webnovel

4

"Kalian bertiga, segeralah keluar. Kami sudah memasakkan makanan", ucap Lin yang memanggil kami. Cath terlebih dahulu keluar, meninggalkanku dan Len yang masih tertidur dengan pulasnya.

"Hey Len! Jika kau tidak bangun, tidak akan ada makanan untukmu", ucapku sebelum keluar. Kupikir Len tidak mendengarku, ternyata dia menabrakku saat mendengarnya karena terburu-buru ke meja makan. Aku duduk di kursi samping Arcella dan mengambil piring yang sudah berisikan nasi yang masih hangat. Setelah semuanya bersiap menyantap makanan yang tersaji di depan mereka, aku mulai memimpin doa.

"Mari berdoa sesuai kepercayaan masing-masing, berdoa dimulai", singkatku karena melihat ekspresi mereka yang terlihat sudah kelaparan. Tangan mereka saat berdoa berbeda-beda. Ada yang mengepal, ada yang seperti menepuk di depan kening dan hanya menunduk, yang menandakan semua orang di meja makan ini memiliki agama yang berbeda.

"Selesai", ucapku dan mendapat ucapan amin dengan pengucapan yang berbeda-beda dari mereka. Mereka mulai menyantap makanan di depan mereka, sedangkan Arcella menyibukkan dirinya menanyai apa yang ingin kumakan dari semua menu makanan yang mereka masak.

"Biarkan dia memilih sendiri, ella", ucap Lin yang mendapat tatapan kesal dari Arcella.

"Sudahlah. Cepatlah makan", leraiku dan mendapat tatapan genit dari Len. Cath yang melihatnya hendak memuntahkan makanan dalam mulutnya karena tawa yang hampir pecah. Aku yang melihat tingkah Cath, tiba-tiba tertawa tanpa bisa menahan emosiku. Rasanya sangat lucu melihat hidungnya yang memerah karena menahan tawa. Mereka kebingungan melihatku yang tertawa terbahak-bahak sampai meneteskan air mata.

Menyadarinya, aku berdehem menghentikan tawaku dan melanjutkan makanku. Setelah acara makan kami selesai, aku dan Cath mencuci piring sedangkan Len baru saja selesai membersihkan meja makan. Tak sengaja tanganku menyenggol sabun cuci piring hingga mengenai baju Cath.

"Maaf", panikku mengambil serbet dan mengelap baju Cath yang basah karena sabut. Tapi, Cath malah menahan tanganku dan mencolek sabun ke hidungku.

"Kau terlalu berlebihan", ucap Cath dan berlalu ke kamar, mungkin mengganti bajunya. Arcella, Lin dan Len yang melihatku tertawa terbahak-bahak karena sabun yang ada di hidungku. Cepat, aku mengusapnya dengan serbet dan melanjutkan kegiatan membilas piring. Setelah selesai, kami berkumpul di depan televisi yang menyala dan menyiarkan kartun.

"Apa tak ada channel selain itu?", tanya Cath pada Len yang memegang remot kontrol televisinya. Len menekan semua tombol angka remot kontrol, namun tak ada yang berubah.

"Mereka tidak memnbiarkan kita mengetahui kondisi luar", ucap Lin. Bahkan untuk mengetahui bagaimana keadaan langit sekarang agar mengetahui malam dan siang, karena tak ada satu pun jam di sini.

"Walau pun kita tidak sendiri dalam ruangan ini, tetap saja mereka mengisolasi kita", ucap Lin. Arcella tak memberikan tanggapan apa pun dan berlalu ke kamar mandi sendirian. Tak lama, Arcella keluar dari kamar mandi, memintaku masuk ke dalam kamar mandi bersama Cath. Entah apa yang ingin Arcella tunjukkan pada kami. Tapi saat kami masuk dalam kamar mandi, kami menemukan shower air hangat menyala dan membuat air yang menguap dan mengepul di langit-langit kamar mandi. Aku cukup kagum dengan caranya membuat cctv menjadi buram.

Mataku dan Cath menyusuri isi kamar mandi dan mendapati sebuah jam digital rakitan di atas wastafel. Cath mengambilnya dan melihatnya dengan intens. Begitu pun denganku yang juga ikut memperhatikan jam berapa sekarang. Sekarang sore dan jam yang tertera di sana adalah jam lima sore lewat dua menit. Setelah puas melihat jam itu, kami menyembunyikannya ke dalam laci nakas yang tergantung. Cath keluar terlebih dahulu, sedangkan diriku mematikan shower, lalu keluar.

