webnovel

5

"Permainannya mudah, kalian akan mendapat satu kartu dari tiga kartu yang ada dalam kotak di depan kalian", ucap suara itu dengan sorot lampu yang mengarah ke dua puluh kotak besar yang tertutup di sudut bangunan ini.

"Ketiga kartu itu memiliki tiga warna yang berbeda, pertama adalah merah yang artinya keluar, kedua biru yang artinya tetap dan kartu ketiga adalah yang tidak akan kalian inginkan. Kartu merah yang ketahuan akan dikeluarkan. Jadi, sembunyikan kartu kalian jika tidak ingin ketahuan", jelas suara itu dengan antusias karena permainan ini sangat menarik.

Jika hanya satu dari pertiga yang akan lolos, aku berasumsi hanya ada tiga puluh empat kartu biru dari enam puluh delapan kartu merah dan dua buah kartu yang tidak kami inginkan. Sepertinya kartu ketiga adalah kartu yang aman untuk orang sakit jiwa seperti kami. Tapi, semoga saja aku mendapat kartu yang normal. Tunggu sebentar, apa yang aku harapkan dari tekanan tidak normal ini?

"Sebelum kita memulai permainan ini, aku memiliki sebuah saran", ucap orang itu lagi dan terhenti sebentar karena mengambil nafas sesaat.

"Jangan percaya pada siapa pun kecuali pada diri kalian sendiri", lanjut orang itu memperingatkan.

"Sekarang, ayo kita mulai permainannya!", serunya, membuat semua orang berbaris di depan kotak untuk mengambil kartu. Ekspresi semua orang yang baru saja mengambil kartu mereka dan keluar dari kotak tertutup itu berubah. Ada yang tadinya terlihat ceria tiba-tiba berubah menjadi datar, ada juga yang terlihat biasa-biasa saja keluar dengan wajah ceria atau sedih, dan mereka yang berwajah murung keluar dengan wajah ceria. Mereka sangat mudah ditebak karena kami semua sama. Saat giliranku mengambil kartu, aku membeku di tempat dan mencoba sedikit menenangkan diriku. Tentu saja bukan kartu biru, atau kartu merah yang artinya aku harus mencari pemilik kartu biru yang mau bertukar kartu denganku. Tapi, dari sekian banyak peluang aku mendapat kartu merah atau biru, aku malah mendapat kartu hitam dan sebuah kertas intruksi.

'Sepertinya dewi fortuna mengutukku', itulah yang kupikirkan sampai sekarang, dengan ekspresi yang sama keluar dari kotak tertutup ini.

Setelah semua orang mendapat kartu mereka masing-masing dan menyimpannya di tempat aman, begitu pun denganku yang menyimpannya dalam lengan baju. Pemilik kartu merah mulai berpencar mencari pemilik kartu biru, begitu pun denganku yang mengikuti pergerakan orang-orang tapi berjalan menuju sudut ruangan agar melihat pergerakan semua orang. Tapi, seseorang yang berteriak mengaku memiliki kartu biru menawarkan pertukaran kartu. Entah apa yang tengah dia rencanakan, pastinya dia tidak memiliki kartu biru.

"Hey kau orang asia berbaju abu-abu lengan panjang!", panggil pria yang tadi berteriak-teriak menawarkan kartu biru miliknya sambil terburu-buru menghampiriku. Cih, pembawa masalah.

"Aku kode seribu lima ratus empat puluh lima. Mau bertukar kartu denganku?", tawarnya dengan antusias.

"Bagaimana aku bisa tahu kau tidak tengah membohongiku?", tanyaku, karena jika dia berbohong, dia tidak akan berani menunjukkan kartunya karena akan dikeluarkan jika ketahuan.

"Kau menginginkan ini kan?", ucapnya sambil menunjukkan kartu birunya. Apa masalahnya denganku? Aku membalik otakku untuk berpikir lebih cepat.

"Lalu, untuk apa kau menukar kartumu denganku?", tanyaku dengan polos. Dia tersenyum tipis dan membuka suara.

"Tadi kau bilang ingin tahu apakah aku tengah membohongimu atau tidak, kupikir kau ingin menukarkan kartumu padaku", pancingnya.

