webnovel

Guru Silat Terhormat

Sejak Mikaila mengetahui latar belakang Andra yang pelik, rasa iba dalam hatinya telah menggerus semua kekesalan yang mendera dan berubah menjadi rasa bersalah atas tindakannya saat hari pertama MOS waktu itu. Lalu, bagaimana mungkin ia tak merasa kaget ketika samar-samar mendengar percakapan kedua rekannya.

" tuh.. liat tuh siapa yang disana" kata Arga wajahnya masih dengan pancaran kebahagiaan. Pada saat bersamaan, ia mengisyaratkan mata mengarahkan pandangan Mikaila agar melihat ke arah lapangan sepak bola. " Aku yakin sebentar lagi anak ingusan itu pasti terkapar ke tanah, ha ha ha" Arga melanjutkan perkataan, wajahnya masih dengan raut yang sama dan ia tak dapat menahan tawa bahagianya melihat orang yang ia benci sebentar lagi mungkin akan terbaring lemas.

Mikaila memandangi seorang pria muda yang tengah berlari mengelilingi lapangan itu dengan saksama. Mata indahnya sedikit bergetar, memerah, mewakili perasaannya yang kian memilukan. Sampai-sampai seluruh tubuhnya pun kini ikut bergetar. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bukankah seharusnya Mikaila senang melihat siswa baru yang mempermalukannya waktu itu mendapat balasan setimpal?. Sungguh perasaan yang menghampiri gadis yang menjadi ikon keindahan dan kecerdasan di SMA Panca Sila ini tak dapat ia pahami. Awalnya ia hanya merasa iba pada pria muda itu, namun perasaan yang ia rasakan kini sungguh jauh berbeda dari sekedar rasa kasihan.

Sejenak, Mikaila menarik napasnya dalam-dalam menghembuskannya kembali dengan perlahan-lahan sambil mengalihkan pandangannya dari pemandangan yang memilukan itu, Ia berusaha agar perasaannya kembali tenang.

Setelah mampu menguasai perasaan yang mendatanginya barusan, Mikaila melempar pandangan kepada dua rekannya lalu berkata. " Sar.. Arga.. yuk pulang, aku udah lapar bangat nih!" sambil memegangi perutnya. Mikaila sengaja mengalihkan perhatian kedua rekannya dengan alibi lapar dan meminta mereka untuk pulang bersama. Sebab Jika Mikaila tak pulang sekarang, mungkin sebentar lagi ia tak akan mampu menguasai diri.

"Lagi asyik nih Mikaila... Tanggung" Sardi masih memperhatikan ke arah lapangan, seolah ia tak ingin sedetik pun terlewat dari pandangan menyenangkan itu.

" Ya sudah.. aku duluan yah" Mikaila buru-buru membalik badan, lalu bergegas meninggalkan kedua rekannya dengan wajah masam.

" Mikaila tunggu .. aku ikut" Sardi berkata setengah berteriak. Selintas ia melihat wajah masam gadis cantik pemilik mata indah itu dan ia tak ingin gadis itu marah padanya.

Arga terheran ketika Sardi ikut pergi bersama Mikaila, kepalanya ia geleng-gelengkan, tak menyangka pemandangan yang mengasyikkan di lapangan sana dilewatkan begitu saja oleh kedua rekannya.

"dasar budak cinta.. huh" Arga mendengus pelan, namun tetap saja ia mengikuti Sardi dari belakang. Hari ini Sardi berjanji untuk mentraktir mereka makan siang, jadi ia tak mungkin melewatkannya begitu saja. Walau melihat musuhnya menjalani hukuman adalah suatu yang mengasyikkan, namun jauh lebih asyik ketika mendapat makanan gratis di restoran mewah. Demikian pikir Arga, sambil bergegas pergi.

*****

" hah! Hah! Hah!" Helaan napas Andra makin terengah-engah. Badannya lemas dan terlihat sempoyongan. Sekarang adalah jam makan siang dan ia belum mengisi apa pun diperutnya sejak pagi, bagaimana mungkin ia tidak kelelahan. Putaran ke sembilan sebentar lagi akan sampai, sekuat tenaga ia berlari sambil mempraktikkan teknik 'Pukulan Melingkar' hingga sampai pada titik start dengan terengah-engah. Ia berhenti sejenak, badannya ia bungkukkan serta kedua tangannya ditopang ke lutut sambil mengatur kembali napasnya.

