webnovel

Aku Memang Orang Dusun, Apa Salah?

Percakapan hangat antar Tian dan Andra terus berlanjut. Banyak dari pembicaraan mereka berkutat tentang kampung halaman yang mereka cintai, dusun Ampas. Telah 5 tahun Tian meninggalkan kampung halamannya untuk meniti karier di kota Madara, merindukan tempat dimana ia lahir dan dibesarkan adalah suatu yang manusiawi dan guru muda ini ada salah seorang diantarinya.

Dusun Ampas adalah suatu perkampungan kecil yang terletak di arah timur kota Madara. Jaraknya dari kota tersebut sekitar 150 KM. Untuk sampai ke tempat ini butuh waktu 1 hari dengan kendaraan roda empat, dikarenakan kondisi jalan yang berbatu serta melewati barisan pegunungan dengan jurang yang terjal adalah alasan terberat mendatangi dusun Ampas. Namun ketika menggunakan sepeda motor, kiranya akan memangkas waktu setengah hari untuk dapat sampai ke tempat ini.

Kondisi jalan yang buruk dengan waktu tempuh yang lama merupakan tantangan tersendiri bagi para perantau sewaktu pulang. Meski demikian, selalu ada cinta yang menanti disana dan karena cinta itu pula mereka mampu membelah gunung atau menyeberangi jurang sekalipun adalah suatu yang setimpal.

Rasa rindu Tian pada kampung halaman sangat besar. Ia ingin kembali untuk menjenguk sanak familinya disana.

"Andra, nanti kalau sekolah liburan, Kamu mau ikut barang saya pulang?" Tian bertanya pada Andra yang tengah makan dengan lahap. Sambil memegangi tas kerjanya lalu berdiri, bersiap untuk pulang lebih dahulu.

Beberapa saat lalu, guru muda itu telah selesai makan sementara Andra malah belum kenyang bila hanya satu porsi, jadi tanpa rasa malu ia meminta Tian untuk membayar 1 porsi lagi untuknya. Mengingat banyak tenaganya yang terbuang karena lari mengelilingi lapangan tadi.

" oke kakak.. kan kalau liburan saya tidak mungkin bertahan disini. Hitung-hitung hemat biaya makan. He he he" canda Andra yang sejenak menghentikan makan lalu menanggapi pertanyaan guru muda di depannya.

"baiklah kalau begitu, saya pulang lebih dahulu yah. Semua sudah saya bayar jadi kamu tidak perlu pikirkan" kata Tian dengan santai, lalu bersiap meninggalkan meja makan.

Menanggapi kakak seperguruannya, Tian sejenak berhenti dari menyantap makanan lalu mengangguk hormat. Kemudian berkata, "Terima kasih traktirannya Kakak. Lain waktu giliran saya". Senyum tulus terukir di wajahnya.

Tian mengacungkan jempol dan melempar senyum yang sama tulusnya kemudian bergegas pergi meninggalkan restoran Seroja dengan langkah lebar.

Beberapa saat kemudian, Andra telah menyelesaikan porsi ke 2 makan siangnya. Makanan di tempat ini terbilang enak, tapi rasanya tidak jauh berbeda dengan warung pinggir jalan yang biasa Andra datangi, hanya saja porsi makanan di tempat ini jauh lebih sedikit. Namun kira-kira, berapa yah harga makanan ini? Sebab Andra berniat mentraktir Kakak Tian kapan-kapan, jadi tidak ada salahnya mencari tahu harga makanan yang baru saja ia makan.

Andra yang dirasuki rasa penasaran segera mengambil secarik menu makanan yang tergeletak diatas meja dan mulai membukanya perlahan.

"Wow..g*la" Andra terkejut melihat daftar harga yang tertera. Bila dibanding dengan harga makanan di warung pinggir jalan sangat jauh berbeda. Bayangkan saja, harga makanan disini 10 kali lipat lebih mahal dari tempat biasa ia makan. Sama halnya, ketika makan 1 porsi di tempat ini seperti makan 10 porsi di warung pinggir jalan.

<g*la, gengsi memang jauh lebih mahal dari pada kebutuhan> Andra tak dapat menahan keterkejutannya tentang yang barusan ia lihat. Hatinya masih tidak dapat tenang melihat yang demikian.

