webnovel

About Love Triangle

Satu malam itu mengubah segalanya, tragedi berdarah itu membuat sebuah persahabatan hancur dan dua orang saling mencintai menjauh. "Jangan pernah menyalahkan cinta, karna cinta itu tidak pernah salah!" - Sang Penghianat Cinta

Quinwriter · วัยรุ่น
Not enough ratings
19 Chs

Kedelapan

Jena berjalan dengan santai menuju perpustakaan sekolahnya. Ia mengeluarkan ponselnya yang berada di saku. Lalu sembari berjalan ia memainkan ponselnya; mengecek notification social media-nya.

Jena tersenyum kecil saat melihat Aura men-tag-nya di dalam sebuah foto yang di-upload Aura kemarin. Di sana terlihat mereka berdua kompak memasang tampang jelek dengan wajah yang dioles masker.

Sesampai di perpustakaan, Jena mengunci ponselnya lalu di masukkannya kembali ke dalam saku. Keadaan perpustakaan begitu sunyi. Sesuai prosedur Jena menuliskan identitasnya di buku pengunjung yang di letakkan di hadapan penjaga perpus. Gadis itu menulis nama, kelas, beserta jurusannya. Setelah itu ia masuk ke dalam perpus menyelami surga ilmu.

Jena sebenarnya tak tau ingin membaca apa di sini. Tapi kalau disuruh memilih mendengar kegilaan Aura karena cinta atau membaca buku yang ia tak mengerti. Lebih baik ia membaca buku. Selain nambah ilmu dia gak akan tambah tertular gila karena Aura.

Gadis dengan rambut yang dikuncir satu itu mengambil sembarang buku secara acak. Setelah itu ia duduk di bangku yang berada di dalam perpus. Awalnya Jena tak bisa mencerna isi buku tersebut karena bahasa yang digunakan sangat berat. Namun, ia tetap memaksa membuka lembar demi lembar untuk membaca kalimat perkalimat sampai ia terhanyut akan isi buku tersebut.

Tiba-tiba suara decitan kursi yang bergeser membuat Jena menoleh. Seorang laki-laki yang menjadi bahan pembicaraan sahabatnya dua hari ini duduk tepat di hadapannya. Jena langsung mencari ponselnya. Akan tetapi, baru saja ia ingin memberi tahu Aura kalau lelaki pujaannya ada divsini. Jena langsung berubah pikiran karena takut sahabatnya itu akan membuat keributan di perpustakaan.

Jena pun memutuskan untuk mengamati lelaki pujaan sahabatnya itu. Lelaki yang di pandangi itu seolah tak perduli. Dengan tenangnya ia membaca buku tersebut. Ketertarikan Jena terhadap buku yang tadinya ia baca menghilang. Kini ia malah fokus menatap lelaki yang berada di hadapannya ini.

Sementara Aura yang telah berhasil memanjat pohon yang berdiri kokoh tepat di depan kelas Jeje sedari tadi mencari batang hidung Jeje menggunakan teropong kakaknya yang ia ambil diam-diam. Hari panas membuat Aura tak gentar mencari keberadaan Jeje. Ia begitu bertanya-tanya kemana Jeje sebenarnya. Aura telah berkeliling kantin sepuluh kali tapi ia tetap tak bertemu dengan Jeje. Tempat selanjutnya di kelas. Aura yakin kalau gak di kelas Jeje pasti di kantin. Kalau gak juga pasti yang terakhir ya di parkiran. Tapi gak mungkin di parkiran karena sekarang belum waktunya pulang.

Sudah sepuluh menit Aura berada di atas pohon ini. Ia melirik jam tangannya, lima menit lagi bel masuk. Padahal dia ingin sekali melihat wajah Jeje walau hanya sedetik saja. Saat Aura kembali meneropong ke seantero kelas Jeje. Aura mendapati Jeje yang berjalan masuk ke kelas. Aura pun langsung tersenyum bahagia.

"AAAA ... my prince bidadaranya si bidadari Aura." Sangking bahagianyanya tanpa sadar Aura meloncat kegirangan sampai-sampai ia lupa kalau sebenarnya dia sekarang berada di atas pohon.

'Brak!'

"Awwww ...." pekiknya saat tubuhnya terjatuh dari atas pohon. "MAMAAA SAAAKIIIIT," teriaknya.

"AURAAAA?!" Jena yang hendak kembali ke kelas melihat langsung bagaimana sahabatnya itu tiba-tiba muncul dari pohon. Bagaikan buah yang masak dan jatuh dari pohon dengan sendirinya.

Jena berlari menghampiri sahabatnya itu. "WOII BANTUIN KEK!" teriak Jena panik. Murid-murid hanya menonton tanpa satu pun berniat membantu Aura. "WOI BANTUIN! TOLONG!" teriak Jena lagi.

"MINGGIR-MINGGIR!" teriak Ibe. Ia langsung mengangkat Aura yang meringis kesakitan. Sedangkan Jena mengambil teropong yang terjatuh tak jauh dari tempat kejadian. Setelah itu Jena mengikuti Ibe yang menggendong Aura menuju UKS.

"Gimana Dok?" tanya Jena ke dokter yang berjaga di UKS sekolahnya. "Sebaiknya dibawa ke rumah sakit biar lebih jelasnya," ujar sang dokter.

Jena dan Ibe saling pandang. "Yaudah Be kita bawa Aura ke rumah sakit," ujar Jena.

"Aura kenapa?" tanya Leni— wali kelas Aura dengan wajah panik.

Leni yang sedang memeriksa tugas muridnya langsung terhenti saat salah satu muridnya memberi tahu kalau Aura terjatuh dari atas pohon. Tanpa perduli apapun ia langsung berlari menuju UKS untuk melihat keadaan Aura yang sebenarnya.