[Catatan : teknik pukulan melingkar adalah teknik pukulan yang menggambarkan seperti gerakan memeluk]

" Andra.. tangkap ini" Tian melempar sebotol minuman ke arah Andra yang tengah ngos-ngosan.

Andra meraih sebotol minuman yang dilempar kakak seperguruannya itu dengan sigap. Membuka tutupnya, lalu meminum 3 teguk. Sebab terlalu banyak minum saat seperti ini akan berakibat buruk.

"sudah siap untuk putaran terakhir?" Tian berkata dengan megafon masih didekatkan pada mulutnya.

Andra melihat ke arah sumber suara, lalu mengangguk pelan kepada Tian. Andra mengatur tempo napasnya dan kembali berlari sambil memperagakan teknik pukulan melingkar. Setelah sejenak beristirahat, tampaknya Andra sedikit lebih bertenaga dibanding saat putaran ke 9 tadi dan sudah dapat ditebak, Andra menyelesaikan putaran terakhir dengan mulus.

" bagus... bagus.. bagus, tidak mengecewakan" Tian menepuk-nepuk tangan dan melangkah menuju Andra yang tengah duduk menjuntai kaki di bawah sebuah pohon, di pinggir lapangan sepak bola.

Andra hanya melempar senyum tipis, mendengar sanjungan kakak seperguruannya itu.

" saya pikir kau akan pingsan saat putaran 9 tadi, apa ada yang salah Andra?" Tian sangat tahu, seorang murid padepokan Putu Silat tak mungkin kelelahan dengan sangsi barusan. Sebab, pelatihan fisik sudah menjadi tradisi di padepokan tersebut. Lalu bagaimana mungkin adik seperguruannya itu tak mampu.

"he he he" Andra hanya tertawa nyengir, lalu ia berkata lagi. " saya belum makan sejak pagi kakak" ekspresi wajah Andra masih sama, kali ini ia menggaruk-garuk punggungnya.

" waduh.. pantas. ya sudah ayo kita pergi makan, hari ini saya yang traktir" Akhirnya Tian mengerti sebab kelemahan Andra dan mengajak adik seperguruannya itu untuk makan siang bersama.

<Restoran Seroja>

Di sebuah restoran yang terletak di pusat kota Madara. dua orang lelaki dan seorang wanita tengah berbicara satu sama lain. Tiga sekawan itu baru saja menghabiskan makan siangnya, tampak piring-piring kosong masih berserakan di atas meja. Tiga sekawan yang baru saja makan itu adalah Mikaila, Sardi, dan Arga.

" ngomong-ngomong bagaimana yah nasib si Andra" Arga tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan mereka sejak tadi. Matanya tampak sedikit melebar saat mengarahkan pandangan kepada kedua rekannya.

"Aku yakin.. dia pasti sedang terkulai lemas. Ha ha ha" Sardi langsung menjawab dengan antusias. Ia tak dapat menahan rasa senangnya ketika membayangkan bocah ingusan itu terkapar ke tanah.

" ha ha ha" Arga pun tak dapat menghalau keinginannya untuk ikut tertawa. "rasanya, aku ingin kembali ke lapangan dan menertawai bocah ingusan itu" ia berkata lagi dengan wajah penuh kegembiraan.

Sementara kedua rekannya sedang dilanda suka cita membayangkan nasib Andra saat di lapangan tadi, Mikaila tak ingin ikut-ikutan dalam pembicaraan yang tidak mengenakkan itu. Justru ia berada di restoran Seroja saat ini semata-mata untuk menghindari pemandangan di lapangan tadi. Walaupun perasaannya tidak serumit saat menyaksikan sangsi yang dijalani Andra secara langsung, tetap saja ada getir kecemasan dalam hatinya.

