webnovel

Bab 3-Gadis Penebar Maut

Maut datang menjemput dengan kereta kuda

menuju tempat perhentian pendulum waktu

di dinding kusam yang ditegaskan

oleh jajaran taman kamboja dan batu nisan

Ratri Geni menoleh. Dia sengaja berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Gadis itu ingin tahu apakah Sima Braja mengejarnya atau tidak. Saat meninggalkan tempat pertempuran tadi, Ratri Geni berjalan menuju arah barat dan harimau hitam itu mengikutinya dari belakang. Gadis pemberani itu mencoba berjalan cepat, harimau itu juga ternyata mempercepat langkah. Tetap berada di belakangnya.

Karena penasaran, Ratri Geni melesat seperti kijang menembus lembah Alas Roban. Dan, Sima Braja ternyata masih tetap tak jauh di belakangnya. Gadis ini terpompa semangatnya. Kali ini semua ilmu meringankan tubuh yang diajarkan oleh Ayahnya dipergunakan sepenuhnya. Naik turun bukit yang banyak berada di belantara Alas Roban.

Saat Ratri Geni melirik ke arah belakang, dia tidak lagi melihat bayangan Sima Braja. Gadis ini menghela nafas. Antara lega dan kecewa. Lega karena dia berhasil mengatasi kecepatan si harimau namun kecewa terpisah dengan harimau perkasa itu.

Ratri Geni melompat jauh ke belakang dan jungkir balik beberapa kali untuk menghindar dari sebuah serangan mendadak dengan kekuatan yang tidak main-main. Kesiur angin serangan itu membuat rambutnya berkibar seperti ditiup badai. Namun belum juga gadis itu bisa menarik nafas, serangan berikutnya datang dengan lebih dahsyat dan bertubi-tubi.

Ratri Geni tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang menyerangnya. Tapi ini jelas serangan mematikan. Dia tidak boleh main-main. Kedua lengan gadis kecil itu seperti menyala dan berubah warna menjadi keperakan. Pukulan Bayangan Matahari yang dahsyat siap dihantamkan kepada siapapun orang yang berniat membunuhnya ini.

Namun mendadak serangan itu mengendur karena si penyerang melompat mundur jauh ke belakang. Terheran-heran melihat gadis semuda ini memiliki kemampuan setinggi ini. Siapa yang tidak mengenal Pukulan Bayangan Matahari? Pukulan yang terkenal pernah mengobrak-abrik pasukan Majapahit dan Lawa Agung. Pukulan yang ditakuti oleh orang-orang dari golongan hitam. Orang itu mulai menduga-duga gadis ini siapa.

Geni Ratri memperhatikan dengan alis berkerut. Orang yang menyerangnya membabi buta tadi adalah seorang pemuda beraut muka tampan namun nampak selalu murung.

"Kenapa kau menggila tadi anak muda? Apa salahku?" Ratri Geni berusaha berkata sabar. Gadis ini ingat pesan ayahnya. Jangan mudah menjatuhkan tangan maut.

Pemuda pemurung itu terperanjat. Anak muda? Sialan! Memangnya gadis ini bukan anak muda? Dan dia dengan seenaknya memanggil dirinya anak muda. Gadis sombong!

"Namaku Ario Langit. Aku menyerangmu karena aku kira kau gadis sama yang telah membantai seisi kampung di pinggiran Bengawan Solo. Aku sedang mencarinya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya?"

Ratri Geni mencibirkan mulutnya yang manis.

"Darimana kau tahu itu aku atau bukan aku? Sedangkan kau saja tidak mengenali dan baru mencarinya sekarang?"

Ario Langit menghela nafas panjang. Gadis ini benar. Dialah yang keterlaluan.

"Maafkan aku gadis muda. Aku sempat mengejar gadis perusuh yang kejam itu. Dari belakang dia nampak sekali sepertimu. Maafkan aku." Pemuda itu berkata sungguh-sungguh.

Ratri Geni terdiam. Membantai seisi desa? Gila!

"Kenapa dia melakukan kekejaman seperti itu? Tidak mungkin perbuatannya tidak beralasan. Apakah kau tahu?"

Ario Langit menggeleng.

"Aku hanya kebetulan lewat waktu aku dengar ramai-ramai orang bertarung. Tepatnya pembantaian. Karena tak seorangpun penduduk desa itu yang pandai berkelahi." Ario Langit menundukkan muka. Nampak sekali sangat menyesali kenapa dia tidak bisa mencegah kejadian miris itu.

