Rizal menggaruk kepalanya. Dalam ekspresi wajah yang jelas menunjukkan ketidakpercayaan, ia menatap Aini dengan sorot curiga.
"Ya ampun. Kamu nggak perrcaya sama aku, Zal?" tanya Aini dengan bola mata yang berputar dramatis. "Sumpah. Vika nggak masuk kerja malam ini. Dan aku juga nggak tau dia ke mana walau emang tadi pagi dia sempat ke kontrakan aku."
Tentu saja Rizal tidak percaya dengan perkataan Aini. Maka dari itu alih-alih segera pergi dari klub, ia justru bersedekap. Tanpa mengatakan apa-apa, ia menatap Aini dengan mata menyipit.
"Bodoh deh! Kalau kamu nggak percaya ya udah. Kamu bisa aja nunggu atau nyari dia sampe ke belakang. Sekarang aku mau beres-beres dulu."
Kala itu klub memang baru buka dan seperti biasanya Aini dengan teman-temannya mulai bersiap. Menurunkan kursi dari meja dan menatanya. Tapi, kehadiran Rizal mau tak mau membuat Aini terpaksa menepi sejenak.
"Kamu serius? Kak Vika nggak masuk kerja?"
Langkah kaki Aini yang semula akan beranjak dari sana terhenti seketika. Ia mencebik sekilas. Menyadari bagaimana ada perbedaan kesopanan Rizal ketika memanggil dirinya dan Vika.
"Aku serius. Vika nggak masuk kerja. Kalau aku dengar dari Mami sih katanya Vika izin sakit gitu. Cuma ya aku nggak tau. Kalau dia sakit, sekarang dia ada di mana coba?"
Rizal mengerjapkan mata. Tampak wajahnya menampilkan mimik seolah tengah berpikir.
"Ehm ... dia nggak ada ngomong mau ke mana gitu pas cabut dari kontrakan kamu?"
Embusan napas panjang Aini mengawali jawaban untuk pertanyaan itu. Yang diikuti oleh gelengan kepalanya.
"Aku nggak tau. Dia cuma ngomong kalau dia mau tinggal di rumah temen dia yang kebetulan lebih dekat ke klub timbang dari kontrakan aku."
Kembali menjawab pertanyaan Rizal untuk yang kesekian kalinya, Aini lantas mengerutkan dahi. Selanjutnya justru ia yang bertanya.
"Kamu nggak tau temennya yang kebetulan punya rumah deket sini?"
"Malah balik nanya ke aku," ujar Rizal seraya membuang napas sekilas. "Aku mana tau siapa aja teman Kak Vika. Yang aku tau temennya itu ya cuma kamu."
Aini tertegun. Seperti baru menyadari itu.
"Loh? Bener juga yang kamu bilang. Temen Vika itu kan cuma aku. Memangnya ada orang normal lainnya yang mau temenan sama dia? Kan nggak ada."
Astaga! Rizal memejamkan mata dan menahan keinginan untuk menepuk dahinya sendiri lantaran perkataan Aini.
"Terus kalau gitu ..."
Aini bergumam rendah hingga Rizal nyaris tak mampu mendengar suaranya. Seolah saat itu Aini bicara pada dirinya sendiri.
"... Vika ke mana ya?"
*
Vika tentu sedang menikmati malam yang santai di kamar isolasinya. Dengan sepaket makan malam bergizi yang membuat ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Gila! Kapan sih terakhir kali aku makan kayak gini? Empat sehat lima sempurna enam tak ingat si dia?"
Vika tertawa. Tangannya mencomot sepotong buah kiwi dengan bantuan garpu kecil yang ada di sana. Menikmati rasa manis dan segar itu dengan mata yang merem melek.
Ada satu televisi di sana. Dengan saluran lengkap dalam dan luar negeri. Berbekalkan remot di tangannya, Vika duduk di kursi dengan goyang-goyang kaki. Ia menyandarkan punggung dan melihat sekilas pada satu titik kecil yang berada di atas pergelangan tangannya. Satu bukti yang tertinggal setelah ia melewati seleksi yang pertama.
