webnovel

BAB 12

Rini benar-benar mengadakan ‘Pesta Amerikanya’, dan aku tidak pergi, walau tadi dia memaksaku untuk datang.

Sebaliknya, aku justru pergi ke bioskop bersama Adib. Ibuku tidak senang, karena sebelumnya dia mengharapkanku menjaga adik-adikku di rumah, jadi ... ya, dia harus membawa adik-adikku ke acara makan malamnya bersama Om Anton. Itu berarti ... untuk beberapa waktu, malam ini rumahku kosong. Dan aku memutuskan setelah selesai nonton, aku mengajak Adib untuk ke rumahku.

Adib berdiri dengan sabar saat aku mengambil kunci rumah dari dalam tas dan menggemerincingkan kunci itu setelah mengeluarkannya. “Aku beritahu; ini yang disebut kunci. Benda ini yang harus kau pakai saat ingin memasuki rumah.”

Dia tersenyum geli, melangkah ke belakangku dan melingkarkan lengan di pinggangku. Aku merinding saat bibirnya menyentuh tengkukku. Hal itu membuatku membuka pintu dengan cepat, melangkah terburu-buru, dan tersandung keset. Untung saja Adib segera meraih lenganku dan menahannya agar aku tidak terjatuh. Namun hal yang dia lakukan selanjutnya mengejutkanku: Adib mendorongku pelan hingga punggungguku menyentuh dinding, mengangkat lenganku ke atas kepala, dan bibirnya yang hangat menyentuh bagian sensitif kulit leherku.

Astaga ... aku suka dengan apa yang dia lakukan tapi—

“Pintu,” kataku lemah, sambil melirik ke pintu yang masih terbuka.

Tanpa menghentikan yang dilakukan bibirnya di leherku, dia mengayunkan kaki ke pintu, dan pintu tertutup.

Aku tersenyum, tapi kemudian sedikit kaget ketika tangannya meraba bagian bawah tubuhku.

“Ayo kita ke kamar,” katanya.

Sebenarnya, aku tidak ingin melakukan itu terlalu cepat, dan menurutku, pergi ke dalam kamar bukanlah cara yang tepat untuk memperlambat. Sebelumnya kami memang pernah berduaan di kamar tidur, bahkan saling memuaskan di atas ranjang, tetapi kami belum pernah benar-benar berhubungan intim. Tentu aku bisa saja memberikannya, tapi menurutku ... semestinya aku dan dia membicarakan ini sebelumnya, setidaknya untuk memastikan dia memiliki kondom kalau ingin melakukannya.

“Adib.” Dia menatapku. “Aku pikir kita tidak usah terburu-buru.”

“Tapi, aku menginginkannya, Na,” katanya, lalu kembali membungkuk menciumi leherku.

Mendengarnya mengatakan itu, seolah hanya dia yang menginginkannya. “Hei, aku juga ingin. Tapi, tidak secepat itu,” kataku, dan dia berhenti menciumiku.

“Maaf,” katanya menyesal.

“Bu-bukan itu maksudnya. Hanya saja ... bagaimana kalau kita duduk di ruang TV?”

Dia mengangguk, lalu kami menuju ruang TV. Dia duduk di sofa panjang saat aku membuatkan teh untuknya di dapur.

“Dib,” panggilku setelah beberapa saat aku menghidangkan teh di atas meja dan duduk di sampingnya.

Dia menatapku, lalu tersenyum. Tampan sekali. Aku menyukai mata cokelatnya.

“Cium aku,” kataku dengan nada memberi perintah.

Tanpa bicara apa pun, dia menuruti perintahku. Tubuhnya dicondongkan dan bibinya yang hangat dan lembut menyentuh bibirku.

Aku tidak ingin ragu-ragu saat ini, toh kami ada di ruang keluarga. Ya ... setidaknya tempat ini bukan kamar, kan? Jadi aku melawannya; aku menekan bibirku ke bibirnya, tanganku merayap di punggungnya lalu kutekan agar dia semakin mendekat. Namun dominasiku hanya sesaat, Adib mengambil alih ciuman itu, tangannya meraba-raba; satu ke punggung, satu ke belakang kepala.

Kemudian, setelah cukup lama (aku rasa), ciuman kami lepaskan. Dia menatapku, dan aku menikmati kehangatan dalam tatapanya. Ini bukan hanya nafsu; aku melihat banyak cinta dan perhatian di sana. Aku percaya kepadanya.

Lalu aku memutuskan untuk berdiri, menarik kausku melewati kepala, membuka kancing celana denim dan menurunkan resletingnya. Tidak perlu waktu lama hingga aku melempar celana yang sebelumnya aku pakai ke atas lantai. Dan aku berdiri di depannya hanya dengan penutup dada berenda hitam dan celana dalam hitam (percayalah itu paduan yang cocok).

“Berdiri, buka pakaianmu,” aku kembali memberikan perintah. Kali ini aku yang harus mendominasi.

