webnovel

Bab 11 Masih marah

Kevin yang saat ini terjebak di kemacetan jalan raya, menghentak-hentakkan kakinya dengan cemas di dalam mobil. Di jam makan siang seperti ini, tidak mengherankan memang jika lalu lintas sedang ramai.

Berkali-kali Kevin menarik sedikit lengan jas panjangnya, melihat ke arah jam tangannya. Ini sudah dua puluh menit Kevin menunggu tanpa kepastian di mobil, kapan ia bisa sampai di rumah sakit.

Bagaimana tidak cemas. Lima tahun Kevin menikah dengan Marisa, ditambah masa pacaran mereka yang terbilang juga lama. Marisa jarang sakit, dan hampir tidak pernah masuk rumah sakit. Fisiknya sangat kuat dan staminanya sangat bagus.

***

Setelah sampai di rumah sakit, Kevin langsung menuju ke kamar tempat Marisa dirawat.

Kini Kevin berdiri tepat di depan kamar yang diatasnya terdapat papan kecil dengan huruf tebal bertuliskan 'Mawar'. Serta 'VIP Nomor 3' di pintu. Dan setelah memastikan ruangan yang akan ia masukin benar Kevin mengetuk pintu.

Terdengar suara knop pintu dibuka. Kevin menunggu pintu dibuka dengan ekspresi wajah yang seakan tidak sabar. Dan setelah itu wajah Rina muncul.

"Gimana keadaan Marisa, Rin?" tanya Kevin.

Rina menoleh. Sambil menjauhkan badannya dari pintu. "Kamu lihat aja sendiri," jawab Rina.

Marisa memasang wajah tak suka pada Kevin. Ia tak melepaskan pandangannya dari awal Kevin masuk hingga menghampiri Marisa. Rina kemudian mengekor di belakang Kevin.

Kevin berdiri di samping ranjang Marisa, kemudian mengelus pipinya dengan lembut. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bisa sampai seperti ini?" tanya Kevin, dengan wajah cemas.

Dengan wajah datar Marisa menjawab, "Jangan berlebihan. Aku tidak kenapa-kenapa."

"Kamu tidak akan sampai di sini kalau tidak kenapa-kenapa," sahut Kevin.

Meski mata Kevin memandang Marisa dengan tatapan sendu. Namun Marisa masih saja bungkam, dan akhirnya menciptakan suasana yang hening untuk beberapa saat.

Tiba-tiba ponsel Rina berdering. Rina kemudian mengeluarkannya dari dalam tas miliknya. Ternyata telepon tersebut berasal dari seorang karyawan Marisa.

Pegawai Marisa tersebut melaporkan, bahwa salah satu pemasok bunga untuk floristnya sedang mengalami masalah pengiriman. Padahal bunga-bunga tersebut akan dipakai untuk projek penting esok.

"Apa katanya Rin?" tanya Marisa, ketika Rina telah mengakhiri sambungan telepon dengan pegawai Marisa tadi.

Tadi memang Marisa sempat mendengar. Jika terjadi masalah di florist miliknya, hanya saja ia tidak mengetahui pasti duduk masalahnya. Karena Kevin terus saja memaksanya untuk makan, dan menyerahkan urusan pekerjaan pada rina. Namun Marisa tidak mau lepas tangan begitu saja tentang floristnya. Ia ingin mendengar langsung dari Rina.

"Mbak Amanda, pemasok bunga yang kita order kemarin katanya ada masalah pengiriman Sa. Katanya akan terjadi keterlambatan pengiriman, padahal udah mau dipakai besok. Aku yakin kalau nunggu bunga dari mbak Amanda bakalan terhambat projek kita," jawab Rina.

"Aku sudah memprediksi jika semua ini bisa saja terjadi. Maka dari itu aku meminta pemasok bunga yang lain sebagai cadangannya. Karena ini sudah ketiga kalinya mbak Amanda seperti itu," sahut Marisa penuh ketenangan. Rasanya sangat kontras dengan wajah Rina yang cemas.

Rina seperti terkesan dengan Marisa yang sudah memikirkan semua ini jauh-jauh hari. Hingga mulutnya menganga karena kagum dengan langkah Marisa.

"Pantas kamu bisa sesukses sekarang ya Sa. Kamu selangkah lebih maju ternyata," puji Rina.

"Tapi apa pemasok bunga yang kamu ceritakan itu mau menyanggupinya? jika mendadak seperti ini?" tanya Rina. Hal itu tiba-tiba saja terlintas di pikirannya.

"Aku sudah membuat perjanjian akan membayar lebih. Dan karena mereka punya banyak karyawan, jadi mereka sanggup," jawab Marisa.

