webnovel

Bukti Tak Terbantah

Author: zarathustraf
แอคชั่น
Ongoing · 15K Views
  • 157 Chs
    Content
  • ratings
  • NO.200+
    SUPPORT
Synopsis

Pada tahun 2010, Kanto dibuat tercengang oleh sebuah kasus yang luar biasa fenomenal. Bella Stefa, seorang gadis pemandu sorak di salah satu SMA di Kanto telah diculik, diperkosa, dan dibunuh. Keberadaannya tidak diketahui selama bertahun-tahun. Pencarian dikerahkan, penyelidikan disegerakan, tapi tidak membuahkan hasil. Tidak ada bukti yang kuat, tidak ada saksi mata yang mempunyai opini kuat yang bisa dijadikan sebagai bukti. Furuya Satoru, teman Bella Stefa, sekaligus mantan pacarnya, terpaksa diinterogasi. Semua bukti yang diarahkan publik tertuju padanya. Ada alasan yang dapat diterima sebagai bukti kuat untuk membuatnya layak dianggap sebagai tersangka dalam kasus Bella Stefa. Hingga akhirnya dia didakwa dengan hukuman mati, meskipun bukti-bukti yang diarahkan padanya belum cukup kuat. Harry Kazuya, seorang mantan narapidana Shibuya datang ke Kanto dan memberikan sebuah pengakuan yang fenomenal, bahwa dialah pelaku penculikan, pemerkosaan, dan pembunuhan Bella Stefa yang sebenarnya. Namun, eksekusi tinggal satu minggu lagi. Lalu bagaimana cara meyakinkan Jaksa, Hakim, dan Juri untuk bisa membatalkan eksekusi Furuya Satoru sebagai orang yang tidak bersalah dalam kasus ini?

Chapter 1satu

Penjaga di Gereja Bethany baru saja membersihkan salju setebal kira-kira delapan senti dari trotoar ketika pemuda berkacamata itu muncul. Matahari sudah gagah, tapi angin menderu ribut: suhu udara terjebak di titik beku. Pemuda itu hanya mengenakan celana jeans tipis, kemeja musim panas, sepasang sepatu bot usang, dan sehelai jaket yang nyaris tak mampu menahan dinginnya udara: dengan tangan terlipat di depan dada dan napas yang menggebu. Tapi, dia tak terlihat terburu-buru. Langkah kakinya teratur. Penjaga gereja bingung karena sapaannya hanya berakhir pada suaranya—tak ada balasan. Dekat kapel dan berhenti di depan pintu samping bertandakan kata "Kantor" dalam cat hijau usang. Pemuda itu tidak mengetuk dan pintu itu tidak terkunci. Dia melangkah masuk persis ketika hembusan angin kencang lain menerpanya dari belakang.

Ruangan itu adalah ruangan resepsionis yang penuh barang dan berdebu, persis seperti bayangan kita tentang kondisi sebuah gereja tua. Di tengah-tengah ruangan terdepat meja tulis dengan sekeping papan nama yang mengumumkan kehadiran Michele Joan yang duduk tak jauh di belakang namanya. Dia menyapa sambil tersenyum, "Selamat pagi."

"Selamat pagi," balas pemuda itu. Lengang sejenak. "Di luar dingin sekali."

"Benar sekali," sahut wanita itu, sambil menilai cepat tamunya. Masalah utamanya adalah dia tidak mempunyai mantel, dan kepala serta kedua tangannya tidak berpelindung.

"Kurasa kau adalah Ms. Michele Joan," katanya, sambil membaca tulisan di papan nama itu.

"Bukan, Ms. Joan tidak bisa datang hari ini karena pilek. Aku Kiki Stefanus, istri pendeta, menggantikan tempatnya. Ada yang bisa kami bantu?"

Ada satu kursi kosong dan pemuda itu memandang penuh harap ke sana. "Boleh aku duduk?"