" Andra?" Mikaila berkata pelan sehingga tak terdengar oleh kedua rekannya, senyum tulus terukir di bibir tipisnya. Mata indahnya terpaku pada seorang pria muda yang sedang memasuki pintu restoran Seroja bersama Pak Tian, Guru muda di sekolah Mikaila. Beberapa saat lalu, ia khawatir dengan kondisi pria muda itu. Dapat melihatnya baik-baik saja adalah suatu yang menggembirakan.

Menyadari Mikaila yang senyum-senyum sendiri, Sardi yang sedari tadi memperhatikan gadis itu menatapnya heran.

"Mikaila.. Mikaila.. kok malah bengong" Sardi memanggil-manggil Mikaila, suaranya setengah berteriak agar gadis itu tersadar dari lamunannya.

" oh.. iya maaf Sardi, ada apa?" seketika Mikaila terkesiap, lalu melempar pertanyaan kepada Sardi.

" eh! Malah balik tanya. Kenapa? Apa yang kau lihat?" Sardi melempar pandangan ke arah yang sebelumnya Mikaila lihat.

"Ha?" Sardi terkaget saat melihat orang yang mereka bicarakan sedang melangkah menuju kursi kosong di pojok timur restoran Seroja. "aku tidak mimpi kan? Arga kau harus lihat itu" Sardi menuntun Arga untuk melihat ke arah meja makan bagian timur.

" Apa? Aku tak percaya ini, bagaimana mungkin ia baik-baik saja" Seperti temannya barusan, Arga tak dapat mempercayai apa yang ia lihat. Sesaat Sardi dan Arga tak dapat berlalu dari keterkejutan, suka cita telah berubah menjadi perasaan tidak rela menyaksikan kenyataan yang baru saja terpampang.

Disisi lain, di sebuah meja makan bagian pojok timur restoran Seroja. Seorang siswa berseragam SMA tengah berbincang dengan seorang pemuda berpakaian kemeja di hadapannya. Sambil menikmati makan siang, kedua orang dengan umur terpaut jauh itu terlihat sesekali tertawa. Keduanya tampak seperti kakak beradik yang baru saja bertemu untuk waktu yang lama.

"Oh ya Andra, bagaimana keadaan guru di dusun?" Sambil menyantap makanan, Tian menanyai kabar guru silatnya yang tak lain adalah kakek Maulana.

" Alhamdulillah, kakek sehat.. walau terkadang darah tingginya kumat. Tapi kebetulan ada perawat yang tinggal di samping rumah, jadi kesehatan kakek dapat ditangani dengan baik" Andra berkata perlahan, menjelaskan kondisi kakeknya. Tampak ada ketulusan di wajah Andra ketika menyebut nama orang tua itu.

"Syukurlah.. sebenarnya sudah lama aku ingin pulang kampung dan jenguk guru. Namun karena banyak tugas keluar daerah.. yah, jadinya selalu tertunda" Tian menyampaikan alasan yang menyebabkan ia tidak pulang ke dusun Ampas dalam waktu yang lama. Selain menjadi seorang guru, Tian adalah seorang pesilat profesional yang telah malang-melintang ke berbagai daerah untuk mengikuti turnamen beladiri silat.

" tidak apa-apa kakak Tian" Andra menggelengkan kepala, lalu kembali berkata. " kakek memahami keadaan kakak. Bahkan kakek sangat bangga dengan prestasi yang kakak raih sejauh ini" Andra menjelaskan sungguh-sungguh. Wajah Andra memancarkan kebanggaan besar kepada pria yang menjadi panutannya sejak kecil. Pria itu adalah guru muda yang kini berada di hadapannya, kakak seperguruan Tian.

" kamu tahu Andra, Tanpa guru Maulana, aku tidak akan sampai sejauh ini" Saat kalimatnya terucap, tampak rasa hormat yang besar terukir di wajahnya teruntuk guru Maulana.

Di seberang meja, Andra merasakan pula bagaimana Tian sangat menghormati kakeknya. Sungguh, ini adalah penghormatan yang tidak semua guru silat di dunia ini bisa dapatkan. Sebab penghormatan sebesar yang ia lihat kini adalah sesuatu yang keluar dari dasar hati yang paling dalam.