Tadi sekitar lima belas menit yang lalu seorang karyawan datang ke kamar Vika. Mendorong troli berisi makan malam dan seperangkat alat kesehatan. Sampel darah, urine, keringat, dan air mata Vika pun diambil sebelum ia kembali ditinggal seorang diri di kamar itu.
"Hahahahaha. Nggak nyesal banget aku akhirnya ngubungin Pak Bobon. Astaga! Mimpi apa coba aku semalam? Bisa-bisanya sekarang aku kayak gini?"
Vika mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Melihat kamar bak hotel bintang lima itu untuk kemudian tatapannya berhenti di camilan yang belum ia sentuh semuanya. Ia kembali tertawa.
"Baru isolasi aja udah kayak gini, gimana kalau aku beneran lulus?"
Mulut Vika sontak menganga tatkala khayalan itu membayang di benaknya. Ia buru-buru menutup mulutnya dengan bantuan sepotong semangka. Lalu mengigit dan menikmati sensasi segarnya.
"Wah! Aku beneran nggak kebayang. Pasti hidup aku makin terjamin."
Vika mengabaikan televisi yang masih menyala. Menaruh kembali sisa semangka di piring dan ia merebahkan tubuh di kasur empuk itu. Tepat ketika ada getar halus yang berasal dari ponselnya.
Berbaring dengan satu bantal di bawah kepala, Vika mengangkat ponsel itu tepat di atas wajahnya. Ia terkekeh ketika mendapati bagaimana banyaknya pemberitahuan pesan dan panggilan tak terjawab yang terpampang di sana. Tentu saja. Berasal dari keluarganya. Dari Harjo, Lestari, dan Rizal, semuanya menghubungi cewek itu.
"Hahahahaha. Pada nyariin aku ya? Ck. Basi ah. Pasti nyariin aku juga cuma gara-gara tagihan."
Namun, ada satu pesan yang membuat Vika menarik napas dalam-dalam. Berasal dari Aini. Yang tanpa basa-basi langsung menanyakan keberadaannya berikut dengan pemberitahuan bahwa Rizal baru saja mendatanginya.
Berat rasanya, tapi Vika memilih untuk tidak membalas pesan itu. Ia tidak ingin terlepas jujur pada Aini mengenai apa yang sedang ia lakukan. Terlebih lagi ia tidak ingin bila nantinya Aini justru menggoyahkan keputusannya.
Vika menyingkirkan ponselnya. Memasukkannya ke dalam nakas yang ada di sana dan memutuskan untuk tidak mengisi dayanya selama tujuh hari ke depan. Sampai keputusan lulus atau tidak dirinya keluar.
'Pokoknya aku harus lulus. Dan semoga aku yang beruntung untuk dapat itu vampir ningrat.'
Tekad itu mengiringi tidur Vika. Yang benar-benar nyenyak dan tenteram hingga membuat ia yakin bahwa itu adalah tidur terlelap yang pernah ia rasakan seumur hidup. Istirahat yang sempurna untuk Vika menyambut hari-hari selanjutnya.
Selang dua hari kemudian hasil seleksi kesehatan keluar. Vika tidak terkejut mendapati dirinya lulus seleksi itu.
"Ya iyalah aku lulus. Raga aku kan sehat. Cuma jiwa aja yang agak terganggu dikit."
Vika terkekeh melihat lembar hasil seleksi kesehatannya. Tapi, ia tau bahwa ia tidak bisa berlama-lama untuk menikmati kesenangannya yang satu itu. Masih ada dua seleksi lagi yang harus ia lalui.
Seleksi kebersihan menyambut Vika di hari selanjutnya. Ia diharuskan masuk ke bilik pemindai hanya dengan mengenakan sehelai jubah tanpa pakaian dalam. Membiarkan alat itu dengan cahayanya memeriksa tubuh Vika dari atas hingga bawa tanpa terkecuali.