"Boleh, silakan," sahut Kiki. Laki-laki itu duduk dengan berhati-hati, seolah-olah dengan wajah yang kelihatan tua itu dia harus melakukan segala sesuatu dengan matang-matang.

"Apakah pendeta ada di sini?" tanya laki-laki itu sambil memandang ke pintu yang tercium hawa sunyinya di pojok kiri.

"Pendeta ada di sini, tapi dia sedang ada rapat yang tidak bisa diganggu. Apakah ada sesuatu yang kamu perlukan?" Kiki seorang yang bertubuh mungil, mempunyai dada yang indah dan sehelai sweeter yang terlihat pas dengan tubuhnya.

Laki-laki itu tidak bisa melihat apapun di bawah pinggul wanita itu sebab terhalang oleh meja tulis. Dari dulu, dia menyukai perempuan-perempuan bertubuh mungil. Wajah yang manis dan menawan, sepasang bola mata berwarna cokelat, tulang pipi tinggi, seorang perempuan yang cantik dan terlihat segar; dia istri pendeta yang sempurna. Sudah sangat lama dia tidak menjumpai sensasi itu kembali.

"Aku ingin segera bertemu pendeta, Stefanus. Bisa?" katanya sembari menangkupkan tangannya seperti orang yang hendak berdoa. "Aku datang ke gereja dan mendengar khotabhnya kemarin. Sepertinya aku butuh sedikit bimbingan."

Kiki tersenyum dan memperlihatkan giginya; sungguh indah. "Jadwal dia padat sekali hari ini."

Laki-laki itu merespon dengan wajah memelas. "Aku sangat membutuhkannya sekarang. Agak mendesak."

Kiki telah menikah dengan Ivan Stefanus cukup lama dan mereka tidak mempunyai rekor untuk mengusir seorang jemaat dari kantor suaminya, entah yang sudah membuat perjanjian sebelumnya maupun yang tidak. Lagi pula, hari itu adalah hari senin yang beku dan Ivan juga tidak terlalu sibuk. Dering telepon begitu sering terdengar nyaring hari itu, salah satunya adalah konsultasi seorang pemuda dan pemudi yang tidak ingin menikah sedang berlangsung saat itu, kemudian kunjungan rutin ke beberapa rumah sakit.

Kemudian Kiki mencari-cari di sekitaran meja tulis, dan dia menemukan buku yang berisi beberapa daftar pertanyaan para kliennya. "Baiklah kalau begitu, aku perlu mencatat beberapa pertanyaan dasar lebih dulu dan setelah itu kita lihat apa yang bisa dilakukan." Kiki sudah mantap dengan bolpoin di tangan kirinya.

Laki-laki itu bereaksi dengan membungkukkan badannya ke Kiki. "Terima kasih."

"Siapa namamu?" tanya Kiki dengan intonasi datar yang terkesan lugas.

"Harry Kazuya." Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Kiki. "Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan."

Kiki menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Harry menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. "Sudah, sebentar…" Kiki menahan. "Kali ini tentang alamat," Kiki masih sambil menulis. "Di mana tempat tinggalmu sekarang?"

"Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beberapa blok dari sini. Dan saat ini, aku sedang dalam proses pembebasan, seperti itulah istilah mereka. Beberapa bulan aku di rumah singgah di sini, di Kanto, aku diharapkan akan menjadi manusia merdeka sekali lagi, tanpa ada syarat lain yang diinginkan sebagai syarat pembebasanku."

Tangan Kiki menghentikan bolpoinnya, tapi sorot matanya masih menatap alat tulis itu lekat-lekat. Keinginannya untuk mencari informasi tentang laki-laki di depannya mendadak lenyap. Dia agak merasa skeptis untuk mencari tahu lebih tentang manusia di depannya. Namun, karena dirinya sendiri yang memulai interogasi itu, dia merasa kalau dia berkewajiban untuk melanjutkan. Lagi pula, apa ada sesuatu yang lain yang bisa mereka lakukan sepanjang menunggu pendeta selesai rapat?

"Kau mau teh?" tanya Kiki setelah dia memikirkan matang-matang kalau pertanyaannya itu tidak berbahaya.

