webnovel

Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi?

Vika mengucek matanya berulang kali. Demi meyakinkan bahwa apa yang ia lihat kala itu memang adalah kenyataan. Alih-alih halusinasi yang menginginkan tempat tinggal.

"Ayo masuk, Dek Vika."

Bobon menahan pintu dengan satu tangan sementara tangan lainnya yang bebas mempersilakan Vika untuk masuk ke kamar itu. Yang tampak besar dan rapi. Persis seperti kamar hotel.

"S-saya tinggal di sini, Pak?" tanya Vika tak percaya seraya melangkah masuk. "Selama seleksi sampai ada keputusannya ... saya tinggal di sini?"

Bobon membiarkan pintu untuk tetap membuka. Senyum lebar tersungging di wajahnya. Tampak senang dengan reaksi Vika tatkala melihat kamar itu.

"Oh, tentu saja. Kan motto ADAD itu kenyamanan dan keamanan adalah yang utama."

Langkah kaki Vika berhenti. Tetap dengan memeluk tas ranselnya, ia menoleh pada Bobon.

"Jadi motto itu beneran ya, Pak. Bukan sekadar pemanis perangkap aja?"

Decakan sekilas Bobon terdengar. Ia tampak mencebik. "CV ADAD itu bukan CV abal-abal, Dek Vika. Sudah dari zaman penjajahan Belanda dulu. Jadi udah pasti dong berkualitas. Ih! Meragukan aja."

"Ehm."

Mendehem, Vika menggaruk sekilas ujung pelipisnya. Tampak mesem-mesem ketika melihat wajah Bobon yang terlihat manyun. Mungkin sedikit tersinggung dengan perkataannya.

"Ya mau gimana lagi, Pak. Seumur-umur baru kali ini saya nemu lowongan pekerjaan yang pendaftarnya dapat fasilitas gini. Disediakan kamar, makan, dan yang lainnya? Ehm ... wajar kan saya jadi bingung?"

"Nggak wajar. Soalnya ini kan kamu daftarnya kerja buat jadi makanan hidup vampir. Jadi mau nggak mau kamu harus terjaga. Anggap aja ini semacam isolasi atau karantina. Biar selama masa seleksi kamu benar-benar terhindar dari pengaruh luar. Kan kalau kamu lolos dan dapat majikan, saya juga yang untung."

"Aaah!"

Vika melirih seraya manggut-manggut. Akhirnya ia paham mengapa ia sampai mendapatkan fasilitas itu.

"Jadi selama seminggu ini Dek Vika tinggal di kamar ini. Kalau mau sekadar nyari udara segar bisa main ke atap. Di sana ada semacam kafe yang bisa dipake buat nyantai. Tapi, yang pasti Dek Vika jangan sampe keluar gedung. Buat jaga-jaga. Biar Dek Vika nggak terkontaminasi selama masa seleksi."

"Ah, baik-baik, Pak."

"Oh iya. Nanti sekitar jam tujuh malam ada petugas yang ngantar makan malam. Sekalian dia mau ngambil sampel darah, urin, keringat, dan air mata. Jadi Dek Vika jangan kaget ntar ya. Itu untuk persyaratan seleksi pertama."

Kalau untuk sampe darah dan urin sih masuk akal menurut Vika. Ehm ... keringat mungkin juga masuk akal. Tapi, untuk air mata?

Vika mengerjap bingung. "Apa hubungannya seleksi kesehatan dengan sampel air mata, Pak?"

Tak langsung menjawab pertanyaan Vika, Bobon malah tampak mengerutkan dahi. Kedua tangannya bersedekap dan matanya menyipit. Melihat pada Vika dengan sorot menyelidik.

"Lama-lama saya perhatiin, Dek Vika ini banyak nanya juga ya? Ehm ... Dek Vika ini bukan mata-mata CV sebelah kan?"

Buru-buru Vika menggeleng. "Nggak kok, Pak. Saya bukan mata-mata siapa pun. Saya murni di sini buat nyari kerja."

"Terus kenapa dari tadi banyak nanya?" tanya Bobon lagi. "Dek Vika kayak lagi ngorek-ngorek informasi perusahaan saya."

"Nggak, Pak, nggak. Sumpah. Tapi, saya itu kan cuma penasaran. Kaitan air mata dengan seleksi kesehatan itu apa. Cuma itu sih."

Mata Bobon kian menyipit. Makin menatap Vika dengan penuh selidik. Lalu ia berkata.

"Kaitannya adalah kami harus memastikan apa para pelamar itu tergolong orang yang suka nangis atau nggak. Kan gawat kalau ternyata suka nangis. Ya kali ntar tiap digigit bakal nangis. Ntar itu rasa darah bukannya manis, tapi justru asin."

Vika mengerjapkan mata. Kepalanya sedikit meneleng ke satu sisi dalam dorongan alamiah berpikir.