"Hei bocah! Baru lihat makanan mahal? Ha ha ha". Suara Arga menghentak pria muda yang membelakanginya. Tawa sinisnya mengarah dengan jelas pada pria muda itu.

"kan dia orang dusun, jadi wajar sih. Ha ha ha". Sardi menimpali sambil melihat ke arah Andra dengan tawa meremehkan.

Sesaat, Andra terkesiap dari keterkejutan lalu berbalik pada sumber suara yang baru saja menghardiknya.

<hm? Mereka lagi?> gumam Andra kala melihat dua sosok pria di depannya. Ya ia sangat kenal dengan dua orang ini. Kemudian ia berkata dengan wajah dingin. "kalian, apa sudah tak ada pekerjaan lain selain mencari masalah?".

" tenang saja, kami tidak mencari masalah kok. Lagian, kau tidak mungkin dapat melawan kami berdua sekaligus kan?" Kalimat Sardi masih dengan raut meremehkan.

"Kami kesini hanya mau melihat orang dusun yang lagi kaget dengan harga makanan di restoran terbaik se kota Madara ini, jadi itu bukan mencari masalah kan?" Arga melanjutkan, seolah menjelaskan apa yang hendak dikatakan teman di sebelahnya.

"ha ha ha" Andra merasa lucu dengan kalimat dua orang di hadapannya ini. Bagaimana mungkin Andra tidak tertawa ketika dua orang yang membencinya, malah sangat detail memperhatikan dirinya. Padahal orang-orang di restoran ini tidak memperhatikan Andra sejak tadi, namun tidak untuk kedua orang ini.

" pertama, aku tidak merasa takut pada orang seperti kalian. Lalu yang kedua, aku memang orang dusun dan itu bukan urusan kalian. Terakhir, aku sarankan kalian untuk segera pergi dari hadapanku". Andra berkata perlahan dengan pesona dingin yang dapat menggentarkan hati yang melihatnya.

Sardi dan Arga turut merasakan aura dingin yang dipancarkan Andra. Namun karena ego diri yang besar, mereka tak memedulikan perasaan gentar yang melanda.

" bocah ingusan, kau terlalu menganggap dirimu hebat!". Sardi berucap dengan lantang. Walau beberapa saat lalu ia gentar, tetap saja tak mengubah niatnya untuk terus menghardik Andra.

" Dasar orang dusun, kau tak pantas berada di tempat mewah ini. Enyahlah!!". Sardi tak lupa ikut-ikutan menyudutkan pria muda di hadapannya.

"sudah ku katakan, aku memang orang dusun. Dan yang harus kalian tahu, kalian tidak berhak menyuruh saya pergi dari sini!!". Andra menanggapi dengan wajah geram, kalimatnya bahkan lebih lantang dari dua orang di depannya.

"Kau cari mati, bocah" Sardi seketika mendekat ke tubuh Andra lalu menggenggam kerak baju pria muda berwajah tampan itu. Tangan kanannya digenggam erat, bersiap untuk menjotos Andra.

Andra tak bergidik sedikit pun dengan ancaman yang datang padanya. Ia malah berdiri dengan tenang melihat tindakan Sardi yang hendak menyerangnya. Karena sebagaimana pun cepatnya Sardi menjotos, tetap saja ia dapat menghindar dengan mudah.

"Sardi.. Arga, Hentikan!" Tiba-tiba suara Mikaila mengarah langsung kepada dua orang rekannya. Wajahnya muram, memancarkan kekesalan kepada teman-temannya itu.

Mikaila telah menyaksikan pertikaian itu sejak tadi, ia tahu betul apa yang sebenarnya terjadi antara dua rekannya dengan Andra. Tak lain, kedua rekannyalah yang mulai menghina Andra lebih dulu, sedangkan Andra hanya korban penggunjingan rekannya.

"Mikaila, kenapa ? Apa ini salah?". Sardi perlahan melepaskan tangannya dari Andra lalu melihat ke arah Mikaila.

" Iya.. harusnya kamu senang ketika bocah dusun ini mendapat pelajaran kan?" Arga pun memandang aneh atas apa yang dilakukan Mikaila.