Senyap sejenak, sedikit lebih lama, seolah-olah Harry tidak sanggung mengiyakan. "Ya, boleh. Gulanya sedikit saja."

Kiki lekas keluar ruangan untuk menuntaskan tawarannya. Harry memperhatikannya pergi, mengamati segala-galanya tentang Kiki, fokus dengan bokong bundarnya yang indah di balik balutan celana panjang yang ketat, kedua kaki rampingnya, pundak yang nampak kokoh, bahkan ekor kudanya. Sekitar seratus lima puluh senti, mungkin enam puluh, lima puluh delapan kilo maksimal.

Kiki secara sengaja berlama-lama di luar, dan ketika dia kembali untuk memastikan Harry Kazuya, dia masih duduk di sana seperti saat Kiki meninggalkannya tadi, masih duduk seperti jemaat yang berdoa, ujung jemari tangan kanannya perlahan mengetuk-ngetuk ujung jemari tangan kirinya, tongkat kayunya yang berwarna putih menggeletak di pangkuannya. Kepalanya dicukur plontos, terlihat kecil dan mengkilap, betul-betul bundar seperti lampu taman, dan ketika Kiki datang menyerahkan secangkir teh pada Harry, dia memperkirakan sendiri dengan gurauan, apakah Harry memang berkepala plontos sejak masih muda ataukah memang dia menyukai model kepala seperti itu. Terlihat sebuat tato yang menyeramkan terlukis di salah satu sisi lehernya.

Harry menerima cangkir teh itu dengan mantap. Dan setelah mengucapkan terima kasih, dia meletakkan cangkir tehnya di meja tulis. Kiki kembali ke tempat duduknya yang semula. Mereka berada terpisah di antara meja tulis.

"Kau seorang Lutheran?" kembali Kiki memegang bolpoin dengan buku yang berisi daftar pertanyaan di depannya.

"Itu perlu kau catat?"

"Ya," tegasnya.

"Kurasa bukan. Sebenarnya aku bukan siapa-siapa. Aku nggak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja sebelumnya."

Mendengar pernyataan Harry yang tidak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja, membuat Kiki merasa bingung. "Lalu kemarin dan sekarang kau kemari, mengapa?"

Harry Kazuya mengambil cangkir teh itu dengan kedua tangan berada tepat di bawah dagu, mirp seekor tikus yang sedang menangkup sekeping biskuit. Apabila pertanyaan sederhana tentang teh tadi membutuhkan waktu sekitar lima belas detik, mungkin pertanyaan tentang kehadirannya di gereja untuk kali ini membutuhkan waktu dua jam.

Harry mencium bau harum asap tehnya—dia berasumsi kalau bekas sentuhan Kiki masih menempal di sela-sela cangkir itu—kemudian dia meneguk sedikit dan mengecap bibirnya. "Butuh berapa lama lagi menurutmu aku harus menunggu untuk bertemu Pendeta?" tiba saatnya dia bersuara.

