webnovel

Akhir Cinta Avissa

"Kok ada ya makhluk seperti kamu di bumi ini. Gendut, item, pake kacamata tebel. Kayak elien. Nggak ada sisi bagusnya. Enek lihatnya." Ardian mendorong jidat Avissa dengan jari telunjuknya hingga gadis itu terjengkang. Kemudian Ardian tertawa terbahak-bahak diikuti oleh kedua temannya. Avissa hanya bisa memeluk tasnya dengan takut, tanpa bisa melakukan perlawanan. Ya, seperti itulah teman-teman Avissa Maharani memperlakukan dirinya. Bukan hanya Ardian, tetapi juga teman-teman yang lainnya. Avissa maharani, Seorang siswi SMA yang tidak good looking, selalu menjadi bulan-bulanan teman-temannya dan juga kakak tingkatnya. Sampai suatu saat, avissa hampir putus asa dan mengakhiri hidupnya karena tidak kuat lagi menghadapi bully-an. Beruntung, dia diselamatkan oleh seseorang. Pada saat itu, Avissa nekat melakukan sesuatu agar hidupnya bisa berubah. Kalau memang dia tetap hidup, dia harus berubah. Berhasilkah dia melakukan sesuatu tersebut? Bagaimana kehidupan dia setelahnya? Akankah dia membalas dendam kepada orang-orang yang telah membullynya tanpa rasa bersalah?

Roisatul_Mahmudah · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
20 Chs

Pahlawan

"Kumohon. Jangan ajak aku kesana." Rani semakin ketakutan.

Alul yang cengengesan berubah menjadi laki-laki yang bijak. Dia mengarahkan tangan Rani ke depan dadanya, lalu dia genggam dengan kedua tangannya. Dia menepuk-nepuk tangan Rani lembut, mencoba memberi penguatan.

"Semuanya akan baik-baik saja. Aku, sebagai pacar terbaikmu akan selalu melindungimu. Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian. Ayo kita hadapi sama-sama apapun yang akan terjadi nanti."

"Apakah kau sudah tahu kalau aku pelakunya?" Rani langsung berbicara to the point.

Alul tersenyum.

"Itu tidak penting untuk dibahas sekarang. Ayo aku antar, percaya padaku. Semuanya akan baik-baik saja," ucap alul sambil tersenyum memberi penguatan.

"Sekarang tarik nafas panjang, dan hembuskan pelan-pelan."

Rani pun segera mengikuti petunjuk alul. Entah kenapa, dia menurut begitu saja. Kalau boleh jujur, sebenarnya dia merasa nyaman. Dia sedikit lebih tenang, ketika tangannya digenggam oleh alul. Rani semakin mendapat kekuatan untuk menghadapi apa yang akan terjadi di depan.

"Sudah lega?" tanya alul setelah Rani melakukan apa yang sudah disarankan.

Rani hanya mengangguk.

"Kalau begitu, Kamu sudah siap ke ruang Bu Sapta sekarang?"

Lagi-lagi Rani hanya mengangguk, dan Alul tersenyum lega melihat anggukan Rani. Lalu dia, yang tangannya masih menggenggam Rani, segera menggandeng wanita yang selalu ingin dilindungi itu ke ruang Bu Sapta.

Mereka berjalan pelan, menuju sebuah ruangan, yang saat ini benar-benar menjadi momok untuk Rani. Ya, dia memang ambisius untuk membalas dendam, tetapi ternyata mentalnya belum begitu kuat.

Setelah beberapa meter mereka melangkah, akhirnya mereka sampai di ruang Bu Sapta. benar dugaan Rani, di sana sudah duduk Novita dengan muka pucat dan seragam yang basah. Novita tampak pucat dan mata yang masih sembab.

Seharusnya ini menjadi momen yang menyenangkan bagi Rani, karena ia bisa melihat wajah Novita yang ketakutan dan menyedihkan. Namun, saat ini Rani juga sedang ketakutan. Ia menatap Bu Sapta yang sudah duduk manis di bangkunya. Novita duduk di sofa panjang yang saling berhadapan dengan sofa yang diduduki oleh Dosen PA Rani itu.

"Rani, silakan duduk."

Bu Sapta tersenyum, menyapa Rani dengan ramah. Matanya yang berada di balik kacamata menatap Rani dengan tatapan yang teduh.

Bu Sapta memiliki postur badan yang yang ramping dan tidak terlalu tinggi. Rambutnya pendek, hanya sepanjang leher saja, membuat Dosen muda yang terlihat cerdas ini tampak muda seperti anak SMA.

Rani yang tadinya tegang, langsung merasa sedikit tenang ketika menatap wajah teduh Sapta. Akhirnya dia duduk di samping Novita bersama dengan alul. Orang yang sedikit bisa menenangkan hatinya saat seperti ini.

Rani masih terdiam dan menunduk. Dia tidak menoleh ke arah novita sama sekali.

"Bu, saya izin menemani pacar saya, boleh?" Alul berbicara dengan melebarkan senyum.

