Pasar, pusatnya perdagangan dan niaga. Tawar-menawar, jual beli, atau bahkan jasa sekalipun. Kios-kios berjejer di pinggiran mulai dari sayuran, buah atau bahkan peralatan elektronik.
Di pinggir jalan ber-paving, Diki nampak membawa beberapa kresek plastik di kedua tangannya. Sesekali ia juga mengecek barang bawaannya barangkali ada yang lupa ia beli.
"(Sepertinya sudah semua. Langsung pulang aja.)"
Ia berjalan menuju area parkir yang ada di depan pasar. Diletakkan belanjaannya di samping motor, kemudian merogoh saku kiri celananya agak kesusahan karena saking ketat celana yang ia pakai. Secara tidak sengaja, siku tangannya menyenggol seorang anak kecil yang lewat di belakangnya.
"Maaf, aku tadi tidak melihatmu." ucap Diki sambil menoleh ke belakang.
Wajah anak itu sama sekali tidak terlihat karena tudung jaket kuning yang dikenakannya. Sementara anak itu hanya mengangguk saja dan langsung berlari masuk ke pasar. Diki sendiri tidak terlalu peduli karena mungkin anak kecil itu takut, dan baginya itu sudah lumrah.
Tapi suatu hal janggal dilihatnya ketika ingin memasukkan beberapa barang ke jok motor. Kunci motornya sudah tergeletak jatuh tepat di samping kakinya. Ia pun langsung memungutnya dan berpikir cepat.
"(Bagaimana kunciku bisa jatuh? Aku belum mengeluarkannya dari saku celanaku... Jangan bilang!)"
Diki menepuk sakunya dan dirasanya tipis tidak apa-apa. Sontak, ia pun langsung lari mengejar anak tadi, meninggalkan semua barangnya di sebelah motor.
"(Bagaimana dia bisa mencuri dompet dan ponselku? Celana yang kupakai lumayan ketat, bahkan aku sendiri kesusahan untuk mengeluarkan isinya.)"
Diki berlari sekencang-kencangnya diantara pejalan kaki. Jarak dirinya dengan anak itu bisa dibilang lumayan jauh. Sedikit saja ia melambat dan pandangan dirinya dengan anak itu akan menghilang.
Di sisi lain, anak tersebut langsung menyadari bahwa dirinya dikejar oleh Diki langsung mempercepat langkahnya dan masuk ke sebuah belokan di kiri. Diki yang melihat itupun juga mengikutinya, namun dia langsung berhenti ketika melihat ada dua preman yang memenuhi gang sempit itu. Aneh, kedua preman itu juga nampak kebingungan dengan apa yang barusan terjadi.
"Woi! Lo liat apa yang barusan lewat?"
"Enggak, ane nggak liat apa-apa."
Awalnya Diki ragu, namun melihat anak itu sudah hampir hilang dari penglihatannya, ia pun menerobos kedua preman itu tanpa pikir panjang.
"WOI! BOCAH TENGIK! KESINI KAU!" teriak salah satu preman.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf, tapi tidak ada jalan lain. Aku benar-benar terpaksa menggunakannya."
Diki sudah keluar dari gang itu, tapi anehnya preman-preman tadi tidak bisa keluar seolah-olah ada dinding tak terlihat yang menghalangi. Segala upaya mereka coba untuk melewatinya tapi hasilnya nihil.
Kejar-kejaran pun berlanjut dan perlahan Diki mulai menutup jarak. Masih di pasar, anak itu belok kanan di sebuah pertigaan dan anehnya saat Diki mengikutinya, jarak diantara mereka kembali menjauh dalam waktu yang singkat.
"Bagaimana bisa di-" ucapannya terhenti ketika melirik seorang tukang sapu yang juga kebingungan.
"Kok tong sampahnya bisa jatuh? Apa iya kena angin?"
"(Semuanya menjadi jelas sekarang, semua kejanggalan yang ada pasti ulah anak itu.)" begitu benaknya.
Dia pun masih terus mengejar anak itu sampai akhirnya masuk ke sebuah gang sepi di celah pasar.