"Bagaimana kau bisa membawanya? Bukankah", tanya Cath pada Arcella. Lin dan Len yang tak tahu apa yang kami temukan hanya menyimak dan menebak.

"Aku menyimpannya dalam celana dalamku", jawab Arcella dengan jujur. Lin dan Len yang mendengar jawaban Arcella masih kebingungan untuk menebak apa yang kami lihat di kamar mandi tadi. Tapi, untuk apa Arcella membawa jam rakitan itu ke dalam celananya?

"Kenapa kau menyembunyikannya?", sudutku, membuat wajah Arcella pucat. Apa Arcella tahu ini akan terjadi?

"Aku mencurinya sebelum dibawa ke sini", jawab Arcella, membuatku bungkam dan masuk ke dalam kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kenapa aku sebodoh ini sampai menyudutkannya. Kuharap Arcella tidak kesal padaku karena hal kecil ini. Tak lama, mereka semua masuk dan berbaring di kasur yang sudah mereka pilih, kecuali Cath yang masih di luar yang entah apa yang tengah dilakukannya. Len mematikan lampu dalam ruangan ini dengan tiba-tiba, membuatku sedikit kaget.

"Kalian bisa tidur dengan lampu mati kan?", tanya Lin yang diiyakan Arcella dengan cepat. Sebenarnya aku tidak masalah, hanya saja belum terbiasa tanpa lampu tidur yang setidaknya ruangan ini tidak gelap total. Aku mendengar langkah kaki yang menghampiriku dan menarik selimutku.

"Bisa kau geser sedikit", bisik Cath yang rupanya menarik selimutku dan ikut berbaring di sampingku. Untungnya kasur ini lumayan besar dan dapat menampung dua orang walau berdempetan.

"Arcella tidak marah padamu karena dia sendiri yang mau mengatakannya", ucap Cath lagi dengan pelan, membuatku bergumam mengerti.

"Tentang kedua kembar itu, aku yakin mereka belum percaya sepenuhnya pada kita", ucap Cath lagi. Percaya pada kita? Kulihat mereka selalu mengikuti intruksiku, apa Cath kesulitan berdekatan dengan kedua kembar? Mungkin karena dia belum bisa membedakan kedua kembar dengan benar sampai-sampai kedua kembar malas berbicara panjang pada Cath.

"Kembalilah ke kasurmu dan tidur", ucapku dengan malas karena mengantuk, sambil membelakanginya menarik selimutku.

"Dengarkan ceritaku dulu", cerewet Cath yang menarik selimutku. Aku berbalik menghadapnya dan dapat merasakan nafas beratnya. Tanganku meraba lengan Cath, mencari denyut nadinya dan membuka mataku karena sedikit kaget merasakan suhu tangannya. Apa Cath takut gelap?

"Kau bercanda?", gumamku dengan malas duduk.

"Jika kau tidak keberatan-", ucapnya dengan ragu-ragu.

"Tentu saja aku keberatan. Ayo angkat kasurmu keluar dari sini", ucapku sambil menarik Cath agar turun dari kasurku. Dan selesai mengangkat kasur Cath ke ruang tengah yang terang, aku kembali ke kamar untuk tidur. Tapi, Cath malah memintaku untuk menemaninya sebentar.

"Apa kau tidak bisa cepat tidur?", tanyaku karena kantuk yang sudah diujung mata.

"Aku bisa", jawab Cath ambigu dan membuatku kembali menanyakan bagaimana caranya, agar aku cepat kembali ke kasur milikku sendiri lalu tidur dengan nyenyak. Cath mendekatkan bibirnya ke telingaku, hendak membisikkan sesuatu.

"Setelah ngawe", bisik Cath, membuatku merinding dan mengangkat bantal sambil bangkit dari duduk

"Noh, ngawe!", sewotku sambil melempar bantal ke wajah Cath dengan keras dan berlalu ke kamar untuk tidur. Dia lebih cabul dari yang kupikirkan, memangnya bagaimana lingkungannya di sana sampai-sampai batas wajar sikapnya seperti itu.