"Ya, karena kupikir bisa menyudutkanmu jika itu bukan kartu biru", ucapku mencoba lari dari penyudutannya.

"Benarkah? Kau terlihat seperti meyakinkan kartu biru ini untuk ditukarkan", sudutnya.

"Jika kita sama-sama biru, apa yang ingin kau tukarkan", ucapku tak mau tersudutkan oleh pandangan orang-orang yang sudah tertuju pada perdebatan kami.

"Oh ya? Bagaimana kalau kau tunjukkan? Bukankah itu tidak membuatmu dikeluarkan", ucapnya lagi. Aku cukup terkesan dengan caranya menyudutkan seseorang. Sepertinya ini akhirku dari tes ini.

"Maaf menggangu perdebatan kalian, tapi bisa kulihat lagi kartu biru yang sangat kau sombongkan itu?", ucap seorang pria yang masuk dalam perdebatan kami.

"Tentu saja", sinis kode 1545 dan mengambil kartu miliknya dari kantong celana, tapi terlihat kaget dan sedikit panik mencari sesuatu dalam kantong celananya. Wajahnya pucat pasi setelah mengecek kantong celananya, yang kutebak dirinya pasti kehilangan sesuatu.

"Kau lupa pria itu bilang jangan tunjukkan kartumu meski tidak akan dikeluarkan. Seseorang bisa saja mencurinya", ucap pria yang menyelamatkanku ini.

Para penjaga menghampiri kode 1545 dan menyeretnya keluar di tengah kerumunan ini untuk keluar dari gedung ini. Aku dapat mendengar teriakan amarah darinya padaku dan pria yang membelaku. Pria yang menyelamatkanku merangkulku kesudut ruangan, keluar dari keramaian yang memperhatikan kami.

"Panggil aku Greyn, kodeku seratus sepuluh", ucapnya memperkenalkan diri. 0110? Saat kami tiba di sudut ruangan, aku memperhatikan wajahnya dengan intens. Lebih tinggi dariku dengan rambut coklat dan mata hijau itu membuatnya terlihat lebih muda dariku.

"Berapa banyak kartu yang sudah kau curi?", tanyaku sambil bersandar di sisi dinding melihat ke kerumunan orang yang berlalu lalang di depan kami.

"Apa aku bisa percaya padamu?", tanya Greyn dengan bodohnya padaku.

"Kau bodoh!", ucapku. Karena dia sendiri yang mempertanyakan itu, padahal sudah menyelamatkanku.

"Apa yang membuatmu sepasrah itu bahkan jika mereka memenggal kepalamu, kau anggap itu baik-baik saja?", marah Greyn membuatku kaget sampai terduduk di lantai. Ada apa dengannya? Aku bangkit dari dudukku di lantai sambil menepuk celanaku yang terkena debu lantai.

"Kodeku delapan ribu tujuh ratus satu", ucapku mempekenalkan diri dan menatap Greyn dengan serius karena mendapat tatapan ragu darinya yang hendak mengucapkan sesuatu.

"Bukan hal yang tepat menyelamatkanku", ucapku dengan tajam dan menyeret Greyn untuk kembali ke depan mimbar yang ada di gedung ini.

"Apa yang ingin kau lakukan?", tanya Greyn panik.

"Melakukan pembantaian massal", jawabku dengan senyum miring dan naik ke atas mimbar, menyalakan pengeras suara. Aku melihat ke atas balkon gedung ke arah pria pembuat permainan ini dan tersenyum sinis untuknya sebelum membuka suara.

"Semuanya!", ucapku, membuat semua perhatian orang-orang tertuju padaku dan Greyn yang berdiri di belakangku.

"Aku yakin kalian memiliki pikiran yang sama denganku sebagai orang yang mau keluar dari tempat ini. Sangat menakutkan jika kalian bernasib sama seperti orang yang diseret tadi", ucapku seramah mugkin.

"Jadi, kenapa tidak kita buat ini lebih mudah berdasarkan kartu yang telah kita ambil", tawarku tapi bersifat paksaan.

"Pemilik kartu biru akan mengangkat kartunya sebagai tanda tetap. Lalu, mereka yang tidak mengangkat kartu mereka akan ditetapkan sebagai pemilik kartu merah dan harus keluar", pintaku dan masih mendapat keraguan padaku.

