Didalam perjalanan, didalam mobil pribadi milik Rian, suasananya benar-benar terasa hening, dan tak ada obrolan satu pun yang dilontakan oleh mereka berdua. Hanya ada alunan musik dari radio mobil milik Rian saja yang menemani mereka sepanjang perjalanan.
Namun itu bukan berarti mereka bersantai menikmati alunan musik yang keluar dari radio tersebut, melainkan mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Meskipun dari luar Vivian terlihat nampak sedang melihat pemandangan sekitar lewat kaca mobil tersebut, nyatanya dalam pikirannya Vivian masih memiliki kecurigaan terhadap Rian. Pada dasarnya Vivian memang mepercayai Rian untuk menangani kasus ini, Vivian yakin bahwa tujuan Rian itu baik, itulah yang ia percaya dan pegang tegus. Ia yakin Rian memang benar-benar menginginkan the blue bird murder itu tertangkap. Namun bukan itulah yang ia khawatirkan, melainkan apa yang akan dilakukan oleh Rianlah yang tidak bisa ia percaya, karna seperti apa yang Rian bilang, bahwa ia akan melakukan apapun guna menyelesaikan kasus ini, meski caranya kotor sekali pun. Dalam pikiran Vivian saat itu, ia memikirkan rencana apa yang Rian sedang rencanakan sebenarnya, apa Rian hanya ingin memanfaatan dirinya saja atau memang Rian ingin bekerjasama dengannya. Vivian benar-benar dipusingkan dengan hal itu.
Lalu Vivian kemudian menoleh melihat kesebelah kanan, kearah Rian yang sedang menyetir seraya tersenyum lebar menatap jalan. Apa yang sedang pria ini pikirkan saat ini, pikir Vivian seraya memandangi wajah tampan Rian tersebut, lalu Vivian memegangi jidatnya sejenak dan berkata didalam hati. "Apasih yang aku pikirkan" Seteleh itu ia pun mengalihkan pandanganya kembali ke sebelah kiri, kembali menatap pemandangan jalan dari balik kaca mobil. Ya... pada akhirnya Vivian berpikir, jika memang itu yang terbaik ia rasa ia tidak keberatan jika dimanfaatkan olehnya.
Begitupula dengan Rian, Rian yang dari luar terlihat tersenyum lebar bahagia seraya menyetir mobilnya itu, nyatanya juga sedang memikirkan sesuatu didalam pikirannya. Ia berpikir apakah benar orang disebelahnya ini dapat dipercaya, apakah orang disebelahnya ini bisa berguna untuk menyelesaikan kasus yang sedang ia jalani ini, ia bertanya-tanya dalam pikirannya. "Apakah keputusan yang aku ambil ini sudah tepat ?" namun semakin ia bertanya, semakin tidak ada jawaban dari pertanyaannya itu, ia sendiri bahkan tidak tau apa yang ia lakukan ini adalah benar atau salah. Namun yang pasti sudah tidak ada jalan kembali pikirnya, maka dari itu ia berharap apapun itu, akan berjalan dengan lancar,
Akhirnya setelah perjalanan panjang yang sepi nan sunyi, mereka pun sampai dikediaman milik Rian Alfarizi. Sebuah kediaman yang sangat besar jika hanya ditempati untuk satu orang saja. Rumahnya terletas di bilangan Jakarta Selatan, disalah satu komplek perumahaan elite didaerah sana. Rumahnya memiliki 3 lantai, dimana lantai 3 adalah tempat Rian bekerja. Ya, Rian memfokuskan semua pekerjaannya di lantai 3, mulai dari kantor, hingga rak-rak file yang ia simpan, semua berada disana, di lantai 3.
Di depan rumah tersebut terdapat taman, yang memiliki berbagai macam tanaman indah yang dapat memanjakan mata, terdapat juga pohon besar disana yang mana menurut Rian sendiri, itu berfungsi sebagai tempat ia berteduh dan menenangkan pikiran saat bersandar dibawah pohon tersebut, seraya melihat indahnya bunga dan tanaman disekitarnya.