Aku terbangun dengan paksaan saat mendengar sebuah suara sirine yang memekakkan telinga masuk dalam ruangan ini. Dan lampu yang berganti merah menyala dalam apartment ini semakin menambah kepanikan. Kami berkumpul di ruang tengah dan mendengar langkah lari yang tak terhitung jumlahnya di balik pintu keluar apartment ini. Derap kaki yang tak henti berlalu di depan pintu, membuat kami semakin penasaran.

"Aku akan mencoba membuka pintu", ucapku dan mencoba memutar knop pintu yang ternyata terbuka. Mataku melotot tak percaya melihat orang-orang yang sebaya denganku memenuhi koridor apartment dan berlalu ke arah yang sama. Anggota kelompokku yang penasaran juga ikut mengintip dari belakangku. Kami menerobos barisan lari itu dan kelihat ke luar apartment yang gelap karena diselubungi oleh atap hitam, lalu melihat semua orang yang tengah berkumpul di lapangan. Hanya kepala mereka yang terlihat dari lantai lima ini, belum lagi orang-orang yang masih berada di lantai dua puluh yang akan turun ke bawah.

"Ini sangat gila", ucap Len dan diangguki oleh Lin dan Arcella. Aku tidak dapat menebak seberapa banyak orang yang sama seperti kami di sini, tapi jumlah mereka ribuan.

"Setidaknya kita bukan yang tersisa" , ucapku dan mengikuti ke mana semua orang berlari. Sekarang kami berada di tengah lapangan karena terbawa arus jalan kelompok lainnya. Aku melihat ke sekitar, wajah kosong dan pasrah semua orang di sini yang tak bisa disembunyikan lagi karena rasa takut yang ingin meledak. Aku hanya bisa tersenyum pada mereka yang melihat balik ke arahku, membuat mereka menyadari di mana mereka sekarang. Ya, aku masih yakin ini tempat rehabilitas dan kami akan dipulangkan jika berhasil bersikap normal.

Sebuah ledakan dan lampu yang menyala membuat semua orang kaget. Dan suara dari speaker yang bertebar di bangunan ini berdengung memekakkan telinga. Sebuah suara keluar dari speaker dengan tegasnya, suara ini berbeda dengan orang yang kemarin berbicara.

"Berbarislah dengan rapi!", itulah perintah untuk ribuan orang di lapangan ini. Aku tak yakin mereka akan menurutinya, tapi tiba-tiba semua orang mengikuti sisi dan depan mereka untuk membentuk sebuah barisan. Karena tidak mau mencolok, aku dan anggota kelompokku juga mengikutinya. Aku mempertanyakan barisan apa di depan kami dan seperti apa mereka karena sangat mudah mengikuti perintah. Lalu, kenapa semuanya sangat senyap? Hanya ada suara nafas berat dan langkah kaki ribuan orang di sini. Sepertinya, ribuan orang di sini bukan diambil dari tempat yang sama atau saling mengenal, lalu sama sepertiku. Tempat rehabilitas? Ini seperti tempat pengumpulan untuk uji coba psikologi.

"Sekarang, bentuk tiga kelompok beretnis putih sebelah kanan, beretnis hitam di sebelah kiri dan etnis asia di tengah!", intruksi suara dari speaker itu. Orang-orang di sini pergi ke barisan sesuai suku mereka sesuai suku mereka, tapi tidak dengan anggotaku dan beberapa orang yang sepertinya beretnis campuran sepertiku.

"Kalian harus masuk ke lompok itu jika ingin lolos dari tes ini", perintahku pada anggota kelompokku.

"Bagaimana denganmu?", khawatir Arcella.

"Aku akan menunggu intruksi berikutnya", jawabku.

"Kau bisa ikut denganku karena lahir di negara yang sama", tawar Cath padaku. Benar, tapi orang itu meminta sesuai etnis, bukan di mana aku lahir.

"Tidak, ikutlah dengan kami. Kau terlihat seperti orang asia, mungkin mereka menganggapnya sama", ucap Arcella, bersama Lin dan Len yang mengangguk setuju. Benar, tapi etnisku campuran antara asia dan putih, tapi orang itu meminta etnis yang bukan campuran.

"Pergilah sekarang, ini perintah pemimpin kalian untuk terakhir kalinya!", tegasku, membuat wajah khawatir mereka pudar, berganti dengan wajah kecewa namun guanggap berlalu karena itu bukan sikap asli mereka. Mereka pergi ke barisan mereka sesuai etnis mereka sendiri. Aku dapat melihat jumlah etnis orang putih yang lebih banyak dibandingkan etnis asia dan hitam.

