webnovel

Kesembilan

"Boseeeenn ... bosen ...," rengek Aura ia telah berguling-guling kesana kemari. Namun, tetap saja ia merasa bosan.

Sekarang pukul dua siang. Seharusnya Jena sudah pulang. Jena berjanji kepada Aura, ia akan ke rumah Aura sepulang sekolah.

'Tok tok tok!'

"Masuk ...," ucap Aura.

Leni mendorong pintu kamar Aura dengan tubuhnya. Kedua tangannya sibuk membawa nampan. "Makan dulu, Ra." Aura yang tadinya berbaring dengan kepala yang menggantung di ujung tempat tidur, mengangkat kepalanya menatap Leni yang meletakkan nampan di atas nakasnya.

"Nanti aja Bu— eh Kak." Kalau di luar sekolah Aura boleh memanggil Leni dengan sebutan Kak. Bahasa yang di pakai pun boleh informal. Semua itu aturan yang di berikan oleh Kakaknya— Rio. Kalau Aura tak menurutinya bisa-bisa uang bulanan yang diberikan Rio tak akan mampir ke dompetnya.

"Ntar kalo dingin gak enak lagi loh," ujar Leni.

"Auraaa!" Suara dingin Rio membuat Aura merubah posisinya menjadi duduk dengan benar. "Makan sekarang!" Aura pun mendengus kesal. Dia bisa apa kalau kartu matinya dipegang sama kakaknya itu?

Dengan terpaksa Aura turun dari tempat tidurnya dan membawa nampan tersebut untuk makan. "Aura makan di bawah aja sambil nonton," ujarnya meninggalkan kakak dan calon kakak iparnya di dalam kamar.

"BANG JANGAN NGAPA-NGAPAIN! KAMAR AURA MASIH SUCI!" teriak Aura mengingatkan.

Rio dan Leni yang mendengarnya hanya terkekeh kecil menganggap ucapan Aura hanya godaan receh.

Di ruang santai keluarga Aura menghidupkan TV-nya ia duduk bersila sambil menyuapi makanan yang di buat oleh Leni. Gadis yang kini tampak serius menonton itu sampai tak sadar saat Jena duduk di sebelahnya.

"ASTAGHFIRULLAH!" teriak Aura terkejut saat hendak meletakkan piring kotornya di samping ia duduk. "Lo kapan dateng? Kok gue gak denger?"

"Lo sih terlampau serius nonton TV sampai gak sadar gue di samping lo."

"Lo mau makan gak? Kak Leni masak," ucap Aura yang malah bertanya pada Jena.

Jena mengangguk semangat. Keduanya berjalan menuju dapur. Aura memberikan Jena piring. Setelah Jena selesai mengambil makanan, keduanya kembali ke ruang tersebut.

"Ra, gue penasaran deh gimana ceritanya lo bisa ada di atas pohon." Jena menyuapi makanannya ke dalam mulut sembari menatap Aura penuh ingin tahu.

Gadis yang ditatap itu menoleh ke arah sahabatnya. "Mendingan lo makan dulu nanti kalo lo keselek terus mati di rumah gue gimana?" canda Aura yang membuat Jena menatapnya horor.

"Psikopat ya lo Ra!" Aura hanya terkekeh.

Butuh waktu lima menit untuk Jena menghabiskan makanannya dengan bersih. Setelah ia selesai makan, ia kembali ke dapur sendiri. Ia mencari minum lalu dicucinya piring dan gelas yang ia pakai.

"Ngapain dicuci? Ntar ada yang nyuci kok," ucap Aura pada Jena saat ia kembali ke ruang nonton.

"Kebiasaan di rumah sudah makan langsung dicuci."

"Ck ck ck kayaknya lo memiliki jiwa pembokat," ledek Aura.

"Jadi gimana nih? Ceritain dong gimana bisa lo tiba-tiba jatuh dari atas pohon?" Jena tampak tak sabaran.

Sebenarnya Jena ke rumah Aura bukan karena ia ingin menjenguk Aura. Tetapi ia ingin mendengar cerita dari Aura gimana caranya sahabatnya itu tiba - tiba saja bisa berada di atas pohon dan jatuh dengan mengenaskan.

"Kita ke kamar aja yuk? Lebih aman," ajak Aura yang langsung menarik Jena untuk berpindah tempat. Aura pun mematikan TV-nya terlebih dahulu sebelum kembali ke dalam kamar.