"sudah.. cukup, aku tak mau masalah ini diperpanjang. Ini tempat umum, jangan bikin malu". Mikaila beralibi panjang lebar. Walau alasan sebenarnya ia tidak rela ketika melihat Andra dipukuli, tetap saja ia tidak mungkin mengungkapkannya. Mikaila tak ingin membuat kedua rekannya menaruh curiga, serta ia tak ingin Andra merasa dikasihani olehnya. Jadi beralibi untuk menghindari malu karena tempat umum cukup bagus dan tidak condong memihak siapa pun.

<Benar juga kata Mikaila. Lagian jika aku buat masalah disini pasti akhirnya akan berurusan dengan hukum. Ah, untung saja aku belum menjotos bocah ini. Kalau tidak pasti berabe> gumam Sardi dalam hati.

" kali ini, kau ku lepaskan bocah tengil. Namun ketika ku lihat lagi batang hidungmu pasti akan kubuat wajahmu bonyok" Andra berbicara dengan tatapan sinis. Amarahnya terpaksa ia benam sesaat, karena Mikaila menatap tajam ke arahnya.

<Aduh.. memang cinta bisa mengubah segalanya> Arga bergumam kesal dengan keputusan Sardi yang terlalu menuruti Mikaila. Namun apalah daya, ia tak dapat menentang keputusan Sardi dan memilih tak berkomentar apa-apa.

"Ayo pulang, kalau tidak aku akan membenci kalian berdua" Mikaila membalik badan dan pergi dengan rasa kesal yang mendera.

Sudah dapat di tebak, Sardi dengan cepat mengikuti langkah Mikaila dan Arga jelas mengekor di belakang Sardi. Namun sebelum pergi, Arga memberi isyarat seperti menggorok leher dengan jari telunjuknya pada Andara kemudian berlalu pergi meninggalkan restoran Seroja.

"huuuhh" Andra mendengus pelan. Bagaimana pun sejak tadi ia telah menahan diri untuk tidak terpancing dengan provokasi kakak kelasnya itu. Namun jika saja tadi ia benar-benar di serang, sudah pasti dua orang itu akan bonyok dibuatnya. Sebab, keahlian terkenal dari perguruan Putu Silat adalah pertarungan jarak dekat. Sungguh suatu kesalahan besar ketika menyerang Andra dalam jarak seperti tadi.

Beberapa saat kemudian, Andra kembali ke kursi meja makan yang ia duduki tadi. Sementara dua orang kakak kelas yang mencoba menyerangnya tadi telah lenyap dari pandangan. Andra menemui pelayan lalu memesan segelas es teh untuk menghilangkan dahaga akibat peristiwa barusan. Harga minuman disini tidak semahal makanannya, meski tetap ada sedikit selisih harga dengan warung pinggir jalan. Jadi membeli segelas bukanlah masalah.

Andara perlahan menyeruput minumannya, sembari menenangkan diri dari emosi yang ter tahan. Setelah memastikan minumannya benar-benar habis dan telah sepenuhnya menguasai diri akan amarah, pria muda dengan kulit kuning langsat itu bergegas pergi dari restoran mewah tersebut.

Jarak dari restoran menuju kos Andra cukup jauh. Untuk mempersingkat jarak, Andra melalui lorong-lorong sempit menuju pinggir kota Madara.

Belum beberapa jauh dari restoran Seroja, pada suatu lorong yang sepi. Samar-samar Andra merasa tengah diikuti dan bukan hanya satu orang. Menyadari itu, Andra tidak gentar sedikit pun. Ia hanya memasang konsentrasi penuh, mewaspadai serangan yang datang dengan tiba-tiba lalu tetap melangkah dengan tenang.

Setelah melangkah di sisi terdalam lorong, Andra berhenti sejenak lalu memperhatikan sekeliling dan berkata dengan suara lantang.

"Jangan jadi penakut, tunjukkan batang hidung kalian. Jika tidak, aku tidak akan mengampuni!!". Suara Andra memecah sepinya lorong sempit itu. Tak perduli berapa pun yang datang menyerang, selama itu dalam jarak dekat maka bukanlah masalah.