webnovel

Terkurung (part 1)

Sebuah pot bunga berukuran sedang berisikan bunga Lily bergetar mendekati pinggiran meja kecil di samping ranjang.

Sebuah pigura kecil berisikan lukisan pemandangan air terjun yang dibuat secara manual terjatuh dari gantungannya di dinding.

Rara menarik tangan kanannya menjauhi dinding berwarna krem tepat di depannya, meninggalkan noda merah yang terlihat seperti warna jingga pastel karena tercampur dengan warna dindingnya. Ia luruskan tangannya di samping badan. Bulir-bulir cairan merah menetes pelan dari tangannya yang masih mengepal.

Ia membuka kran wastafel dan perlahan membasuh darah disekitar buku-buku jarinya dan sela-sela jarinya. Kemudian ia keringkan tangannya dengan sebuah handuk kecil yang tergantung tak jauh dari sana.

Ia keluar dari kamar mandi dengan agak pincang, lalu duduk di kursinya dan mengeluarkan kotak P3K dari dalam laci meja. Ia membalut pergelangan tangan hingga ke telapak tangan yang terasa lebih sakit dibandingkan buku-buku jarinya yang terluka dan mengeluarkan sedikit darah.

Ia meletakkan pipi kanannya ke atas meja. Mata biru bermotif ombak lautannya menatap lurus ranjang di depannya. Memikirkan harus berapa lama lagi ia terkurung di resort ini.

Kamar ini sangat tertutup rapat. Tak ada jendela dan ventilasi tertanam di langit-langit kamar. Membuatnya kesulitan membedakan pagi dan siang.

Di kamar ini tak banyak yang bisa dilakukan. Ia sudah membaca semua buku dan majalah yang disediakan dan menonton televisi. Terkadang ia melakukan workout sederhana untuk menjaga dirinya tetap sehat, waras, sekaligus membunuh waktu.

Bisa saja ia bertahan di ruangan terisolasi begini. Akan tetapi, menyenangkan jika bisa mengobrol dengan orang-orang, meski hanya beberapa orang.

Nyatanya itu sulit. Orang-orang yang rutin membawakannya makan menolak akrab dengannya.

Bersyukur penyekapnya mengerti, dia tidak nyaman selalu dalam kurungan. Maka sesekali ia akan dibiarkan jalan-jalan di luar kamar. Tentu saja diberi pengawasan. Akan ada dua pengawal yang selalu mengikutinya kemanapun pergi kecuali di tempat privat.

"Meski begitu, aku masih belum tahu alasanku dikurung di sini."

Rara dibawa ke sini tanpa persetujuan alias diculik. Ia masih ingat hari-hari terakhir kebebasannya.

Saat itu ia bekerja seperti biasa. Mengawasi anak buahnya memproduksi ikan kaleng. Hari itu adalah hari tersibuk menjelang akhir bulan. Timnya harus memenuhi target bulanan sebanyak 1500 kaleng.

Saat tepat jam 6 sore, alarm karyawan berdering nyaring. Semua pekerja membersihkan mesin-mesin produksi agar tidak cepat karatan dan mengelap lantai yang becek disebabkan percikan air saat memproduksi makanan kaleng tadi.

Kemudian mereka berbondong-bondong ke kantin untuk makan malam.

Setelah makan malam, Rara memanggil semua anak buahnya untuk melakukan evaluasi setiap dua minggu sekali. Ia selalu melakukan ini sejak menjadi supervisor dua tahun lalu. Mengecek kinerja timnya dan memastikan semuanya memenuhi target yang sudah diberikannya.

Hasilnya memuaskan. Timnya Rara berhasil memenuhi target bulanan seperti biasa. Setelah itu, ia mengakhiri rapat dan mempersilahkan semua anggota timnya pulang ke rumah.

Rara pulang ke rumah menggunakan bus dalam kota. Ia membuka pagar besi rumahnya, berjalan menuju pintu rumah yang cuma beberapa langkah. Ia membuka pintu dan memberitahukan kepulangannya pada orangtuanya.

Rara masuk kamar, meletakkan ranselnya di atas kursi kayu yang sudah menemaninya selama 19 tahun. Ia kagum akan keawetan kursi ini. Kayu yang digunakan tidak mudah rapuh. Terkadang ia kepo kayu apa yang digunakan Ayahnya membuat kursi ini. Namun pertanyaan itu tak pernah terlontarkan sampai sekarang.

Lalu terdengar suara seseorang mengetuk pintu kamar. Rara bergegas membuka pintu. Terlihat seorang wanita yang setinggi ketiaknya mendongak ke arahnya.

"Kau sudah makan?"

"Aku sudah makan di kantor, Bu," jawab Rara lembut kepada wanita dihadapannya yang merupakan ibu kandungnya.

"Baiklah." Ibu balik badan, meninggalkan Rara.

"Jika ibu sudah masak, simpan saja untuk sarapanku besok."

Ibu menoleh ke belakang lalu tersenyum. Lantas melanjutkan langkahnya menuju dapur.