Adib seperti anjing yang patuh. Dia berdiri, melepas kaus hitam polos yang dia kenakan, melepas gesper, dan mulai menurunkan celananya. Lalu aku melihatnya, oh ... ya, celana dalam biru dengan tonjolan besar di tengahnya. Memikirkan apa yang ada di dalam situ saja, sudah membuatku basah.

“Yang itu juga buka,” perintahku sambil menunjuk celana dalamnya.

Adib menatapku, menatap celana dalamnya, lalu kembali menatapku. “Kau?” tanyanya.

“Turuti saja, Bung,” jawabku cukup tegas.

Dia tersenyum, lalu dengan gerakan pelan dia menurunkan pakaian terakhirnya, melepaskannya, kemudian dia berdiri di depanku telanjang, dengan kejantanan yang besar dan keras.

“Sekarang, lepaskan semua yang tertempel di tubuhku.”

Dia tersenyum setelah mendengar perintah itu.

Aku menghela napas gemetar saat dia melepas pengait penutup dada dan menariknya melewati kedua lenganku. Kemudian saat dia menurunkan celana dalamku; ini bukan yang pertama, tapi entah kenapa aku merasa tubuhku terkena serangan panas dingin tiba-tiba, dan aku ... berdebar-debar.

“Kau pernah berhubungan intim sebelumnya?” tanyaku.

Dia mengangguk, seperti budak.

Dua sampai tiga detik aku terdiam. “Aku belum” kataku kemudian, dan itu pasti terdengar bodoh sekali.

Dia tersenyum geli. “Aku tahu,” katanya, dan itu hampir membuat dominasiku runtuh.

Dan dominasiku benar-benar hancur berantakan ketika sekonyong-konyong dia melangkah cepat ke arahku, dan menciumku. Rasanya kulit menyentuh kulit itu berbeda, lebih nyaman dan aku merasa kehangatan tubuhnya, apalagi saat buah dadaku menekan kulitnya ... luar biasa, aku bisa melakukan ini seharian.

Aku mendesah saat jarinya meraba bokong lalu dengan mulus meluncur ke bagian depan, mengelus daging kecil di organ sensitifku. Hal itu membuat denyutan di antara kedua kakiku kurasakan lagi. Enak sekali.

Sambil terus mencium dan mengelus-elus dengan lembut klitorisku, Adib menggiringku menuju sofa, lalu dia menjatuhkanku. Aku sempat merasa ragu, kemudian duduk, tapi dia cepat sekali, tiba-tiba dia sudah berada di depanku sambil seolah berlutut, kemudian bibirnya kembali menyapu bibirku. Gerakan itu membuatku berbaring. Sudah tidak ada dominasi untukku kali ini.

Kejadian selanjutanya sungguh luar biasa. Bayangkan: saat bibir kami sedang sibuk saling memanjakan, tiba-tiba jarinya dengan lembut mengelus-elus puncak buah dadaku, lembut sekali, dan tangan yang satunya melayang di antara dua kakiku. Lututku melebar sedikit saat dia menembus pintu masukku, dan aku terkisap di mulutnya, saat jarinya kembali mengelus klirotisku, gerakannya lebih cepat dari sebelumnya. Kesenangan datang melandaku, dan itu mengalir dengan hebatnya.

Semua itu memukulku dengan keras dan aku hampir berteriak saat ekstasi itu semakin memabukkan.

Adib menghentikan ciuman dan semua gerakannya. Hal itu membuatku membuka mata. Lalu dia duduk di antara kedua kakiku, kemudian menatapku, aku melihat ada keraguan di wajahnya, dan aku tahu kenapa: ini pasti karena penolakanku sebelumnya.

“Kau membawa kondom?” aku bertanya, dan berharap pertanyaan itu bisa membuatnya kembali nyaman.

Dia tersenyum memamerkan giginya yang putih. Astaga ... itu menggemaskan. Lalu dia melompat dari atas sofa lalu meraih celananya di lantai. Dari dalam kantong bagian depan dia mengeluarkan Durex.

Aku merasa sedikit cemas sementara dia bersiap. Jujur, aku masih ragu-ragu untuk membawa semua ini ke level yang lebih tinggi, mengingat hubungan kami yang tidak jelas apa judulnya. Namun kesungguhannya terlihat saat dia mengenalkanku kepada Adel dan Mutiara, lalu perlakuannya yang baik kepadaku. Semua itu semestinya cukup untuk meyakinkanku.

Naik kembali ke sofa, dia duduk di antara kedua kakiku. Tangannya menyentuh bagian luar pahaku dan dia menatap mataku. "Kau yakin?" tanyanya.

Aku mengangguk, seyakin mungkin.

