Sinar mentari pagi menyelimuti hari yang baru, tapi hal itu tidaklah berpengaruh sedikit pun pada Dean yang kamarnya tidak ada akses masuk cahaya sama sekali.
Dari luar kamar, Ibu Dean berucap agak lantang mencoba untuk membangunkan putranya, "Yan! sarapannya sudah jadi!"
"Iya, bu!"
Dean segera membuka matanya lalu duduk di kasur sebentar untuk mengumpulkan nyawa yang belum terisi penuh karena mimpi aneh yang barusan dialami.
"Sialan! Mimpi apaan dah barusan? Bikin pusing aja," batin Dean sambil memegangi kepala.
Kepalanya saat ini terasa agak berat seolah bobot otaknya bertambah. Dengan wajah masih kumal, ia pun beranjak dari tempat tidur dan berjalan keluar menuju ruang makan, melewati sebuah kamar tidur berhiaskan sterofoam dengan tulisan 'Maya' di atasnya.
Cukup bermodalkan cahaya pagi, seisi ruangan makan itu terlihat jelas di mata ngantuknya. Sebuah lemari kaca di sisi kiri yang berisikan piring-piring hias dan ornamen-ornamen kecil menjadi dekorasi ruangan tersebut. Sementara itu, di tengah ruangan terdapat meja makan bundar dari marmer putih.
Seorang wanita berdaster krem bercampur corak hitam sedang menikmati sarapan. Rambutnya coklat gelap sepunggung agak bergelombang dengan kulit sawo matang. Dia tidak lain adalah Ibunya Dean.
Sedangkan di sebelahnya seorang gadis berambut perak sepunggung. Perawakannya ramping dengan tubuh tidak terlalu tinggi. Kulitnya putih dan nampak mulus bagaikan kapas. Tatapan mata biru mudanya kelihatan sayu dengan mulut yang masih mengunyah makanan.
"Dean, cepetan habisin sarapanmu gih! Keburu dingin nanti," seru sang ibu.
"Iya, bu," jawab Dean malas, "Maya, lo udah makan duluan ternyata."
Gadis yang dipanggil Maya itu hanya bisa mengangguk tanpa melontarkan satu patah kata pun dari mulutnya.
Tiba-tiba kepala Dean mendadak pusing tanpa alasan. Saking hebatnya, bahkan badannya seperti kapal yang terombang-ambing tak karuan oleh ombak. Beruntung, ia masih bisa berpegangan pada dinding di sebelahnya.
"Kamu gak apa-apa? Kalo sakit segera sarapan terus minum obat sana," ujar ibunya cemas.
"Hehe, gak apa-apa kok. Cuman masih ngantuk doang."
Meskipun begitu, tapi tersirat hal yang aneh di benaknya, "Itu... siapa? Gue kan gak punya saudari."
Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Seolah-olah ada sesuatu yang memaksa masuk ke dalam pikirannya. Sebisa mungkin ia harus menahan pening ini, setidaknya sampai sarapannya habis.
"Aku sudahi dulu."
Maya berdiri dari tempat duduknya sambil membawa piring dan gelas kotor.
Karena Dean yang masih bersandar di situ mengakibatkan jalannya terhalangi sehingga sikut mereka berbenturan secara tidak sengaja. Syukurlah tidak ada benda yang jatuh. Tapi hal itu langsung direspon negatif oleh Dean dengan memasang tatapan sinis, sementara Maya hanya diam tertunduk seakan takut.
Dean yang masih memegangi kepala langsung menyambar kursi yang di depannya telah tersedia mi goreng dan telur dadar. Sambil menahan pusing, ia terus melahap sarapan yang disediakan meskipun nafsu makannya menurun drastis.
Seusai menghabiskan sarapan, ia langsung menegak segelas penuh susu guna menyudahinya. Sambil membawa piring kotor, ia berjalan ke lorong dapur guna meletakkan piring tersebut ke wastafel begitu saja.
Tepat di sampingnya, terlihat Maya mengenakan celemek putih bermotif bunga sedang mencuci piring dan peralatan dapur yang kotor.
"Nih, cuciin!" bentak Dean.
"Iya," jawab Maya merendah.
"Kok gue gini amat, yak?" pikirnya aneh karena baru saja membentak seorang gadis yang bahkan tak ia kenali.
Dean pun berjalan dengan masih memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia berniat menuju ke kamarnya dan tidur lagi, berharap pusingnya akan hilang saat bangun nanti. Sesampainya di kamar, ia segera merebahkan dirinya di atas kasur lalu menutupi kepalanya dengan bantal berharap pusing itu akan mereda.