Rina menggelengkan kepalanya, sekali lagi ia terpukau dengan cara kerja Marisa.

"Dari pada terus terheran seperti itu. Kamu mendingan langsung

ke florist aja. Cek bunga yang dibutuhkan udah bener apa belum. Nanti nomor pemasok bunga kita yang baru akan aku kirim segera ke ponsel kamu," ucap Marisa.

Marisa benar. Rina memang harus bergerak cepat. Ia lalu menyambar tas miliknya yang ada di atas sofa dengan secepat kilat. "Oke. Kalau gitu aku pergi sekarang ya," pamit Rina dengan tergesa-gesa. Lalu pergi.

"Kamu sampai kapan mau bersikap seperti ini sama aku Sa?" tanya Kevin. Sedari tadi ia duduk di kursi dekat ranjang Marisa, memandang dengan kesal karena merasa terabaikan oleh istrinya.

"Aku tadi jatuh pas dekor bunga. Terus ya Rina antar aku sampai di sini." Jawaban yang keluar dari mulut Marisa, hanya seperti seorang anak sekolah dasar yang diberi pertanyaan oleh gurunya. Ia seakan enggan menjawab sebenarnya.

Kevin masih mencoba bersabar. Kemudian bertanya lagi, "Lalu dokter bilang apa tadi?"

"Katanya aku cidera tulang belakang, dan ada luka goresan di kaki aku," jawab Marisa dengan santai.

Kevin yang mendengar hal itu langsung menyingkap selimut Marisa. Ia ingin tahu seberapa parah luka luar yang dialami Marisa. Kevin juga mengomel pada Marisa lantaran terkesan menganggap sepele sakit yang dideritanya.

"Sakit seperti itu kamu anggap sepele Sa? Sakit kamu ini serius lho!"

Mata Marisa membelalak. Paha kanannya yang putih dan mulus terekspos, sedang yang kiri terbalut oleh perban karena luka.

"Kevin! Kalau ada yang masuk dan lihat gimana?" seru Marisa. Matanya melotot karena kesal.

"Hanya aku yang melihatnya. Lagi pula aku kan suamimu," sahut Kevin.

Sebenarnya hal itu memang bukan masalah, karena Kevin suami Marisa. Hanya saja Marisa saat ini masih marah kepada Kevin.

Kevin sengaja membuka paksa selimut itu tadi. Ia yang rindu pada istrinya lalu berniat mau mengelus paha Marisa. Namun segera ditepis oleh Marisa.

Kevin mengangkat kedua tangannya. "Melihat tidak boleh, menyentuhnya juga tidak boleh. Oke baiklah," ucap Kevin dengan frustrasi.

Marisa lalu menutup kembali kakinya dengan selimut.

Walau tindakan istrinya ini dianggap keterlaluan dan menyakiti hatinya. Namun entah mengapa ia masih saja sangat mencintai istrinya, dan mencemaskan kondisi marisa.

Kevin lalu kembali membujuknya untuk makan. "Tapi sekarang kamu makan ya. Aku yakin kamu belum makan siang dari tadi."

Kevin melihat makanan yang rumah sakit sediakan belum dibuka sama sekali dan masih terbungkus rapi dengan plastik wrap di atasnya.

Ini sudah ketiga kalinya Kevin memaksa Marisa untuk makan. Jika tadi marisa masih berasalan mengurus pekerjaannya. Rasanya sekarang tidak bisa lagi. Dan dari pada mendengar Kevin mengomel, akhirnya Marisa menurutinya.

Marisa menghela napas. "Oke. Aku akan makan sekarang," sahut Marisa.

Yang menjadi harapan Kevin, ia bisa memberi perhatian kepada Marisa dengan menyuapinya makan. Dan dengan begitu terjadilah situasi yang romantis.

Dengan senyum yang mengembang, serta penuh semangat, Kevin membuka plastik wrap yang membungkus nasi dan sup ayam yang ada di atas nakas. Dan dengan percaya diri Kevin berniat menyuapi Marisa.

Kevin mendekatkan sendok yang sudah berisi nasi dan sup di dekat mulut Marisa. Lalu berkata. "Ayo buka mulutnya."

Bahkan saking semangatnya. Kevin memberi aba-aba kepada Marisa dengan membuka mulutnya. Sambil berkata, "Haaa…!"

Namun Marisa menolaknya. "Aku bisa sendiri Vin…"

Marisa mengulurkan tangannya. Meminta mangkok yang ada di tangan Kevin. "Sini! kasih ke aku," suruh Marisa.