"(Tidak ada orang dan jalan lurus, inilah saat yang tepat untuk menggunakannya.)"
Dengan segenap tenaga yang tersisa, Diki langsung berlari secepat mungkin dan saat jarak diantara mereka sudah cukup dekat, ia pun segera menjulurkan tangan kanannya.
Sepertinya dugaan Diki memang benar kalau anak itu juga memiliki Bakat. Tiba-tiba tubuh anak itu sudah berpindah semakin jauh dalam sekejap mata. Tapi memang Diki sudah memperkirakan hal tersebut dari awal setelah melihat fenomena-fenomena yang terjadi.
Badan anak itu seketika terpental seolah jalan di hadapannya terhalang oleh tembok tak kasat mata. Hal ini persis seperti yang terjadi pada para preman sebelumnya.
"A-Apa? Apa yang-"
Anak itu langsung panik melihat tembok mirip kaca di depannya. Ia berusaha memanjat namun dinding itu kelihatan lumayan licin sehingga ia terjatuh.
"Untung saja masih sempat."
Diki berjalan cepat mendekati anak itu sebelum ia dapat menggunakan Bakat-nya lagi untuk kabur. Melihat hal tersebut, anak itu langsung ketakutan dan duduk memojok di pinggiran. Ia segera keluarkan semua barang dan uang receh koin dari dalam saku jaketnya.
"To-tolong! Jangan pukul aku! Ampuni aku! Aku mohon!" pinta anak itu memelas.
Ia segera menutup wajahnya dengan kedua lengan kecilnya berusaha untuk melindungi diri. Tapi dibaliknya, terdengar jelas bahwa ia aslinya menangis.
Seolah tak memperdulikan hal itu, Diki mengayunkan tangan kanannya cepat hendak memukul anak itu. Namun, ia seketika tersadar akan sesuatu dan menghentikan kepalan tangannya itu tepat sebelum mengenai kepala anak tersebut.
"(Sejak kapan aku mulai merasa marah?)"
Diki sangat kebingungan. Dirinya sendiri bahkan tidak tahu akan apa yang terjadi pada tubuhnya, seolah tangannya itu bergerak sendiri di luar kendali. Diambilnya nafas panjang sambil menurunkan tangan kanannya ke tanah untuk mengambil dompet dan ponselnya.
"Lain kali jangan lakukan hal semacam ini lagi, paham?"
Namun anak itu masih saja menangis dan menutupi wajahnya penuh ketakutan.
Saat ini, Diki ingin sekali untuk meninggalkannya disini begitu saja. Namun, ada 'bagian' dari dirinya yang seolah tak tega melakukan hal tersebut. 'Bagian' sama yang menyadarkan dirinya akan perbuatan keji yang ia hendak lakukan barusan.
Diki berjongkok kemudian bertanya.
"Hei, nak. Siapa namamu?"
Anak itu menurunkan tangannya dan diperlihatkan wajahnya yang kusam. Air mata nampak masih berlinang dari kedua matanya membasahi pipi kecilnya yang kotor.
"Kakek... biasa memanggilku... Nita." ucapnya agak kesusahan sembari menahan ingus yang keluar dari hidung mungilnya.
"Nita, ya? Lebih baik kau gunakan kekuatanmu itu untuk sesuatu yang lebih berguna. Paham?"
"Kakek juga bilang begitu. Tapi aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan."
Tiba-tiba terdengar suara perut keroncongan. Nita pun berusaha meredamnya dengan menekan perutnya kuat-kuat supaya berhenti.
"Kau lapar?"
Nita menjawabnya dengan mengangguk pelan.
Diki mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dari dalam dompetnya dan menyodorkannya ke hadapan Nita.
"Ini ambilah."
Tangan Nita reflek ingin mengambil uang tersebut. Namun gerakannya terhenti ketika mengingat bagaimana ia telah mencoba untuk mencuri dari Diki. Menyadari kesalahan yang ia perbuat, segera diurungkan niatnya itu.