"Sebagai sesama pemilik kartu biru, aku ingin persetujuan kalian!", tegasku sambil menjunjung sebuah kartu biru milik Greyn yang kupinjam. Beberapa orang mulai mengangkat kartu biru mereka tanpa pikir panjang karena tergesak-gesak ingin cepat lolos dari tes ini. Diikuti oleh yang lainnya sampai semua kartu biru berjumlah tiga puluh empat dengan kartu biru di tanganku. Perkiraanku benar, ada enam puluh delapan orang yang tak mengangkat tangannya, kecuali Greyn yang tak termasuk.

"Sekarang, kalian memiliki kesempatan untuk merebut kartu biru", antusiasku memulai orang-orang tak mengangkat kartunya menerkam pemilik kartu biru. Tempat ini kacau seperti kelompok serigala yang menerkam kumpulan kelinci. Teriakan dan makian pemilik kartu biru yang memekakkan telinga karena perkelahian antara bertahan dan menyerang membuat tempat ini mengerikan. Aku menarik Greyn turun dari atas mimbar menuju sudut ruangan yang kosong sementara para penjaga sibuk melerai semua perkelahian.

"Kau sangat mengerikan", ucap Greyn menatapku tak percaya. Sudah kubilang kalau bukan pilihan tepat menyelamatkanku. Bahkan aku tak sempat membaca intruksi kartu milikku, sepertinya ini kesempatanku sementara orang-orang sibuk memperebutkan kartu biru.

Greyn yang masih terpaku pada perkelahian di depannya tak melihatku tengah membaca sebuah kertas. Setelah aku membaca intruksi dalam kertas itu, aku menyadari satu hal yang buruk dari kartu milikku sekarang. Aku harus menemukan orang yang mendapat kartu yang sama denganku dan memastikannya keluar dari permainan ini. Tapi, apa dia masih ada di sini? Dan lagi sangat sulit menemukan satu orang di tengah perkelahian seperti ini.

"Kau mencariku?", tanya seseorang yang menghampiriku dan Greyn.

"Delapan ribu tujuh ratus satu dan kau?", ucapku memperkenalkan diri seramah mungkin dengan senyuman. Greyn menatap tak suka ke arahku, dan berjalan menjauh.

"Aku akan membantu para penjaga", ucap Greyn sebelum berlalu pergi meninggalkan kami dalam suasana yang mulai mencekam.

"Kode enam ribu sembilan ratus lima puluh tujuh. Aku akan memberikanmu sebuah pertanyaan dan jika aku puas dengan jawabanmu, aku akan memberikan kartuku dan keluar", ucap pria di depanku ini. Jawaban yang membuatnya puas?

"Pertanyaanmu?", setujuku karena penasaran dan juga ingin lulus dari tes ini.

"Ke mana semua orang yang keluar dan didiskualifikasi pergi?", tanyanya, membuat tawaku pecah. Apa dia bercanda?

"Kau akan pergi ke sana, kenapa malah menanyakannya padaku?", sinisku, membuat wajahnya kecewa.

"Apa kau yakin dengan jawabanmu?", tanyanya memastikan. Greyn berjalan kembali berdiri di belakangku dengan membawa dua penjaga dan menyerahkan kartu hitam lainnya padaku.

"Ya, aku sangat yakin", ucapku sambil menunjukkan dua kartu hitam ditanganku dengan senyuman miring. 6957 tersenyum puas sambil mengangkat kartu merah miliknya dan menyerahkan dirinya ke penjaga.

"Sekarang kita impas kan", ucap Greyn padaku setelah semua perkelahian berakhir dan pemilik kartu biru telah berganti pemilik karena pemilik kartu merah berhasil merebutnya.

Mereka bersorak untuk hidup keadilan atas kerja keras mereka merebut kartu biru. Mereka yang keluar dari tempat ini karena didiskualifikasi karena tidak memiliki kartu ketimbang ketahuan memiliki kartu merah, seperti yang ku rencanakan. Dan berakhir tiga puluh tiga orang yang lulus di tes ini.