Sayang, situasi malah semakin memburuk. Kepalanya memanas seakan disiram air yang mendidih. Ia hanya bisa menggeliat sambil menahan rasa sakit yang teramat itu. Mulutnya ia bungkam serapat mungkin agar tidak mengeluarkan suara sama sekali. Badannya mengucurkan keringat deras bahkan sampai membasahi seprai kasur.
"Sial! Sial! Sial! Kenapa ini?!" teriak Dean dalam batinnya.
Semenit sudah berlalu. Pusing di kepalanya pun menghilang. Ia segera mengatur nafasnya guna meredam jantungnya yang berdetak kencang, sebelum akhirnya mengusap beberapa tetes air mata yang terlinang membasahi pipinya akibat dari rasa sakit barusan.
"Yang kemaren malam... bukan mimpi..." gumamnya.
Tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas tumpukan buku pelajaran bergetar dan memunculkan notifikasi dari grup chat dengan dua temannya yang lain, Joseph dan Diki.
-Joseph-
"Hoi! sekarang sekolah."
-Diki-
"OK."
Ia gapai ponselnya dan mengetik, "Aku paham."
Dean segera beranjak dari kasur lalu berganti pakaian kemeja putih dan celana hitam dari lemari. Sementara kaos dan celana boxer-nya ia lempar begitu saja ke atas kasur.
"Tidak usah mandi, ini situasi darurat."
Dengan cepat, ia berlari keluar rumah melalui ruang tamu melewati ibunya yang duduk di sofa sembari menonton TV.
"Bu, aku berangkat ke sekolah dulu!"
"Ah iya, hati-hati! Bukannya ini Hari Minggu, ya?"
Diambilnya sebuah sepeda berwarna merah yang terparkir di samping rumah dan langsung dikayuh secepat mungkin ke sekolah.
Hanya butuh waktu sepuluh menit, ia pun sampai di depan pintu gerbang sekolah yang terbuka. Ia segera masuk ke lapangan sekolah dan memarkirkan sepedanya di pinggiran lapangan, melewati anggota ekskul memanah yang sedang berlatih.
Dengan nafas yang terengah-engah, ia segera membuka pintu kelas dan mendapati sudah ada kedua temannya yang menunggu. Joseph duduk di atas meja, sementara Diki berada di samping kirinya sambil menatap layar ponsel.
"Gue yakin... kalo kita sepemikiran, kan?" ucap Dean masih ngos-ngosan.
Keduanya mengangguk bersamaan.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Joseph.
"Sepertinya yang dimaksud Io dengan 'kalian akan paham dengan sendirinya' adalah memasukkan banyak informasi secara paksa ke kepala kita. Dan itu jelas bukan sesuatu yang ingin kurasakan lagi," sahut Diki.
"Ok, gue cuman pengen mastiin. Jadi ingatan yang kita dapet itu dari dunia lain, begitu? Hah... sekarang gue punya adik angkat perempuan dan... gue merasa nggak enak."
"Merasakan kembali pengalaman pahit 'itu', aku sampai memuntahkan semua sarapanku tadi," ucap Diki sembari memegangi bekas luka di lehernya.
Joseph yang melihat kedua temannya murung langsung memutar otaknya untuk mencari topik pembicaraan yang lain.
"Hei, lihat sisi positifnya! Kita jadi punya semacam kekuatan super."
Joseph membuka telapak tangan kirinya lalu merapal, "Hyper Link."
Tiba-tiba muncul benang berwarna keunguan semi-transparan dari masing-masing jarinya. Ia pun bangun dari duduknya dan mulai memanjangkan benang tersebut sampai ke sudut-sudut kelas seperti jaring.
"Oh, wow! Lo bisa ngeluarin kayak gituan?!" ucap Dean kagum.
"Dibanding ini, aku yakin bakat kalian lebih bagus." Joseph menutup tangan kirinya dan semua benang itu lenyap.
"Kalo kau gimana, Dik?"
Diki melebarkan tangannya ke depan lantas merapal, "Creation."
Sebuah pelindung setengah lingkaran muncul di hadapannya, yang kemudian disentil beberapa kali oleh Dean karena saking penasaran.
"Ini... mirip kaca." ujar Dean.
Diki mengangkat tangannya dan pelindung itu melayang seakan mengikuti arahan tangannya, sebelum akhirnya menghilang di udara.