"Aku langsung datang dan hanya menyaksikan orang terakhir yang ditebas pedang mengerikan itu!" Ario Langit mengepalkan tangannya.

"Jadi begitu melihatmu datang, gadis itu langsung melarikan diri? Kenapa dia tidak menyerangmu seperti yang lain?" Ratri Geni menatap aneh.

"Kami sempat bertarung sebentar. Entah kenapa dia langsung melarikan diri saat aku mengeluarkan pedangku." Ario Langit menarik pedang tipis yang berkilauan saking tajamnya. Pedang yang bagus. Di gagangnya terlihat ukiran naga.

"Dan kau tidak sempat melihat mukanya?" Ratri Geni menatap semakin aneh. Tidak mengerti. Namun kemudian mengangguk paham saat Ario Langit menyebutkan jawabannya.

"Aku tidak melihat mukanya. Gadis itu mengenakan penutup muka yang hanya memperlihatkan sepasang mata marah dan kejam."

"Baiklah Ario Langit. Aku memaafkanmu. Tapi seranganmu juga ganas dan ilmu pukulanmu kejam."

Ario Langit menundukkan kepalanya sehingga Ratri Geni tidak melihat perubahan raut mukanya yang semakin murung.

"Terimakasih telah memaafkanku gadis muda. Aku pergi dulu, aku harus mencari gadis pembunuh itu sampai ketemu!" Tubuh Ario Langit berkelebat lenyap dari hadapan Ratri Geni.

"Heeeiii! Namaku…." Ratri Geni tidak melanjutkan mengenalkan namanya. Pemuda itu pasti sudah jauh dari sini melihat dari kehebatan ilmu meringankan tubuhnya.

Suara gemeresekan membuat Ratri Geni melompat tinggi dan menjauh. Bersiaga. Siapa tahu pemuda aneh itu kembali atau ada lagi orang gila lain yang mencoba menyerangnya dari belakang.

Sima Braja muncul dari balik semak sambil menggeram-geram lirih mendekati Ratri Geni yang menghela nafas lega.

"Ah! Kau rupanya Halilintar." Ratri Geni mengelus leher harimau raksasa itu lembut.

Sima Braja terlihat gembira, namun harimau itu mendadak bangkit lalu menggeram berulang kali sambil menuju ke suatu arah. Kembali lagi ke Ratri Geni kemudian balik lagi ke arah yang sama. Ratri Geni adalah gadis cerdas yang langsung tahu bahwa harimau itu hendak menunjukkan sesuatu. Gadis itu berjalan mengikuti Sima Braja ke arah yang ditujunya. Harimau itu mengaum rendah setelah dilihatnya Ratri Geni mengikutinya. Gadis itu paham apa yang dimaksudkannya.

Gantian Sima Braja yang sekarang berlari kencang dan Ratri Geni mengejar dari belakang. Dua sosok bayangan yang aneh. Satu besar dan hitam berlari kencang menembus semak dan belukar. Satu lagi sosok ramping yang melesat berlari dan terkadang berlompatan untuk menghindari belukar yang membelasah ditabrak membabi buta oleh Sima Braja.

Setelah beberapa lama berlari, sampailah mereka di tengah-tengah sebuah kekacauan luar biasa. Dua kereta yang jungkir balik dengan isi porak-poranda di pinggiran hutan belantara.

Ratri Geni merasa jantungnya perih melihat pemandangan mengerikan di depannya. Mayat-mayat bergeletakan di sana sini. Semuanya laki-laki bertubuh kekar dengan ikat kepala berwarna putih. Gadis ini merinding menyaksikan semua mayat itu tewas mengenaskan dengan dada berlubang hangus.

Sima Braja mengendus-endus udara. Lalu berlari di antara tumpukan mayat yang tumpang tindih. Mendatangi Ratri Geni yang masih terpaku diam. Harimau itu menyeret sesosok tubuh yang nampak sudah tak bernyawa. Namun telinga Ratri Geni yang terlatih tahu bahwa sosok ini masih bernafas.

Ratri Geni berjongkok memeriksa. Nadi orang ini sangat lemah. Dadanya juga hangus seperti yang lain. Mungkin ini orang terkuat di antara mereka sehingga masih bisa bertahan hidup.

"Ga…gadis Penebar Maut sedang membalaskan dendam lama orang tuanya. Hati-hati nak." Tubuh itu langsung terkulai. Tewas menyusul teman-temannya yang lain.

Ratri Geni menatap mata Sima Braja yang juga sedang memandanginya.

"Gadis Penebar Maut? Siapa dia Halilintar?"

Harimau itu hanya menggeram lirih.

***