'Terus hubungannya dengan kesehatan apa?'

Sepertinya tidak ada hubungannya. Dan Vika memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Karena sekarang sepertinya Vika tidak sependapat dengan pepatah malu bertanya sesat di jalan. Berkat Bobon, untuk pertama kalinya pepatah itu berubah.

'Bertanya pada Pak Bobon semakin sesat di jalan.'

Sepertinya itu adalah pepatah yang tepat.

"Ada yang mau ditanyakan lagi, Dek Vika?"

Pertanyaan Bobon membuat Vika tersentak sekilas. Lalu tersadar akan sesuatu yang amat penting. Yang nyaris ia lupakan dengan ketentuan bahwa ia tidak boleh keluar dari area gedung selama seminggu.

"Pak, apa itu artinya saya nggak bisa pergi kerja malam ntar?"

Sontak Bobon melihat Vika seperti cewek itu adalah badut yang salah masuk rumah. Bukannya masuk ke rumah yang sedang menyelenggarakan pesta ulang tahun anak kecil, eh ... malah masuk ke rumah yang sedang bersiap menyelenggarakan pemakaman.

"Dek Vika, buat apa kerja di klub kalau bentar lagi Dek Vika bakal kerja sama vampir?"

"Tapi, saya kan belum tentu diterima."

Memang.

"Kalau gitu, Dek Vika izin saja. Bilang lagi sakit atau apa gitu. Karena mau gimanapun juga, Dek Vika harus taat pada tahapan seleksi ini. Demi gaji besar loh."

Saran dari Bobon memang masuk akal. Lebih baik Vika mengajukan izin dadakan saja. Toh selama ini ia terkenal sebagai karyawan yang rajin. Bahkan saking rajinnya, klub libur pun kadang ia tetap datang.

Hanya saja, terlepas dari soal izin dadakan itu, tampaknya ada sesuatu yang menyentil rasa penasaran Vika.

"Ehm ... sepertinya ada satu lagi yang lupa saya tanyakan, Pak."

Bobon pikir pertanyaan tadi adalah pertanyaan terakhir yang akan Vika berikan padanya. Tapi, ia kecele. Hingga Bobon tak sanggup menahan rasa penasarannya.

'Ini cewek punya berapa stok pertanyaan sih? Heran. Perasaan dari tadi nggak selesai-selesai nanyanya.'

Namun, Bobon menjaga wibawanya. Ia mendehem.

"Nanya apa lagi, Dek Vika?"

Ini pertanyaan amat penting yang Vika herankan mengapa nyaris ia lupakan. Pertanyaan paling penting dari semua jenis pertanyaan bila itu menyangkut pekerjaan baru.

"Ngomong-ngomong," ujar Vika seraya tersenyum. "Gajinya berapa ya, Pak?"

"Oh."

Spontan, Bobon turut tersenyum. Ia mendekati Vika. Lalu menjawab dengan suara rendah. Mau tak mau membuat Vika mendekatkan telinganya.

"Gaji bersih sebulan tanpa bonus kepuasan, kamu bisa dapat dua puluh lima juta rupiah."

Vika buru-buru menutup mulutnya. Mata melotot. Sungguh syok.

'Pantas aja makin lama darah di PMI sering kosong. Ternyata ini toh penyebabnya.'

Bobon menepuk pundak Vika. "Itu belum termasuk bonus kepuasan dan fasilitas hidup yang bakal kamu dapat dari majikan vampir. Dan ah!"

Wajah Bobon tampak bercahaya ketika ia teringat akan sesuatu.

"Saya baru ingat."

"Ingat apa, Pak?"

"Seingat saya, minggu kemarin ada klien baru yang masuk ke data ADAD. Klien prioritas."

Dahi Vika mengerut. Dalam hati ia bertanya.

'Itu bukan klien yang suka kredit pembayaran gaji kan ya?'

Vika buru-buru mengusir pemikiran menakutkan itu dari benaknya. Karena tidak ada yang lebih mengkhawatirkan ketimbang dapat majikan yang punya hobi mencicil gaji karyawannya.

"Dia ini termasuk ke dalam golongan vampir ningrat. Jadi otomatis saja duit yang kamu dapatkan bisa lebih dari itu kalau kamu bisa kerja sama dia."

"Wah!"

Bahkan tanpa ada embel-embel nignrat saja total gaji yang bisa ia dapatkan membuat Vika nyaris sesak napas. Apalagi ini?

Maka bukan hal yang aneh bila pada akhirnya Vika berdoa tak henti-henti di dalam hati. Berharap agar ia benar-benar bisa bekerja di sana.

'Tenang. Darah masih bisa diproduksi. Tapi, kesempatan digigit vampir ningrat dan dapat duit banyak, kapan lagi? Nggak bakal datang dua kali!'

*

bersambung ....