan sikap Inem, Amira pun langsung membentaknya. "BERDIRI!"
Inem menggeleng.
"INEM, BERDIRI!" Bentak Amira sekali lagi. Namun, Inem masih saja berlutut. Tubuhnya pun masih saja menggigil ketakutan berpadukan dengan suara bergetar. "Mohon ampun, Non. Inem, mohon ampun. Inem, janji kejadian hari ini ora bakal keulang lagi, Non."
Didalam hati Amira mengucap ribuan kata maaf karena sudah membuat pembantu kesayangannya ini ketakutan. Padahal tujuan Amira hanya ingin mempermainkan emosi Louis. Amira ingin tahu apakah Louis ini memang benar lelaki baik yang bertanggung jawab atau hanya lelaki tebar pesona dengan segala kegenitan yang melekat kuat di dalam dirinya.
Tidak tega melihat seorang pembantu sampai berlutut seperti itu Louis pun coba meyakinkan Amira untuk memaafkan kesalahan Inem. Tapi, Amira terlalu keras kepala hingga Louis pun mendesah lelah. Sementara Inem terus saja mengucap permintaan maaf supaya Nona nya tidak sampai melaporkannya ke kantor polisi.
"Sudah lah Amira tidak perlu memarahi Inem sampai seperti itu. Aku yakin dia tidak sengaja memberiku obat yang salah. Toh, aku juga ga kenapa - napa kan." Ucap Louis lirih akibat kondisinya yang masih sangat lemah.
"DIAM! AKU TIDAK MEMINTA PENDAPAT MU, LOUIS! AKU TIDAK MEMINTA MU UNTUK BERBICARA!" Berpadukan sorot mata menajam.
Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafas Louis disuguhi emosi Amira yang meledak - ledak. Tapi, entah kenapa dia malah suka. Terlebih ketika melihat kilatan emosi menggeliat melalui manik hitamnya. Uh, itu membuat Amira terlihat garang dan juga menggemaskan.
"Tapi, Amira sikap mu sungguh sangat keterlaluan. Please, jangan jadi wanita kejam."
"kejam kamu bilang? Lebih kejam mana dengan orang yang hampir saja membuat mu kehilangan nyawa, hah? Sudah dibela malah bela orang lain." Lirih Amira pada kata terakhir.
DASAR TIDAK TAHU TERIMA KASIH! Kesal Amira berpadukan dengan wajah mengeras hingga bibirnya membentuk garis lurus.
Niat awal hanya ingin mengetahui ketulusan hati seorang Louis Leigh Osbert. Tapi, siapa sangka bahwa Amira benar - benar tenggelam ke dalam emosi hingga melupakan tujuan awalnya.
"Please, Amira masalah ini jangan diperpanjang lagi. Apalagi sampai melibatkan polisi. Itu tidak benar, Amira. Aku tidak mau nama baik keluarga Tanzel tercemar hanya gara - gara aku."
Tatapan Amira menajam. "SHUT UP, LOUIS!"
Satu hal yang Louis tangkap dari sikap Amira ini bahwa Amira juga memiliki perasaan yang sama dengannya hanya saja Amira terlalu angkuh untuk mengakuinya.
"Jangan besar kepala ya, Louis. Jangan kamu pikir dengan aku bersikap seperti ini maka aku bisa menerima kehadiran mu di rumah ini. Sama sekali tidak. Sikap ku hanya semata - mata peduli pada tamu kehormatan di rumah ini."
"Tidak apa, Amira. Kau menganggapku sebagai tamu kehormatan saja itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih, Amira."
Amira terperenyak. Harusnya Louis marah, harusnya Louis mendebat kata - katanya seperti yang biasa lelaki itu lakukan. Tapi ini ... Louis malah menunjukkan sikap datar. Wajahnya juga menyirat ekpresi datar. Entah apa yang Louis rasakan saat ini yang jelas Amira tidak bisa mendeskripsikannya.
Seketika hati Amira tersentuh dengan sikap Louis yang tidak lagi berulah dan menebar kegenitan. Meskipun hatinya tersentuh akan tetapi, pikirannya tetap saja membantah. Bagi Amira semua lelaki itu sama. Sama - sama suka tebar pesona, genit, tidak setia, dan satu lagi hanya mengincar warisan Tanzel.