"Aku bisa membuat bentuk yang lain. Tapi aku rasa itu cukup untuk saat ini," ucapnya dengan nada datar.
"Seenggaknya itu keliatan lebih bagus dari punyaku," ucap Joseph sedikit merendah.
"Baiklah! Sekarang giliranku! Figh-" Dean mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan hendak menggebrak meja. Namun hal itu seketika dihentikan oleh kedua temannya.
"Kami tahu bakatmu, oke? Nggak usah dipraktekan."
"Kita masih di sekolah. Setidaknya kalau kau ingin menghancurkan sesuatu, yang pasti jangan di sini."
"Alahhh... kalian ini nggak asik sama sekali."
Melihat mood kedua temannya yang sudah membaik, Joseph hanya bisa senyum tipis karena senang. Ia lantas berkata, "Karena kita udah paham ama situasi sekarang, jadi kalo ada yang mau pulang silahkan aja."
Diki menjadi yang pertama untuk berjalan keluar kelas, sementara kedua teman lainnya masih duduk santai.
"Eh? Lo pulang duluan? Cepet amat."
"Aku tadi disuruh emak buat ke pasar pas mau berangkat."
"Oalah, ya udah hati-hati aja!"
Diki berjalan menuruni tangga sambil melihat lorong-lorong kelas yang kosong. Saat ia hendak menuju parkiran, terdengar suara panggilan seorang gadis dari belakang, "Diki? Tumben lo ke sekolah pas Hari Minggu."
Gadis itu mengenakan celana training hitam dengan atasan kaos olahraga berwarna krem. Rambut coklatnya terurai sebahu dengan pipi memiliki sedikit bekas jerawat. Di tangan kanannya, ia membawa sebuah minuman kaleng yang sudah terbuka.
"Kukira siapa ternyata kau, Agisa. Sedang latihan memanah?"
"Yoi. Lo sendiri ngapain ke sini?" Agisa balik bertanya kemudian meneguk minuman yang ia bawa.
Diki diam sesaat untuk memikirkan sebuah alasan, tidak mungkin dia menceritakan kejadian yang baru menimpanya.
"Anggap saja aku bermain bersama Dean dan Joseph."
Namun Agisa langsung mengetahui kebohongan yang Diki utarakan dan menjawab sambil menyeringai kecil, "Lo itu emang nggak pandai berbohong sejak kecil. Untungnya aku bukan tipe cewe yang kepoan jadi kalo nggak mau cerita, gapapa kok."
Agisa yang menyadari bahwa isi minumannya telah habis langsung melemparkan kaleng kosong itu ke tempat sampah yang berjarak sekitar enam meter dan masuk.
*PRIIIIIIIITTTTTTTT
Suara peluit nyaring terdengar dari tengah lapangan. Agisa yang mendengarnya segera berpamitan karena dia harus kembali ke lapangan untuk berkumpul.
"Waktu istirahatku udah kelar. Aku harus kembali." Agisa segera berjalan cepat menuju lapangan.
Namun, Diki tiba-tiba memanggilnya secara mendadak, "Tunggu!"
"Iya? Ada apa?" Agisa menghentikan langkah dan berbalik ke arah Diki.
"Ini mungkin agak aneh untuk ditanyakan. Apa perasaanmu saat kau menyadari bakatmu?" tanya Diki dengan suara lirih.
Agisa sontak memperhatikan sekitarnya ketika mendengar pertanyaan tersebut supaya tidak ada orang yang menguping pembicaraan mereka yang satu ini.
"Ngapain lo tiba-tiba nanya hal kek gituan?" sahutnya juga lirih.
"Maaf, sepertinya aku salah membaca situasi."
Agisa mendengus pelan kemudian menjawab, "Susah buat dijelasin sih. Jujur aku merasa senang, bingung ama takut. Bentar deh! Emang kenapa lo tau-tau nanya gituan?"
Agisa melirik cepat ke lapangan dan menyadari bahwa banyak anggota lain sudah berkumpul. Ia pun segera berpamitan, tidak memberi Diki kesempatan untuk menjelaskan situasinya.
"Aku mesti kembali sekarang. Kalo masih pengen ngebahas, PM aja entar," lanjutnya sembari mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum kecil.
Agisa pun berlari meninggalkan Diki dan bergabung dengan anggota memanah yang lainnya. Sementara Diki masih berdiri diam untuk beberapa saat.
"Kau benar. Rasanya... susah untuk dijelaskan."