Pengeras suara yang kembali berdengung memenuhi gedung ini, memekakkan telinga semua orang, pria itu kembali berbicara.

"Kerja bagus semuanya. Selamat untuk kalian", ucap suara itu.

"Dia tersenyum ke arahmu", ucap Greyn yang menyikut perutku. Tersenyum ke arahku? Sepertinya aku menarik perhatian lagi. Ini karena salah Greyn.

"Para penjaga akan menggiring kalian untuk melanjutkan tes berikutnya", intruksi suara itu lagi. Pintu gedung ini mulai terbuka dan tiga puluh tiga penjaga masuk ke dalam, menghampiri kami satu persatu.

"Silahkan lanjutkan tes kalian berikutnya dan semoga beruntung", ucap suara itu sebelum terdengar suara dengungan lagi. Greyn menepuk pundakku sebelum berlalu pergi dahulu bersama penjaga penggiringnya.

"Aku sangat suka pidatomu", ucap seseorang yang menghampiriku dan berlalu setelah memberikan senyumannya. Dan begitu pun dengan orang-orang yang hendak berlalu pergi dari tempat ini. Apa mereka menyukaiku? Apa yang aku pikirkan, tidak ada yang menyukai sikap sok tahu dan bijak ini. Manusia hanya menyukai sikap keegoisan mereka sendiri. Tapi, jika semua orang di sini sama sepertiku, mereka mengatakan hal yang jujur. Itu membuatku khawatir dan was-was.

Aku mencoba tidak terlalu memikirkannya dan mengikuti langkah penjaga yang menggiringku di koridor, entah ke mana. Dia berhenti tiba-tiba di depan sebuah pintu dan memintaku memakai pakaian serba putih. Aku hanya menurutinya dan membiarkannya menutup mataku dengan sebuah kain lalu mendorongku agar terus berjalan setelahnya. Aku dapat mendengar suara pintu yang dibuka setelah penjaga mendorongku cukup jauh. Dan kutebak aku tengah masuk ke dalam sebuah ruangan saat suara pintu di belakangku ditutup dan bunyi gemeletuk kunci pintu yang diputar. Apa aku dikunci dalam ruangan ini?

"Apa aku boleh melepas penutupnya?", tanyaku dan tak mendapat jawaban, langsung melepas penutup mata dan memicingkan mataku karena merasa silau dalam ruangan seterang ini.

Ruangan ini seluas lima langkah kaki, tidak terlalu sempit atau panjang dengan nuansa serba putih. Terdapat satu kasur, meja dan kursi yang berwarna putih. Tak ada warna selain putih dalam ruangan ini, hanya warna rambutku yang membuat ruangan ini memiliki warna selain putih. Sekarang aku merasa seperti terisolasi dari warna setelah dari waktu dan dunia luar. Aku membaringkan diriku di kasur dan tidur sesaat karena kelelahan, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya.

Aku terbangun dengan kepala pusing dan sedikit kesadar. Sambil memijit batang hidungku, aku melihat ke sekitar dan mulai mencerna kembali di mana aku sekarang. Masih di tempat yang sama, yaiti tempat tak berwarna selain putih dan rambut hitamku. Aku turun dari kasur, menuju meja yang di atasnya ada sebuah nampan berisi semangkok bubur putih dan segelas air, dengan peralatan makan yang sama-sama berwarna putih. Kapan mereka memasukkannya ke dalam ruangan ini? Aku mengambil segelas air dan meminumnya sambil melihat ke sekitar. Aku menemukan satu cctv kecil yang ada di sudut ruangan dan tertutup oleh dinding yang dicat putih. Tapi, percuma mencoba menyamarkannya karena aku selalu menyadari mereka tengah mengawasiku.

Mencium bau bubur yang begi enak, aku mencoba menyuap satu sendok dan merasa tidak terlalu buruk untuk mengganjal rasa laparku. Setelah merasa kenyang, aku duduk di sebuah kursi sambil menghabiskan segelas air putih. Seketika dadaku terasa sesak dan telingaku memanas, aku ingin memuntahkan yang baru saja kumakan, tapi terlambat karena campuran dalam bubur itu pasti sudah meresap dalam tubuhku. Sekarang, aku akan insomnia beberapa hari karena bubur itu.