Rara menutup pintu kamarnya setelah ibunya benar-benar hilang dari pandangannya.

Keesokan harinya rumah mendadak dipenuhi suara anak kecil. Itu adalah suara ketiga sepupunya Rara—putra dan putri dari pamannya yang bernama Dilan.

Ketiga sepupunya ini sangat energik. Mungkin karena masih anak-anak. Tenaga mereka seperti tak ada habisnya. Rara selalu dibuat tepat setelah bermain dua jam penuh bersama mereka.

Mungkin terdengar aneh. Bagaimana bisa saudaraan, tapi sesama sepupu bisa beda umur terlalu jauh? Jawabannya simpel.

Ayahnya Rara memiliki dua adik laki-laki dan Dilan adalah anak ketiga. Pamannya itu sangat gila kerja membuatnya telat melamar jodohnya. Dia menikah setelah berumur 35 tahun. Fenomena tak biasa bagi keluarganya.

"Kita istirahat dulu, ya? Kakak capek." Rara terduduk di lantai. Kedua kakinya sudah kehilangan tenaga dan tubuhnya juga mulai terasa berat.

"Eh???" Mereka terdengar kecewa.

"Tenaga kakak habis. Perlu istirahat." Rara menghembuskan napas lewat mulut. Memberi kode kalau dia benar-benar perlu istirahat segera.

"Sini, main sama Om aja," kata Ayah merentangkan kedua tangan. Mengisyaratkan ketiga bocil ini untuk menghampirinya.

"Nggak mau! Aku maunya sama kak Rara!" ucap si anak tengah sambil mendekap badan Rara dengan tangan mungilnya. Dia terkenal paling bersemangat bermain dengan Rara dan memfavoritkan Rara dari semua sepupunya.

"Kalian main sama Om dan Tante dulu, ya. Nanti kita main lagi," ujar Rara lembut lantas mengecup pipi ketiga sepupunya.

Dengan terpaksa ketiga sepupunya bermain dengan ayahnya. Rara rebahan di lantai dan matanya terpejam.

"Kakak Rara!" panggil seorang anak laki-laki sambil menepuk pipinya begitu keras.

Sontak Rara membuka mata dan merasa lingkung. Terdengar tantenya menegur perbuatan anak laki-laki dihadapannya.

"Ayo, bangun kak Rara. Ayah beli martabak dan terang bulan!"

Rara menaikkan salah satu alisnya. *"Penjual martabak, kan, bukanya menjelang malam. Lah kok ada yang jual di siang hari?"*

Rara membuang tahi matanya. Kemudian pergi ke kamar mandi. Ia membasuh mukanya di wastafel. Air dingin membantunya menghilangkan rasa kantuk dan membuat wajahnya terasa segar.

Ia menatap cermin wastafel. Perlahan mata cokelatnya berubah menjadi biru malam dengan sentuhan motif ombak lautan. Keindahan mata itu tak pernah gagal menarik perhatiannya. Membuatnya jatuh cinta pada matanya sendiri.

"Semoga ini bukan penyakit," pikirnya.

Ia mengelap wajahnya begitu lembut dengan handuk. Mata birunya kembali menjadi cokelat gelap.

Ia keluar dari kamar mandi dan terkejut saat melihat jam di dinding dapur. Sudah jam 7 malam. Ia pikir hanya ketiduran, ternyata tertidur lelap berjam-jam.

"Semoga mereka nggak marah kutinggal tidur tadi," gumamnya.

Rara bergabung dengan keluarganya. Duduk bersebelahan dengan sepupu-sepupunya. Ketiganya saling berebut duduk di dekatnya. Ia putuskan satu di kanan, satu di kiri, dan satu dalam pangkuannya. Para orang dewasa cekikikan melihat dirinya diapit tiga bersaudara.

"Gimana kerja jadi supervisor?" tanya Dilan.

"Awalnya grogi parah dan banyak hal yang diselesaikan secara serampangan, tapi aku bersyukur memiliki tim yang bersedia membantuku menjadi supervisor yang seharusnya."

"Begitu. Baguslah." Dilan memasukkan sepotong martabak ke mulut. "Apa kau berniat naik level? Mumpung ada peluang.'

"Jadi apa?"

"Manajer. Pekerjaannya mirip seperti supervisor, namun tanggungjawabnya lebih bedar dibanding supervisor."

"Itu—"

"Rara, kau harus menerima peluang ini," sela Ayah. "Ini peluang emas. Jangan disia-siakan."

Rara diam sejenak. Mengunyah lembut potongan martabak dalam mulutnya lalu ditelan. "Itu tawaran yang bagus."

Wajah kedua orangatua Rara bersinar. Mata mereka berbinar-binar.

"Maaf, aku harus menolaknya, Paman."

Rara dan Dilan bertatapan beberapa saat.

"Beri aku dua tahun untuk mengembangkan kemampuan dan memperbanyak pengalamanku. Aku tak ingin menjadi manajer yang tidak tahu apa-apa."