Bu Sapta membalasnya dengan senyum hangat. "Nggak apa-apa,"

Lalu Bu Sapta mengarahkan pandangannya ke Rani yang saat itu sedang menunduk di samping Novita.

"Rani, apakah kamu tahu kenapa ibu memanggilmu kesini?"

Rani gemetar, namun tetap mencoba untuk tenang. Dia menghadap ke depan, lalu menggeleng.

"Nggak apa-apa, kamu rileks aja." Sepertinya Bu Sapta tahu kalau Rani sedang gugup.

Rani hanya diam dan tersenyum tipis.

"Apa kamu tahu tentang Novita yang terkurung kamar mandi sampai pingsan?"

Rani mengangguk.

"Menurut penuturan Novita, kamu adalah orang terakhir yang ditemui Novita sebelum dia masuk ke kamar mandi. Apakah betul?"

Lagi-lagi Rani hanya bisa menunduk dan mengangguk. Dia terus merutuki dirinya sendiri, kenapa dia harus selemah itu. Seharusnya dia lebih berani, dan menunjukkan seolah dia tidak bersalah.

"Oke, dan ... Apakah kamu tahu atau berpapasan dengan orang lain ketika kamu meninggalkan kamar mandi?"

Rani menggeleng. Dia tidak bisa mengkambinghitamkan siapapun.

"Oke. Berdasarkan penuturan pak Adin, tukang kebun kampus kita yang kebetulan sedang membersihkan area di yang tidak terlalu jauh dari kamar mandi, dia mengatakan kalau tidak ada seorang pun yang pergi ke kamar mandi setelah kamu."

Bu Sapta berbicara dengan pelan. Namun dia berusaha untuk tetap membuat Rani nyaman menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan. Oleh karena itu, bu Sapta sama sekali tidak menyudutkan atau menjudge Rani sebelum jelas semuanya.

Deg deg deg deg

Jantung Rani berpacu dengan sangat kencang. Alul melihat kepanikan itu, dia menepuk-nepuk pundak Rani.

"Rani, apakah benar kamu yang mengunci Novita di kamar mandi?"

"Pasti dia Bu. Dia orang yang terakhir bersamaku. Pasti anak ini," ucap Novita yang mulai mau mengangkat kepalanya. Dia menatap Rani dengan tatapan penuh kebencian.

Rani semakin tidak berkutik. Dia tidak menjawab apa-apa.

"Bu Sapta, boleh aku berbicara?"

"Sebentar, Alul. Biarkan kami mendapatkan jawaban dari Rani dulu."

"Bu, sebelumnya saya mohon maaf. Maaf jika saya lancang. Namun, Saya mau jujur. Sebenarnya ini adalah salah saya. Saya yang pantas mendapatkan hukumannya."

Mendengar pernyataan alul, 3 pasang mata langsung mengarah ke alul dengan kaget.

"Salah kamu? Ini Terjadi di toilet cewek. Kamu tidak mungkin masuk ke toilet cewek kan?"

"Em, begini Bu Sapta. Ini murni kesalahan saya. Karena, saya yang meminta Rani untuk mengunci Novita di kamar mandi. Nov, Maaf ya. Sebenarnya ini hanya sebuah permainan saja. Kita lagi taruhan, yang kalah harus mengunci seseorang di kamar mandi. Saya hanya berniat untuk bercanda sebenarnya."

Dada Rani langsung sesak mendengar itu. Matanya langsung menatap Alul dengan mata nanar. Dia terus berfikir, mengapa alul mau melakukan ini? mengapa dia mengakui kesalahan yang bahkan tidak pernah dilakukan?

"Alul, kamu tidak sedang menutupi kesalahan Rani kan?"

"Maaf Bu, bercandaan saya kali ini memang keterlaluan. Saya juga tidak menyangka kalau akhirnya Novita bisa pingsan di dalam kamar mandi." Alul mencoba menciptakan sebuah kebohongan, sebuah kebohongan yang mungkin akan berlanjut ke kebohongan yang lain.

Novita langsung mengarahkan pandangannya ke alul. Dia menatap geram ke arah laki-laki yang sebelumnya dia kagumi.

"Bercanda Kau bilang? Becandaan kamu tidak lucu. Kamu tidak tahu betapa aku ketakutan di dalam. Berteriak tidak ada yang dengar. Kamu tidak tahu betapa aku takut gelap? Dan sempat-sempatnya kau bilang hanya bercanda?"

'kamu takut, Novita? Ternyata kamu masih memiliki rasa takut. Masih seperti ini saja kau sudah lebay tidak karuan. Apakah kau tidak tahu apa yang kurasakan dulu? Kau bahkan memperlakukan aku jauh lebih buruk dari ini. Kau injak-injak aku seakan tidak punya harga diri,' ucap Rani dalam hati. Rasa takut masih menyelimuti dirinya, namun saat itu tangannya mengepal. Kenangan di masa lalu kembali menyeruak, membuat Rani ingin berbuat hal yang lebih menyakitkan pada Novita. Namun, tidak sekarang. Karena nyalinya masih ciut.