You May Also Like

TANGGUH PERKASA

Ini adalah kisah seorang anak yang dianggap lemah, sering dijahili oleh beberapa temannya. Tapi saat ia dijahili, ada Lica, teman sekolah yang selalu membelanya. Di sisi lain ibunya pun selalu percaya bahwa anaknya kelak akan menjadi anak yang tangguh. Maka dari itu ia menamainya Tangguh Perkasa. Akibat ulah ketiga temannya, yaitu Badrun, Jamal, dan Tohir, Tangguh harus dikeluarkan dari sekolah. Ia pun pergi berdiri di atas batu karang di sisi laut tuk menenangkan diri. Namun tiba-tiba ia tak sadarkan diri dan terjatuh dari atas batu karang ke lautan luas. Ombak membawanya terdampar ke suatu pulau yang asing. Di pulau itu ia menemui pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya. Di sanalah ia bertemu dengan guru yang mengajarinya dan melatihnya untuk menjadi anak yang tangguh. Sementara itu, mendengar anaknya hilang, ayahnya berusaha keras mencari Tangguh hingga mengarungi samudra luas. Sementara ibunya pun selalu berharap Tangguh segera kembali. Badrun, Jamal, dan Tohir yang dahulu merupakan anak yang suka menjahili Tangguh, rupanya setelah dewasa mereka menjadi orang-orang jahat yang haus akan harta. Mereka tak peduli walau harus menghancurkan desa tempat mereka belajar di sekolah demi keuntungan yang mereka inginkan. Mereka juga tak peduli dengan warga desa yang tinggal di desa itu. Setelah belajar dari gurunya di pulau asing, kemudian Tangguh kembali ke desanya. Dan betapa kagetnya ia ketika melihat kondisi desanya hancur tergusur. Ia juga tak menemukan ayah dan ibunya di kampungnya itu. Bersama gurunya, dan kedua sahabat lamanya, Tangguh berjuang tuk mengembalikan desanya seperti sedia kala. Mereka sempat menggelandang di Jakarta, sempat pula mereka merasakan dinginnya ruang di balik jeruji besi. Di sisi lain, di tengah perjuangan itu, ia bertemu kembali dengan Lica. Tangguh pun sadar kalau ia memiliki perasaan mendalam pada Lica. Tapi ia terkejut karena Lica yang dulu selalu membelanya ketika ia dijahili, justru saat ini bersama Badrun. Namun ternyata Lica terpaksa menikah dengan Badrun karena suatu alasan. Mampukah Tangguh menyelematkan desanya dari kehancuran, dan membela seluruh warga desa? Akankah Tangguh bisa menyelamatkan Lica dari cengkraman Bandrun? Apakah Tangguh bisa bertemu kembali dengan ayah dan ibunya yang telah lama tak ia jumpai? Dalam buku ini ada untaian-untaian kata yang bermakna dan penuh inspirasi. Ada pula kejadian- kejadian lucu yang membuat kita tertawa geli, emosi yang meletup, serta semangat juang.

rivalardiles · แอคชั่น
Not enough ratings
44 Chs

Night King : Kebangkitan Sang Kucing Hitam

Pertemuannya dengan bocah delapan tahun membuat Lin Tian sadar, bahwa kekuatan tidak sepenuhnya bisa melindungi banyak orang. Sebaliknya, dengan kekuatan dan kekuasaan membuat orang-orang semakin menderita, terutama mereka yang lemah. Ketika Lin Tian hendak mengajak bocah tersebut untuk pergi, saat itu juga gerombolan Pendekar mengepung dirinya. Bocah tersebut tewas saat salah satu Pendekar menjadikannya dirinya sebagai tawanan. Lin Tian yang sudah dipenuhi luka itu akhirnya mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk membunuh semua pendekar tersebut. Lin Tian pun menghembuskan napas terakhirnya. Namun, ketika dia membuka matanya bukan Nirwana yang didapatnya, tetapi dunia yang jauh berbeda dengan masa lalunya. Takdir telah membawanya ke masa depan, lebih tepatnya di tahun 2022. Ribuan tahun hari kehidupan sebelumnya. Namun, pada kehidupan keduanya pun dunia tidak jauh berbeda dengan kehidupan pertamanya. Ketidakadilan masih meraja rela, bahkan lebih kejam dari yang pernah dilihatnya. Lin Tian tidak memiliki pengalaman apa-apa pada kehidupan keduanya. Akan tetapi, dia bertekad untuk mengembalikan kedamaian dunia. Mampukah Lin Tian mengembalikan senyuman orang-orang yang ada di sekitarnya? Akankah kehidupan barunya membuat Lin Tian menyesali kematiannya? Takdir apa yang akan Lin Tian jalani nanti? Siapkah Lin Tian mengetahui kalau orang-orang yang pernah ada di kehidupan pertamanya, hadir di dunia baru ini?

arayan_xander · แอคชั่น
5.0
205 Chs
Table of Contents
Volume 1