Ketika Vivian keluar dari mobil tersebut dan melihat rumah besar milik Rian tersebut, ia benar-benar berdecak kagum dibuatnya. Pupil matanya membesar, alis matanya pun terangkat keatas, mulutnya terbuka lebar, sejenak ia dibuat teridam dengan keindahan rumah tersebut.
Vivian bukan hanya kagum akan keindahan taman, dan rumah tersebut saja, karna secara tidak langsung ia juga kagum dengan sosok Rian pada saat itu juga. Ia kagum karna seorang semuda Rian yang mana umurnya tidaklah berbeda jauh dengannya, bisa membangun rumah idaman sebesar dan seindah itu. Melihat betapa besar dan indahnya rumah tersebut saja sudah bisa membuat Vivian membanyangkan betapa kerasnya Rian bekerja. Karna Vivian tau bahwa Rian bukanlah tipe orang yang bergantung kepada orang tuanya. Meskipun sebetulnya bukan hanya Vivian saja yang mengetahui hal itu, hampir seluruh orang di kepolisian mengetahui hal tersebut.
Dan itulah kenyataanya, meskipun orang tua Rian sangatlah kaya raya, dan merupakan orang yang cukup berpengaruh di kepolisian, akan tetapi Rian sama sekali tidak bergantung pada ayahnya yang merupakan seorang mantan kepala kepolisian dan juga seorang pengusaha. Hampir segala sesuatu yang ia meliki sekarang adalah hasil kerja kerasnya sendiri, dan itu jugalah yang membuat Vivian mengngagumi sosok Rian.
Setelah itu dengan sangat hormat layaknya seorang tuan rumah yang baik nan ramah, Rian mempersilahkan Vivian masuk kedalam rumahnya dengan penuh senyuman terlukiskan diwajahnya.
Vivian dan Rian pun kemudian memasuki rumah milik Rian tersebut. Sesampainya didalam rumah tersebut, Rian pertama-tama mengajak Vivian untuk berkeliling didalam rumahnya, dengan niatan untuk membuat Vivian yang terlihat agak sedikit canggung itu mulai membiasakan dirinya dirumahnya itu. Setelah selesai mengajaknya berkeliling, Rian pun membawanya ke ruang kerjanya, yang berada di lantai 3 rumah tersebut. Setelah sampai diruangan tersebut, lagi-lagi Vivian berhasil dibuat tabjuk olehnya. Ruang kerja yang sangat bersih dan rapih, dengan buku-buku yang sangat tertata rapih didalam sebuah lemari yang cukup besar yang berada tepat dihadapan kursi kerja milik Rian Alfarizi.
"Untuk seorang laki-laki ternyata kau lumayan rapih ya ?" Cetus Vivian memuji Rian tanpa basa-basi. Rian pun tersenyum memandangi Vivian yang kala itu memuji dirinya. "Terimakasih loh." Jawabnya dengan begitu ramah.
Kemudian setelah itu, Rian langsung menyuruh Vivian untuk duduk bersantao di sofa yang berada diruangan tersebut. Sofa yang sangat besar dan terlihat cukup nyaman itu berwarana biru laut yang sangat mencolok.
"Untuk sekarang kamu bisa bersantai dulu disini, biarku siapkan minuman dan sedikit cemilan untuk pembicaraan kita yang cukup panjang ini nantinya." Seru Rian seraya tersenyum ramah. Vivian tersenyum dan menganggukan kepalanya perlahan seraya mengucapakan. "Terimakasih." Rian pun tersenyum, lalu ia membalikan badanya dan berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Selagi Rian keluar ruangan tersebut, Vivian merasa dirinya tidak bisa hanya berdiam dan duduk manis seraya dirinya menunggu kedatangan Rian. Ia merasa, ia perlu memeriksa ruangan sekitar, syukur-syukur ia menemukan sesuatu yang berguna, mengingat Rian sangat mencurigai dirinya beserta kepolian, Vivian berpikir tidak ada salahnya juga jika ia sedikit berhati-hati dengan orang tersebut, dan melakukan ini dengan hati-hati.