Diki yang seakan memahami jalan isi pikirannya pun berkata.
"Tidak apa-apa, ambilah. Aku memaafkanmu kok."
Dengan ragu-ragu, Nita pada akhirnya mengambil uang tersebut menggunakan kedua tangannya seperti tak percaya.
Saat itu juga matanya terbelalak sembari tersenyum lebar. Ia segera berdiri dan melompat kegirangan sampai-sampai hoodie jaketnya terbuka dan memperlihatkan rambut pendek berwarna pirang gelap miliknya.
"Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih! Dengan ini kakek dan aku bisa makan."
Diki masih dengan ekspresi yang datar hanya bisa melihat tingkah laku Nita yang nampak sangat senang. Karena dirasa sudah cukup, ia pun berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun untuk berpamitan dengan Nita.
Pada detik ini, benang takdir sudah berganti, jalan dunia telah berubah secara drastis. Meskipun begitu, hal tersebut belum saja cukup untuk menyelamatkan semesta seperti yang Io harapkan.
Sementara itu di saat yang sama, di dalam sebuah kamar hotel. Seorang pria berkacamata sedang sibuk mengetik bahasa pemrograman di laptop. Rambut panjangnya yang berwarna biru gelap nampak serasih dengan setelan jas gelap yang ia kenakan.
Sebuah notifikasi pop-up muncul di layar laptop. Diceknya langsung pemberitahuan apa yang muncul dan saat menyadari isinya, segera ia panggil rekannya.
"Haiden! Kita mendapat sinyal lagi."
Seorang pria yang juga berjas berjalan masuk dari arah balkon luar. Rambut jabrik coklat sesekali ia rapikan menggunakan kedua tangannya karena terkena hembusan angin dari luar.
"Kali ini dimana, Boris?" tanya Haiden.
"Di pasar, jaraknya sekitar 200 meter ke utara dari sini."
"Biarkan saja. Aku pesimis kalau kita bisa menemukannya di tempat ramai. Sudah lebih dari sebulan kita di kota ini dan tidak ada kemajuan sama sekali."
"Jadi kita acuhkan?" tanya Boris kali ini.
Haiden mengangguk sekali kemudian berjalan kembali ke balkon untuk merokok. Masih di balkon, ia bertanya kepada partner-nya.
"Ngomong-ngomong, dimana Elena berada? Sudah tiga hari kita kehilangan kontak dengannya."
"Biarkan saja. Dia mungkin juga menemukan mainan baru seperti biasanya."
Haiden berdecih mendengar respon tersebut, lalu berkata.
"Tidak bisa! Dia yang seharusnya memimpin operasi ini. Aku akan telpon dia sekarang."
Di tempat lain, seorang wanita duduk santai di springbed kamar sembari memperhatikan setiap inci ruangan. Rambutnya sepunggung berwarna hitam pekat dengan gradasi ungu gelap di bagian ujung. Menyadari ponsel di saku dadanya bergetar, ia langsung mengangkat telepon tersebut. Ia dekatkan ponselnya ke telinga kirinya yang bertindik lalu berkata.
"Oh, Tuan Haiden. Ada perihal apa sampai kau harus memanggilku?"
"Hei! Aku ingin membicarakan tentang operasi kita ini!"
Elena terkekeh kecil mendengar hal tersebut kemudian berkata santai.
"Tenang saja, Tuan Haiden. Semua aman terkendali."
"Jangan kau anggap enteng operasi ini. Ingat! Pengkhianat itu mempunyai Bakat Chronokinesis dan kita bahkan belum menemukannya."
"Iya, iya, aku paham kok." sahut Elena masih terdengar santai.
"Dimana posisimu sekarang?"
"Aku ada di- Oh, dia datang. Kita lanjutkan ini nanti."
Elena menutup panggilan lalu berjalan menuju gorden kamar yang tertutup. Dibukanya sedikit guna mengintip keluar jendela dan nampak dari atas Joseph sedang membuka gerbang rumahnya.
Iya, Elena sekarang berada di rumah Joseph.