webnovel

Mimpi Buruk

" Charlotte cepat! Cepat lari! "

Seru seorang pria di tengah riuh jerit ketakutan yang saling bersahutan. Degup jantung semua orang yang berlari berhamburan ke sana ke mari, meronta secara menyakitkan sebab rasa takut yang membanjiri seluruh sel di tubuh mereka. Meremas sedemikian rupa, hingga napas seakan berada di ujung tanduk. Suasananya begitu mencekam. Pagi hari tidak lagi berupa sinar cerah sang mentari, melainkan wajah muram mendung kelabu. Bumi yang tadinya ramah, mengamuk hingga getarannya melumat habis apa yang dibangun di atas tubuhnya.

Pantai beserta ombak di lautan yang dulunya bersahabat pun sama saja. Bergemuruh. Menggeram. Mengejar. Marah. Tanpa kenal ampun menggulung segala sesuatu yang ada di sana. Baik itu makhluk hidup ataupun benda mati. " Aku tak peduli. Ini sudah tugasku untuk melumat kalian semua, " ombak seolah berkata demikian kepada setiap makhluk yang berusaha lari dari kejarannya.

Gulungan mematikan semakin mendekat. Siap untuk menyapu bersih semua yang ada di depannya, demi menyempurnakan tugas sang bumi yang sudah lebih dulu berguncang dengan begitu hebat. Tangan pria itu mengeratkan pegangannya pada wanita yang napasnya hampir putus. Terengah-engah lelah, sambil menggendong buah hatinya yang menangis keras. Putus asa dan pasrah sekaligus.

" Charlotte terus lari! Terus berusaha! "

Wanita itu menangis. Tahu kalau kalimat perintah untuk menyelamatkan diri yang terus menerus suaminya ucapkan, kemungkinan besar akan sia-sia. Charlotte mengeratkan kain gendongan yang melintas di bahunya, agar tubuh anaknya semakin merapat, menempel kencang di tubuhnya. Sambil berlari, Charlotte mengecup kening anaknya lamat dan dalam.

Hal yang sama akan Charlotte lakukan pada laki-laki yang kini tengah mati-matian berusaha menyelamatkan dirinya dan anaknya. Andaikan bisa. Andaikan masih punya banyak waktu. Di tengah usahanya kabur dari kejaran gelombang pasang, Charlotte sempat mengintip ke belakang melalui bahu. Menyaksikan secara langsung bagaimana hebatnya air ketika mengamuk membabi buta. Di detik-detik terakhir sebelum Charlotte, anaknya, dan suaminya ikut terseret gulungan ganas sang ombak, Charlotte berteriak sekeras mungkin. Berharap jika pria yang berlari di depannya, bisa mendengar isi hatinya yang mungkin akan ia ucapkan untuk terakhir kali.

" Eiden! Aku mencintaimu!!! "

 

... Untouchable Man ...

 

" AAARRRGHHH....!!!! "

Ivy tersentak bangun dari tidurnya dengan teriakan pilu yang memekakkan telinga. Tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh tokoh wanita di dalam mimpinya, Ivy pun merasakan napasnya sesak tak terkira. Rasa takut serta kesedihan yang ikut menderanya pun... begitu luar biasa mencabik jiwanya hingga lebur. Peluh sebesar biji jagung jatuh bercucuran di dahinya. Tubuhnya terasa dingin menggigil. Tangannya gemetaran. Air matanya pun tak mau kalah. Mengalir turun membasahi pipi, bagaikan anak sungai yang mengalir deras.

Jelas sekali kalau seseorang yang ada di dalam mimpinya, sama sekali bukan dia. Itu bukan dirinya. Tapi mengapa yang Ivy rasakan justru sebaliknya? Luka itu, sedih itu, ketakutan itu, kehampaan itu... begitu nyata dia rasakan. Seolah-olah semua perasaan tak menyenangkan itu benar-benar miliknya. Ivy seakan benar-benar mengalami hal mengerikan seperti yang ada di mimpinya di lain waktu. Di sela tangis yang semakin pilu seiring bertambahnya durasi waktu, Ivy memandangi telapak tangannya yang terbuka.

Kosong. Tidak ada yang melengkapi sela-sela jarinya dengan genggaman hangat. Pun tidak ada seseorang yang ia sentuh dengan curahan kasih sayang. Perasaan apa ini? Kekosongan jenis apa yang sebenarnya sedang dia rasakan? Tak pernah sebelumnya sejak malam ini, Ivy memimpikan sesuatu yang begitu menerornya bahkan ketika dirinya terbangun. Membuka kedua kelopak mata secara sempurna. Dan sadar jika semua hal buruk yang ia lihat sebagai bunga tidur, sudah lenyap dan akan tetap menjadi bunga tidur.

Setelah lama terisak menumpahkan sedikit rasa sesak yang menjerat, Ivy mendongak ke arah jam dinding yang ada di kamarnya. Waktu masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Malam masih tetap tinggal beberapa jam lagi sebelum fajar menyingsing. Tapi Ivy sudah kehilangan minatnya untuk kembali rebah kemudian terpejam. Gadis itu takut. Takut kalau nanti ketika dirinya kembali larut dalam buaian, mimpi buruk seperti tadi muncul lagi. Memaksanya ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh pemeran utama di mimpinya untuk kedua kali. Tidak! Ivy tidak mau. Dia tidak cukup kuat merasakan kehilangan semacam itu.