webnovel

unSpoken

Hanny_One · Adolescente
Classificações insuficientes
42 Chs

BAB 32 : Kesalahan Pahaman Yang Menyenangkan

Dering ponsel membangunkan marcello. Dengan mata yang masih terpejam diraba nya ponselnya. Entah sudah dering ke berapa saat ini, yang jelas dengan susah payah dia menyadarkan diri dari buai mimpi.

"Halo?" suaranya serak dan malas

"tuan dimana? Kenapa tidak ada di apartemen atau pun di rumah?" suara pak Handoko begitu cemas

pagi ini pak handoko berinisiatif pergi ke apartemen marcello sebelum ke kantor. Dia yakin marcello sulit bangun pagi hari ini. mengingat dia baru pulang dari luar negri pasti masih lelah dan ditambah lagi tadi malam dia mampir di rumah liana pasti dia tidur kemalaman. Tapi yang didapati pak Handoko disana adalah kamar yang kosong dan rapi. Dia mulai merasa khawatir dan menelpon tapi marcello sama sekali tidk meangkat. Pak handoko kemudian menelpon kerumah nya tapi menurut pengurus rumah marcello tidak pulang kesana. Pak handoko menelpon rumah utama tapi nyonya besar bilang marcello juga tidak disana. reza handpone nya mati. Menambah kekhawatiran pak handoko.

"Mmm .. aku .. aku .." marcello membuka matanya,melihat dimana dia berada "aku dirumah liana" marcello bangun dari tidurnya mengucek matanya yang terasa berat.

"hah? Apa? tuan menginap disana?" pak handoko terkejut

"ia,aku menginap karena tadi malam tidak bisa pulang" marcello tiba-tiba terbayang wajah reza yang menybalkan "gara-gara si reza, dia tidak mau menjemput ku" marcello geram meingat nama Reza

"ok, syukurlah jika tuan baik-baik saja." Pak handoko merasa lega. dia merasa sedikit geli menyadari balas membalas diantara kedua nya belum selesai.

"saya akan jemput tuan disana" pak handoko menuju lemari marcello,mengambil setelan jas nya untuk baju ganti.

"tidak perlu terburu-buru. Aku akan kekantor agak siang. Atau mungkin nanti saja setelah selesai jam istirahat makan siang kantor"marcello berkata sambil merengangkan tubuhnya

"baiklah, tapi karena makan siang hari ini kita ada jadwal bersama klien saya rasa tuan saya jemput sekitar jam 10" pak handoko memperlambat tangannya karena merasa tidak perlu terburu-buru

"ok, tapi reza jangan dibiarkan molor. Pagi ini pokoknya suruh dia jadi supir bapak. Aku nga mau dia enak-enakkan karena aku nanti siang baru dijemput"

"baik tuan"

marcello mematikan pangilan teleponnya. Melirik jam tangannya '7.55'ternyata dia benar-benar sangat kesiangan sekarang. Marcello melirik kamar liana yang masih tertutup. Menebak bahwa liana juga masih tertidur sekarang. Marcello berdiri,melangkah masuk kekamar mandi. Dia berencana akan menyiapkan sarapan setelah membersihkan diri.

Tok…tok…tok…

"siapa yang berkunjung" marcello bertanya-tanya sambil melilitkan handuk pada pinggulnya

Tok…tok…tok…

"nga bisa sabar sebentar apa" marcello mengerutu sambil berjalan kearah pintu

Tok..

sebelum selesai ketukan yang ketiga pintu sudah terbuka. Wajah marcello muncul dibalik pintu. Dia sengaja tidak membuka nya penuh. Karena ingin melihat siapa yang datng berkunjung. Ternyata disana berdiri sosok dokter muda,Alvin.

Alvin yang memasang senyum gembira saat pintu terbuka,tiba-tiba berubah menjadi wajah bingung dan terkejut mendapati marcello yang membukakan pintu dengan rambut yang basah dan sepertinya tidak memakai baju.

"kenapa disini?" tanya Alvin binggung

"nginap" marcello menjawab dengan acuh sambil membuka lebar pintu

Alvin makin terkejut, matanya terbelalak melihat marcello ternyata bukan Cuma tidak memakai baju tapi juga tidak memakai celana. Tubuhnya hanya tertutup handuk dibagian bawah yang menegaskan dia baru selesai mandi. Otot-otot nya terlihat, dengan sisa-sisa air yang masih menetes pada tubuh dan rambutnya membuat penampilannya sunguh mengagumkan bahkan utuk sesame lelaki.

"mana liana?" Alvin melangkah masuk sambil mengedarkan pandangan nya keisi ruangan mencari sosok liana

belum sempat marcello menjawab, liana yang mendengar keributan segera keluar dari kamarnya. Alvin makin terkejut melihat liana yang juga berbalut handuk dengan rambut yang basah.

"ada apa sebenarnya ini" Alvin berbisik pada diri sendiri. Alvin memegang kepalanya yang terasa berdenjut sebab emosi yang tiba-tiba memuncak

marcello tersenyum senang melihat Alvin yang kebingungan. Dia seakan bisa membaca pikiran Alvin. Dia tahu bahwa Alvin sedang salah paham sekarang. Tapi marcello sama sekali tidak ingin memberi penjelasan. Dia bahkan berniat membiarkan nya saja.

"liana,masuk sana. cepat pakai pakaian mu" marcello menegur liana yang berdiri binggung didepan kamarnya

liana tidak membantah,ia masuk kembali kekamarnya.

"duduk dulu,mau minum apa?" marcello berlaga seperti empunya rumah.

lagi-lagi Alvin menatap tajam pada marcello,tapi marcel bersikap santai.

"kopi saja ya, karena seperti nya kopi akan enak dipagi hari seperti ini" marcello dengan acuh meningalkan Alvin menuju dapur. Marcello benar-benar senang,terulas senyum yang puas pada wajahnya. Dia berjalan sambil bersiul.

. . .

Liana menepuk pundak Alvin. Menyadakan nya dari lamunan.

"kaka,ada apa pagi-pagi kesini?" isyarat tangan

Alvin tidak menjawab hanya memandang liana lekat.

"kenapa kesini? Isyarat tangan.

"ada apa?" isyata tangan. Liana kembali bertanya.

merasa bahwa Alvin tidak merespon, Liana melambaikan tangan nya didepan wajah Alvin. Menyadarkannya yang sedang menyelam dalam kekalutan pikirannya sendiri.

"oh ..,aku ingin melihat keadaan mu. Aku khawatir" jawab Alvin dengan lemah

"aku baik-baik saja" liana tersenyum ceria,menambah luka pada hati Alvin.

"ini kopinya" marcello meletakkan kopi diatas meja sambil mendudukan diri disebelah liana.

"kenapa belum berpakaian?" liana protes pada marcello yang masih memakai handuknya,ia merasa malu melihat macello yang bertelanjang dada.

"ia, ini juga udah mau pakai baju ko. Tapi habis minum kopi" marcello menyeruput kopinya dengan tenang.

liana memukul lengan marcello,lalu mendorong nya menjauh,menyuruhnya segera pergi memakai pakaian nya.

"au.. ia,ia" marcello segera berbalik,tidak ingin mengulur lagi.

wajah Alvin makin kusut. Alvin berdiri,memutuskan segera pergi. Dia sunguh tidak tahan lagi melihat semua ini. dia juga tidak ingin bertanya tentang semua ini. baginya sudah jelas jawabannya.

"aku pulang ya," Alvin pergi tanpa menoleh kearah liana

liana terpaku ditempat, tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Dia merasa binggung dengan sikap Alvin.

. . .