"Akan ada penjaga yang menggiring kalian ke tempat tes, jadi silahkan meninggalkan lapangan untuk tiga kelompok yang sudah dibentuk", intruksi suara itu lagi, dan semua barisan itu mulai meninggalkan lapangan ini entah ke mana, hanya tersisa kami yang beretnis campuran. Ada lebih ratusan orang-orang yang sama sepertiku tertinggal di lapangan ini. Entah apa intruksi selanjutnya untuk kelompok yang lebih kecil dari ketiga kelompok tadi, perasaanku tidak enak.

"Untuk etnis campuran, berbaris! Dan ikuti penjaga", perintah suara itu lagi. Sigap, kami yang beretnis campuran membentuk barisan dan mulai mengikuti langkah penjaga di depan yang menggiring kami ke sebuah koridor entah menuju ke mana. Yang pastinya, aku mengambil barisan paling depan agar dapat menghitung jumlah kelompok ini saat tiba di tempat berikutnya.

Kami digiring memasuki sebuah gedung besar dengan lampu yang terang menyidari setiap sudut gedung ini, tidak ada yang bisa bersembunyi dari gelapnya ruangan tanpa jendela satu pun ini dan lagi kutebak ini masih malam karena aku masih merasa mengantuk dengan mata yang terpaksa fokus karena suara ricuh. Karena aku berada di barisan depan, aku dapat menghitung semua orang yang baru saja masuk dalam gedung ini. Ada seratus empat orang beretnis campuran dalam sini, yang artinya akan banyak saingan untuk lulus ke tes berikutnya.

"Perhatian!", ucap pengeras suara dari atas balkon dalam gedung ini. Semua perhatian tertuju pada asal suara dan melihat seorang pria berdiri di atas sana bersama banyak penjaga. Aku tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana wajah pria itu karena keterbatasan mataku, berbeda dengan orang-orang di sini yang kuyakini melihat wajahnya dengan jelas.

"Aku mengucapkan selamat pada kalian yang sudah sampai pada tahap ke tiga ini", antusias pria itu. Setelah kudengar suaranya lagi, sepertinya usianya sekitar tiga puluh sampai tiga puluh enam.

"Kalian pasti menanyakan ke mana pergi teman-teman kalian yang keluar atau didiskualifikasi dari tes ini", ucap suara itu lagi, membuatku membeku sebelum orang itu melanjutkan kalimatnya. Tes ini? Ini bukan tempat rehabilitas, tapi memang percobaan psikologi pada manusia. Apa mereka tengah membuat film dokumenter negara?

"Tenanglah, mereka hanya menyudutkan kita untuk masuk rumah sakit jiwa", ucap seorang di sampingku. Wajahnya terlihat pucat karena menyadari hal yang sama, tapi wajah itu seperti tahu akan seperti apa selanjutnya. Dia terlalu berpikir negatif sampai-sampai lupa di mana dia sekarang dengan tingkah orang ketakutan itu.

"Tenang saja, kami tidak akan memulangkan mereka", ucap suara itu lagi, menjawab pertanyaan kami, yang sudah kuketahui sejak tadi karena selama beberapa jam orang tuaku belum menjengukku. Aku penasaran ke mana mereka menempatkan mereka yang gagal pada tes ini.

"Ke mana mereka?", tanya suara itu lagi pada dirinya sendiri.

"Tentu saja itu rahasia", jawab suara itu dengan tawa yang menggelegar karena rasa senang. Kurasa dia adalah psikopat maniak yang haus dengan rasa takut orang-orang dari pemikiran negatif karena pertanyaan yang tak terjawab. Aku memaklumi itu, mengingat semua orang memiliki rasa takut.

"Baiklah, karena jumlah kalian terlalu banyak, kita akan membuat sebuah permainan. Hanya satu dari pertiga dari kalian semua yang akan lolos pada permainan ini", ucap suara itu lagi. Satu dari pertiga semua orang di sini? Itu artinya hanya tiga puluh dua atau tiga puluh lima orang yang akan berhasil dari seratus empat orang. Jika kelompok etnis lain juga menghadapi permainan yang sama seperti kelompok ini sekarang, akan sangat sulit lolos dari jumlah saingan sebanyak itu.