Saat mereka telah berada di dalam kamar, Jena duduk di atas tempat tidur Aura. Sedangkan Aura menutup pintu kamarnya dengan rapat. Setelah itu ia duduk di atas kasur; di hadapan Jena.

Gadis dengan rambut hitam alaminya itu menyalipkan anak rambutnya kebelakang kuping. Cukup lama Aura diam berpikir. "Jadi gini ...," ucapnya menganggantung. Jena hanya diam mencoba konsentrasi mendengar cerita sahabatnya itu.

"Jadi waktu lo bilang mau ke perpus, gue nyari Jeje—"

"Jangan bilang kalau ...."

"Dengerin dulu! Baru ngomong! Jangan potong omongan gue!" protes Aura yang tak ingin ucapannya di potong sedikit pun. Jena mengangguk dengan tangannya membekap mulutnya sendiri.

"Gue udah cari Jeje di kantin dengan mengelilingi kantin sepuluh kali. Lo bayangkan sepuluh kali!" ucap Aura berapi-rapi sambil mengangkat kesepuluh jarinya. Jena hendak berkomentar namun langsung diurungkannya karena ia sudah berjanji tak akan berbicara sebelum Aura selesai bicara.

"Gue yakin kalo gak di kantin pasti Jeje di kelas. Karna selama ini gue selalu ketemu dia di dua tempat itu. Eh ... sama satu lagi deng di parkiran. Tapi gak mungkin dong si Jeje di parkiran. Kan belum pulang. Jadi option satu-satunya adalah di kelas. Dan ...," ucapnya gantung.

"Gue ke kelas dia. Tapi gue gak mungkin masuk dong? Satu-satunya jalan ya cuma pantauin dia dari jauh. Ya gue akhirnya milih buat manjat pohon. Lo taulah pohon itu tinggi dan kuat 'kan? Jadi gue gak mungkin jatuh dari sana."

"Nyatanya lo jatuh Aura!" geram Jena. Aura mendelik ke arah sahabatnya itu. Sedangkan Jena yang lupa akan perjanjiannya memilih diam kembali; menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Gue manjat tuh sampai di dahan yang bisa buat gue mantau si Jeje dari jauh. Tapi masalahnya gue gak ketemu-ketemu Jeje." Wajahnya tampak sedih. "Tapi gue tau kok Tuhan masih sayang sama gue. Gue yakin bakal lihat Jeje di istirahat pertama dan ternyata keyakinan gue membuahkan hasil. Dengan gayanya yang cool gue liat dia masuk ke dalam kelasnya. Lo tau gue ngapain sangking senangnya?" Jena menggeleng tak ingin membayangkan betapa bodohnya sahabatnya itu.

"Gue malah ngeloncat kegirangan dan brak gue jatuh." Aura benar-benar berekspresi saat menceritakan kejadiannya kepada Jena. Seolah menjadi pendongeng tangannya pun bermain saat ia bercerita dengan semangat.

"Terus lo nolongin gue deh," cengirnya. "Nah silahkan komentar," ucapnya mempersilahkan Jena untuk berkomentar.

"Satu kata GILA!" teriak Jena tepat di wajah Aura. "Lo tau? Lo tuh udah gila Aura. Ibaratkan orang haus akan uang segala cara dihalalin. Itu tuh lo orangnya!" Jena menggeleng ia benar-benar tak habis pikir kalau ini semua demi Jeje.

"Lo boleh suka sama dia, sayang sama dia, bahkan cinta sama dia. Tapi tolong .. tolong Ra. Jangan bodoh! Jangan tumbalin diri lo untuk jadi hancur."

Aura yang di ceramahi oleh Jena malah tersenyum tanpa merasa kalau dia itu salah. "Gue maklumin kok Jen. Lo belum pernah ngerasain rasanya jadi gue cinta sama orang. Gue yakin suatu saat lo bakal ngelakuin hal yang sama kok kayak gue. Hal gila yang gak pernah terpikir dalam hidup lo."

Jena menggeleng. "Gak akan. Gue gak akan sebodoh lo ngelakuin hal gila yang gak pernah terpikir di hidup gue."

Aura mengedikkan bahunya. "Kita liat aja nanti Jen. Ngomong memang mudah ngelakuinnya itu susah. Walaupun lo gak berniat waktu akan membawa lo jadi berkhianat!"