Dia membungkuk dan menciumku, tangannya bergerak di antara kakiku lagi. Kali ini dia tidak melakukan itu untuk memainkan klirotis demi kesenanganku, tetapi untuk mempersiapkan area sensitifku agar lebih basah. Ciuman membantu meredakan keteganganku—hanya ciuman ringan dan manis, awalnya. Dia menarikku ke dalam kegembiraan saat lidahnya menyapu mulutku, memenuhi diriku dengan hantaman kerinduan yang kurasakan pertama kali di dalam kelas kosong beberapa minggu yang lalu.

Dia menyudahi belaian lembut jari-jarinya di area sensitifku dan sesaat kemudian, kepala organ vitalnya masuk dan mendorongku, pelan-pelan, dia tahu caranya memperlakukan wanita. Aku menarik napas dan mengeluarkannya, lalu mencengkeram bahunya saat miliknya memenuhi milikku yang—aku yakin—masih sempit. Aku mengerang, rasanya sedikit sakit walau nikmat, dan sepertinya dia menangkap ketidaknyamananku. Dia berhenti.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya lembut dan serak.

“Iya ... “ gumamku.

“Tenang,” bisiknya, lalu miliknya kembali didorong ke dalam. “Aku akan melakukannya dengan lembut.”

Aku mengangguk dan mencoba untuk rileks, tetapi itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan mengingat ini adalah untuk yang pertama kali. Adib menarik dan kembali mendorong miliknya ke dalam diriku ... pelan-pelan ... dan rasa nikmat kini lebih dominan dari rasa sakit yang tetap ada, tapi sedikit. Lama kelamaan, dia mempercepat tempo, dan rasa sakit itu kembali aku rasakan, mataku terpejam dan secara natural mulutku membuntuk huruf O.

Dia kembali memperlambat tempo.

“Tidak apa-apa,” kataku, meskipun aku sulit mengendalikan ekspresiku.

Alih-alih melanjutkannya, dia menarik keluar. Aku pikir dia akan berhenti, tetapi kemudian dia kembali mendorong ke dalam, penuh ke dalam diriku.

“Sakit,” kataku mengerang, dan kata-kata itu keluar begitu saja.

“Kau baik-baik saja?” dia bertanya lagi.

"Ya, aku baik-baik saja," jawabku padanya, meski ekspresiku tidak bisa membohonginya.

Dia mencoba melakukannya dengan lebih pelan, dan ketika itu aku pun sadar; betapa ahlinya dia. Awalnya aku masih merasa area sensitifku terasa penuh setiap dia mendorong miliknya ke dalam. Namun akhirnya, tubuhku bisa menyesuaikan diri dengan yang Adib lakukan, dan ketika itu terjadi, aku bisa menikmatinya.

Dia menambah kecepatan, dan akhinya ... kenikmatan itu ... yang orang bilang ‘Surga Dunia’ ... aku rasakan. Enak sekali.

Ketika dia benar-benar melakukan sesuai keinginannya, napasku tersengal-sengal. Aku mencoba mengimbangi temponya, tetapi tetap aku ketinggalan. Tidak apa-apa, masih terasa menyenangkan, dan aku tahu dia juga menikmatinya. Aku suka raut wajahnya, kesenangan, dan itu dia dapatkan dariku. Dari tubuhku.

Aku merasakan dia semakan cepat, dan aku tebak; dia akan selesai. Rencanaku untuk mencapai puncak dua kali malam ini sepertinya gagal—aku sudah keluar waktu dia mengelus-elus klitorisku—karena dia akan selesai. Erangan parau keluar darinya, dan tubuhnya menjadi kaku. Aku mencoba membantunya dengan menekan otot kewanitaanku, dan dia mendesah hebat, sampai akhirnya jatuh ke pelukanku.

Aku memeluknya dan membiarkannya berada di atasku. Aku bahkan tidak keberatan menahan beban tubuhnya. Dan sesungguhnya itu terasa nyaman, hangat, dan penuh kasih sayang. Mungkin berlebihan, atau yang aku rasakan hanyalah perasaan senang setelah mengalami kesenangan, tapi sudahlah, tidak perlu dipikirkan, toh aku menikmatinya.

Akhirnya dia menggeser tubuhnya ke sebelahku, menatapku dan tersenyum.

“Kau menikmatinya?” tanyanya.

Sambil tersenyum aku menjawab dengan yakin, “Ya.”

“Enak?”

Aku mengangguk.

Dia tersenyum lega dan mengangkat kepalaku ke bahunya.

Aku berharap waktu behenti untuk sesaat dan membiarkan kami di posisi ini untuk lebih lama. Aku menikmati setiap momen malam ini. Bahkan rasa sakit itu hanya sebuah proses untuk mencapai kenikmatan yang hebat. Mungkin hubungan ini tidak normal, atau apa pun, dan apa pun. Namun bukankah kalau pada akhirnya cinta itu tumbuh dan menggebu-gebu, itu akan menjadi bagus? Dan semua itu akan menjadi alasan kuat bagi kami untuk bertahan, kan?