"Kenapa diam saja disitu, Amira? Kemarilah!" Menepuk ruang kosong pada sisi ranjang.
"Jangan bersikap melampaui batasan mu, Louis Leigh Osbert." Nada suara Amira terdengar tajam menggelitik pendengaran Louis. Namun, dia tidak terpancing emosinya. Louis tidak mau menanggapi kemarahan Amira yang hanya akan semakin membuat hubungan ini semakin meruncing pada kebencian, amarah, dan pertengkaran yang tiada habisnya.
"Amira ... Amira ... kau ini terlalu membatasi diri. Dengar ya Amira, hanya duduk satu ranjang dan tidak ngapa - ngapain itu sah - sah saja. Kecuali kalau kita ... " jeda sejenak berpadukan dengan tatapan menajam pada wajah cantik Amira. Dan entah sudah berapa lama bermanjakan kecantikan Amira yang jelas suara sinis Amira terdengar menggelitik pendengarannya. Dan hal itu telah membawa kesadaran Louis kembali.
"Jangan berfikir yang macam - macam, Amira. Sesekali berfikirlah positif. Sesekali berfikirlah tentang hal yang baik. Dengar ya, kau harus sering - sering menanamkan dalam otak mu ini bahwa yang terlihat jahat belum tentu jahat dan yang terlihat baik belum tentu baik. Jangan menilai segala sesuatu berdasarkan cover semata."
Amira berdecih sebal. "OMONG KOSONG!"
Berbeda dengan Amira yang masih saja terbakar ke dalam api kemarahan. Louis justru mengulas senyum simpul, sama sekali tidak ada kemarahan menyelimuti wajahnya yang tampan. "Harus kau renungkan kata - kataku barusan, Amira. Berfikirlah yang positif ke semua lelaki terutama ... " sebelah tangannya terulur menepuk dada bidang sebelum melanjutkan kembali kalimatnya. "Terutama padaku. Pada calon suami-mu ini yaitu Louis Leigh Osbert."
"DASAR GILA!" Decih Amira.
Satu menit yang lalu dia dibuat tersentuh dengan sikap Louis tapi sekarang, sikap menyebalkan Louis kembali menenggelamkan Amira ke dalam rasa muak.
Tidak mau berlama - lama berada di dekat lelaki yang bukan muhrimnya dia pun langsung memilih meninggalkan kamar Louis dengan membanting pintu dibelakangnya, sementara Louis masih saja menatap nanar kepergiannya. Meskipun punggung ringkih Amira sudah hilang dari pandangan akan tetapi senyum bahagia masih saja mengukir dibibir kokoh.
Kita tunggu tanggal mainnya, Amira! Aku yakin bahwa sebentar lagi kau akan segera jatuh ke dalam pelukan ku. Kau, Amira Anindita Tanzel akan segera ku miliki untuk selamanya. Batin Louis berpadukan dengan senyum penuh kemenangan.
Satu hal yang Louis lupakan bahwa Inem masih berada diruangan yang sama dengannya hingga pembantu yang selalu bikin heboh itu pun memergokinya. "Hayo senyum - senyum sendiri to. Pasti lagi mikirin Non Amira kan? Hayo ngaku!"
Tak ayal Louis pun tersentak bersamaan dengan itu menatap nyalang Inem yang malah tersenyum nyengir tanpa dosa. "Kamu mau ngapain ke kamar saya, hah?"
"Loh, Tuan Louis iki piye to, kan awet mau Inem nang kene. Inem, urong beranjak tekan kamar iki lo ya. Wah, wah sampean iki jan keterlaluan. Mosok Inem sing sak mene gedene iki ora ketok."
"Aduh, Nem Inem. Bisa ga sih kamu ini jangan ngomong pakai bahasa kamu. Saya ga ngerti. BIKIN SAKIT KEPALA!"
Inem pun kembali nyengir tanpa dosa. "Yo maaf."
🍁🍁🍁
Next chapter