Vivian lalu mulai beranjak dari duduknya, ia melihat-lihat sekitar ruangan tersebut, perlahan ia mulai berjalan ke meja kerja milik Rian, lalu tanpa ada keraguan sedikit pun ia mulai membuka laci-laci kecil yang berada dimeja tersebut. Laci-laci tersebut berisikan file-file kasus yang pernah atau sedang Rian jalanani, termasuk kasus The Blue Bird Murder ini, disitu Vivian menumukan juba beberapa foto-foto yang menunjukan mayat dari korban kasus The Blue Bird ini.
Setelah merasa cukup melihat file serta foto yang berada dilaci kerja milik Rian, Vivian sedikit memiliki perasaan iseng untu melihat kumpulan buku-buku yang cukup begitu banyak yang telah tertata rapih didalam sebuah lemari buku besar. "Mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang menarik minat Rian." Pikirnya sesaat sebelum ia berjalan menuju lemari besar tersebut.
Vivian lalu membuka lemari tersebut, dan ia kemudian membaca judul-judul yang sudah terpampang cukup jelas meski tanpa ia sentuh sekali pun. Disitu ia banyak menemukan buku-buku tentang Psychologic dan juga sejarah, dan dari situ Vivian sempat berkesimpulan bahwa Rian memiliki ketertarikan pada bidang tersebut.
Disaat Vivian sedang membaca judul demi judul buku-buku tersebut, Rian pun kemudian datang dan memasuki ruangan tersebut kemabli. "Kalo kamu mau, kamu boleh meminjamnya kok." Sapa Rian yang mana sapaanya tersebut cukup membuat Vivian terkejut.
Vivian yang terkejut memalingkan wajahnya, dan dengan ekspresi yang masih terlihat sedikit terkejut, ia tersenyum tipis. "Ah Rian, kau mengagetkanku."
Lalu terlihat Rian yang sedang membawa sebuah nampan yang mana diatasnya terdapat dua buah gelas yang berisikan teh hangat berkualitas beserta satu buah toples berisikan nastar yang juga terlihat sangat berkualitas.
"Nih cemilannya sudah sampai." Seru Rian seraya menaruh nampan tersebut diatas meja yang berada tepat didepan sofa biru meda yang empuk itu.
Rian dan Vivian kemudian duduk bersebelahan disofa tersebut.
"Silahkan dinikmati teh dan juga cemilannya Vi, anggap saja rumah sendiri." Cetusnya seraya tertawa cengegesan.
Vivian hanya tersenyum seraya mengambil teh tersebut dan meneguknya sekali. "Terimakasih Ri."
Meskipun dengan ditemani teh dan cemilan yang telah Rian bawa, ketegangan antara mereka berdua yang telah dibuat oleh Rian ketika mengatakan bahwa ia mencurigai Vivian pun masih sangat terasa, seakan-akan mereka bukan sedang berada disebuah ruangan, melainkan dimedan perang.
Rian lalu memulai insiatif sendir dengan memberikan obrolan ringan untuk memecahkan suasan, obrolan yang Rian bawa hanyala seputar kehidupan sehari-hari Vivian, layaknya bagaimana kabarnya, karirnya, perasaanya terhadap kerjaannya, sampai masalah asmaranya, itulah yang Rian coba bicarakan kepada Vivian untuk memcahkan suasana ketengangan diantara mereka berdua. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan yang Rian ajukan juga bertujuan untuk membuat dirinya lebih mengenal Vivian, agar lebih mudah bagi dirinya menentukan apa langkah yang selanjutnya akan dia lakukan.
Vivian pun awalanya merasa canggung dengan hal itu, namun lambat laun, pribadi Rian yang sangat ramah dan mudah bergaul, membuat Vivian berbicara mengalir begitu saja, meski pun pada awalnya Vivian sempat mencurigai Rian yang tiba-tiba saja membicarakan tentang kehidupan prbadinya yang tak ada sangkut pautnya dengan tujuan ia datang kemari. Namun karna Vivian pikir Rian itu adalah seorang yang cerdas, dan juga disini Vivian merasa kalau posisinya sedang dicurigai oleh Rian, maka dari itu Vivian pun memutuskan untuk mengikuti alur permainan yang telah dibuat Rian ini, untuk setidaknya mendapatkan sedikit kepercayaanya dan juga agar membuatnya sedikit lebih akrab dengan Rian.