"Dian dia gak apa-apa 'kan?" tanya Leni pada dokter yang memeriksa Aura.

"Harus di bawa ke rumah sakit Len. Dia harus di rontgen untuk lebih jelasnya." Leni dengan panik mencari ponselnya. Ia meraba-raba kantungnya namun tak menemukan ponselnya. "Pinjam ponsel lo, Yan. Gue mau nelfon ambulance buat bawa Aura."

"Ibu pakai mobil saya aja biar lebih cepat, Bu." Jena yang mendengar langsung menawarkan mobilnya kepada Leni.

"Yaudah kalo gitu pakai mobil—"

"Mobil saya aja, Bu." Ibe juga ikut menawarkan mobilnya.

"Terserah deh mobil siapa. Sekarang ayo bawa Aura." Leni menghampiri Aura yang terbaring. Ia meringis kesakitan tanpa henti. "Tahan ya, Ra. Kita ke rumah sakit sekarang."

"Mamaaaa sakit Mamaaaa."

"Kamu bisa berdiri?" tanya Leni.

"Sakit Mamaaa sakittt." Bukannya menjawab pertanyaan Leni Aura malah terus meringis dan menejerit memanggil ibunya.

"Kita langsung bawa aja, Bu." Ibe yang melihat itu langsung mengangkat Aura dan membawanya ke mobilnya.

Di parkiran, Jeje yang di suruh Ibe untuk mengambil kunci mobilnya telah berdiri di sana menantikan Ibe. Jeje langsung membukakan pintu untuk Aura yang di gendong oleh Ibe.

"Makasih Je," ujar Ibe setelah itu ia masuk bersamaan dengan Jena dan Leni yang juga ikut masuk ke dalam mobil.

Sesampai di rumah sakit. Aura masih saja terus meracau memanggil-manggil mamanya. Rumah sakit jadi sangat heboh karna teriakan Aura.

"SAKIIIITT AAAA ... SAKIITT," rintihnya.

"MAMAAA SAKIT MAAA .... AAA ... SAKIIITT."

Setelah berhasil menenangkan Aura akhirnya Aura bisa diperiksa juga. Aura harus mengikuti beberapa pemeriksaan.

Jena dan Ibe yang menunggu di luar langsung menghampiri Leni saat Leni dan Aura berjalan beriringan menghampiri keduanya.

"Gimana keadaaan lo?" tanya Jena dengan khawatir. Aura hanya diam.

Leni pun mengeluarkan suaranya. "Aura baik-baik aja. Kata dokter dia cuma syok. Gak ada yang luka cuma ada memar dikasih salap bakal sembuh kok."

"Syukurlah." Jena langsung menghela napas legah. "Gue takut lo kenapa-napa tau!" rengek Jena yang langsung memeluk Aura.

"Lo lebay ah!" cibir Aura.

Ibe yang mendengarnya langsung mendengus. "Lo yang lebay Ra! Lo!" geram Ibe. Ia begitu sebal karena kelebayan Aura membuat satu sekolah heboh dan panik. "Bikin panik aja lo jadi orang!" Ibe berjalan terlebih dahulu ke parkiran.

"Kenapa sih Ibe?" ucap Aura dengan bibir yang dimanyunkan. Bukannya sadar akan kesalahannya Aura malah tak terima dengan ucapan Ibe.

Jena melepaskan pelukannya dan ikut memandangi Ibe yang telah berjalan menjauh. "Ayo balik ke sekolah," ajak Leni.

"Ayo!" ucap Aura dengan semangat.

"Gak Aura. Kamu ikut Ibu pulang ke rumah," tolak Leni. "Kita ke sekolah dulu ambil tas kamu sama barang-barang saya."

"Yah ... Bu ...," rengek Aura yang semakin membuat bibirnya manyun. "Saya mau sekolah mau belajar."

"Gak salah tuh?" tanya Jena dan Leni berbarengan. Keduanya saling pandang setelah melontarkan kalimat itu lalu keduanya sama-sama terkekeh kecil.

Aura yang melihatnya jadi sebal sendiri. "Kenapa sih? Salah ya kalau seorang Aura berubah?" tanyanya tak terima.

"Bu, kayaknya Dokter salah deh." Bukannya menjawab pertanyaan Aura. Jena malah berbicara dengan Leni.

"Iya Jen," ucap Leni seakan mengerti apa yang hendak dikatakan oleh Jena. "Kayaknya perlu di periksa ulang deh."

Jena mengangguk setuju.

"Kita periksa aja lagi ya Bu otaknya si Aura. Gimana?" tanya Jena meminta persetujuan Leni.

"Enak aja! Lo kira otak gue geser apa sampai harus di periksa ulang?!"

"Kita gak bilang gitu loh, Ra." Jena terkekeh geli. Kapan lagi ia bisa bersekongkol dengan orang lain untuk menggodai Aura. "Iya 'kan Bu?" Leni mengangguk setuju.

"Okay, fine!" putus Aura yang memilih untuk mengalah dengan keduanya. "Bebas deh kalo Ibu sama Jena mau bully saya. Bebas!" pasrahnya seakan menjadi orang yang paling menderita. "Tapi, saya balik ke sekolah ya?" tanyanya yang memberikan penawaran kepada Leni.

Tanpa berpikir panjang Leni langsung menggeleng. "No!" tolak Leni. "Kakak kamu udah nunggu di sekolah. Jadi kamu harus pulang," tegas wanita yang merangkap juga sebagai calon kakak iparnya itu.

"YAH BUUUUU ...," protes Aura tak terima. "Teganya dirimu ... tega!!!"

•••