Ayah menghela napas. "Rara, hal itu bisa kau dapatkan sembari menjadi manajer. Kesempatan ini harus kau ambil. Belum tentu dua tahun kemudian pamanmu memberikan peluang yang sama."

"Maaf, Ayah, aku tak ingin dibebankan dengan ketidak-kompetennya diriku."

Dilan tersenyum. "Oke, aku akan mengajukan hal serupa dua tahun lagi."

Ayahnya Rara terkejut sekaligus merasa lega.

"Ayo kita lanjutkan makannya," ujar Tantenya Rara. "Ini masih banyak."

Bulir-bulir air mata meluncur dari kedua matanya, membasahi meja. Mengingat tentang keluarganya membuat dadanya sesak. Keinginannya untuk keluar dari sini semakin besar. Sayangnya tidak sebanding dengan situasi dan kondisinya.

Kedua kakinya terluka cukup parah dan sudah berhari-hari luka itu tak kunjung sembuh.

Ini sangat aneh.

Ia terlahir sebagai manusia serigala. Ia mampu meregenerasi tubuhnya, meski kemampuan itu tidak sehebat saat wujud sempurnanya saat bulan purnama. Sehingga membuatnya heran luka-luka di kedua kakinya belum sembuh.

Rara membawa kotak P3K ke atas kasur. Perlahan, ia mengganti perban yang membalut kedua telapak kakinya.

Saat melihat luka-lukanya, ia teringat suara cambuk besi yang menyabet kedua telapak kakinya. Rasa sakit tiap sabetan cambuk itu terasa sangat nyata. Membangkitkan rasa takutnya dan muncul banyak keringat dingin. Padahal itu hanya memori lama yang diputar ulang.

Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu besi yang tak memiliki lubang kunci dari dalam. Berhasil mengagetkan dan menyadarkannya dari kenangan buruk di masa lalu.

Sebuah pintu kecil terbuka di area bawah daun pintu itu. Seseorang memasukkan sepiring nasi putih beserta lauk-pauknya dan segelas air putih. Setelah itu terdengar suara wanita paruh baya memintanya untuk segera makan siang dan pintu kecil itu kembali ditutup rapat.

"Sekarang sudah siang, ya," ucap Rara pelan.

Ia merapikan ikat rambut yang mengikat rambut hitamnya yang sudah tumbuh sejengkal dari pundak. Kemudian turun dari ranjang. Pelan-pelan berjalan di atas lantai keramik yang dingin diterpa udara AC. Setiap kali menapak, ia harus meringis kesakitan.

"Kaki ini perlu sembuh agar bisa berlari lagi," pikirnya.

Ia berhenti dan duduk dekat tumpukan makanan yang masih mengepul asapnya. Ia mengambil sendok lantas menikmati makanan itu. Rasanya hambar, padahal hidangan itu terlihat indah.

Selama terkurung di tempat antah berantah ini, selera makannya menjadi mati rasa. Makanan dan minuman yang seharusnya mengundang selera, sama sekali tidak menarik minatnya.

Otaknya hanya dipenuhi keinginan melarikan diri dari resort ini dan bertahan hidup selama rencana itu belum tercapai. Membuatnya makan dan minum hanya karena perutnya keroncongan, dan itu membuat tubuhnya mengurus.

Rara selesai makan siang. Ia duduk di pinggir ranjang dengan kedua tangan menopang dagu. Ia menatap lekat-lekat dinding berwarna krem yang terdapat noda darahnya tadi. Sudah berulang kali ia mencoba membobolnya dengan kekuatan supernya dan hasilnya nihil. Jangankan hancur, tergores saja tidak.

Orang yang mengurungnya di sini benar-benar memperhitungkan semuanya. Orang itu sudah tahu kalau Rara dari kalangan manusia serigala yang bisa memiliki kekuatan fisik melebihi manusia terkuat di dunia. Kemudian memasang sihir yang mampu menahan kekuatannya.

"Satu-satunya cara menaklukkan sihir saat bulan purnama," pikir Rara. "Tapi, selama di sini aku tidak merasakan kekuatan bulan purnama. Yang artinya, orang itu sengaja menculikku sebelum atau sesudah bulan purnama."

Rara menghela napas.

Bulan purnama adalah momen terbaik bagi manusia serigala sepertinya. Ia bisa berubah ke wujud manusia berkepala serigala yang kebal akan sihir. Dinding ruangan ini meski dipasang sihir sekuat apapun, kalau ia dalam wujud sempurna, membobolnya merupakan hal mudah.

Sayangnya, saat ini bukan hari bulan purnama.

"Sepertinya aku harus menunggu lebih lama lagi," ucapnya dan diakhiri helaan napas panjang.

Kemudian terdengar kunci pintu dibuka. Tanpa menghitungnya, Rara tahu, ada tiga kunci yang dibuka oleh seseorang di luar sana. Seketika ia merebahkan tubuhnya ke kasur. Membuat dirinya tampak sedang bersantai di atas kasur.

Pintu besi itu terbukan dan masuklah seorang perempuan yang dikenal Rara.

[]