'Kayaknya sih aku bakal lulus. Dari keringat aku yang beraroma bunga melati aja udah ketahuan kok kalau aku cewek pembersih. Tanpa kuman tanpa jamur.'
Keyakinan Vika terbayarkan. Bobon memberikan hasil seleksi kebersihan itu dengan semringah.
"Wah! Udah sehat, bersih lagi. Dek Vika ini memang idaman para vampir."
Vika meringis. Membesarkan hati. Bahwa tidak apa-apa hari ini ia jadi idaman para vampir, yang penting suatu saat nanti bisa jadi idaman para suami.
'Eh?Para suami?'
Vika enyahkan pikiran aneh itu dari benaknya. Boro-boro para suami, satu suami saja untung kalau dapat.
"Oke, Dek Vika," ujar Bobon kemudian seraya menggosok tangannya satu sama lain. "Sekarang Dek Vika tinggal jalani seleksi terakhir, yaitu seleksi keberuntungan. Itu bakal dilakukan di hari keenam. Tepatnya lusa."
Vika angguk-angguk kepala. Menyimak dengan saksama.
"Nanti Dek Vika bakal dapat modul buat belajar."
"Modul, Pak? Ehm ... buat belajar apa?"
"Itu modul berisi informasi para vampir yang masuk dalam data calon majikan minggu ini," jawab Bobon. "Biar dikit banyak Dek Vika bisa ngira-ngira mau diarahkan ke yang mana duluan."
"Aaah. Itu artinya saya bisa nentukan calon majikan saya ya, Pak?"
Bobon mengangguk. "Tentu saja. Nanti diprioritaskan buat dipertemukan. Tapi, kalau calon majikan nggak suka, ya ... Dek Vika harus legowo diopor ke vampir lain."
Oke. Vika paham tata caranya. Dan ini membuat ia mengerti mengapa seleksi ketiga ini dinamakan seleksi keberuntungan.
"Kalau begitu," kata Vika dengan penuh semangat. "Saya mau milih vampir ningrat kemaren, Pak."
Jujur saja Bobon sedikit kaget dengan perkataan Vika. Bahkan ketika modul itu belum sampai di tangannya, Vika sudah menjatuhkan pilihannya tanpa mencari tau terlebih dahulu seluk beluk vampir yang ia pilih.
"Ehm ...."
Mata Bobon menyipit. Sorot matanya tampak menyelidik. Berusaha menangkap bila ada sedikit saja kesan main-main dari cewek itu. Tapi, tak ada. Vika sungguh serius.
Bobon menarik napas dalam-dalam. Manggut-manggut, ia lantas mengerjap sekali. Bertanya dengan penuh irama dan perlahan.
"Dek Vika serius mau jadi makanan simpanan vampir ningrat?"
Yakin, Vika mengangguk. Tidak perlu berpikir dua kali, ia mengiyakan pertanyaan itu.
Kepala Bobon meneleng ke satu sisi. Jelas ia bisa melihat betapa keyakinan Vika tidak goyah. Tapi, ia tetap ragu. Maka ia putuskan untuk bertanya lagi.
"Dek Vika beneran serius? Dek Vika beneran mau jadi makanan simpanan ..." Bobon makin menatap Vika tanpa kedip. "... Arjuna Togari?"
Vika mengerjap sekali. Nama asing itu seketika langsung menggema di benaknya.
'Arjuna Togari?'
Tidak ingin terlihat lebay, tapi Vika mendadak menahan napas di dada. Ia tidak menjawab pertanyaan Bobon dan justru tertegun. Lantaran ada satu pertanyaan yang mendadak muncul dan berputar-putar di kepalanya. Riuh sekali.
'Arjuna? Nama dia Arjuna? Astaga! Itu ntar aku bakal digigit atau dipanah asmara ya?'
*
bersambung ....