webnovel

Bab 2-Sima Braja

Cuaca yang baik-baik saja

bisa hadir lebih awal dari pagi yang murka

atau sandyakala yang kehilangan jiwanya

bagi seorang yang berani menggoda musim

di saat hujan dan terik mengasah pedangnya

dengan tajam yang lebih dari sempurna

Dugaan Ratri Geni tidak salah. Dalam sekali lompatan, harimau hitam legam itu telah berdiri di tengah-tengah pertempuran. Semua orang melompat mundur. Harimau itu memperlihatkan gerakan mengancam. Tentu saja gerak tubuh harimau itu membuat gentar semua orang. Pertempuran berhenti seketika. Semua mata memperhatikan gerak-gerik si harimau. Waspada. Ini akan menjadi kejadian yang sangat tak terduga.

Dan benar. Ratri Geni melihat dengan jelas harimau hitam itu merendahkan tubuh lalu memukulkan kedua kaki depannya bergantian ke tanah. Berhamburanlah pasir dan gumpalan tanah ke segala arah. Orang-orang bersicepat menghindar. Bukan hanya karena kecepatan dan kekuatan pasir dan tanah, namun juga karena merasakan tanah di sekitar tempat itu berguncang keras. Pukulan harimau itu menimbulkan gempa bumi!

Ratri Geni juga merasakan hal yang sama. Tanah dan batu tempatnya bersembunyi ikut berguncang dahsyat. Gadis ini terpaksa melompat jauh ke samping sehingga mau tidak mau menampakkan diri. Terlambat sedikit saja, tubuhnya bisa gepeng diterjang batu besar yang sekarang menggelinding ke dasar jurang di belakang.

Suasana menjadi tegang. Harimau itu mengedarkan tatapan ke arah orang-orang yang bersiaga di sekitarnya. Tubuhnya masih merendah nyaris rata dengan tanah. Rupanya binatang perkasa itu juga bersiaga. Anehnya begitu tatapannya bertemu dengan pandang mata Ratri Geni, harimau itu mengeluarkan geraman lirih seolah sedang menunggu perintah. Gadis itu tidak menyadari hal tersebut, dia malah maju dan mengangkat tangannya.

"Paman dan kisanak sekalian. Saya harap pertempuran dihentikan. Harimau penjaga Alas Roban tidak suka ketenangan hutan ini digaduhi oleh persengketaan dan pertarungan…"

Ratri Geni berhenti sejenak. Ucapannya yang mengalir lancar tersendat mendadak. Dia sedang mengarang cerita agar pertempuran itu tidak lagi berlanjut. Dia tidak ingin terlibat dan memihak sesuai pesan Ibunya. Meski jelas bahwa dia tadi sudah menetapkan pilihan jika sampai pertempuran itu dilanjutkan.

Penjelasan yang terpotong dari Ratri Geni sepertinya diamini oleh harimau hitam legam itu. Suaranya menggeram-geram kasar seolah sepakat bahwa dia sangat terusik dengan pertempuran itu. Ratri Geni tertegun sesaat. Harimau itu seperti tahu apa arah pembicaraanku.

"Kami juga tidak ingin cecongkrahan Nduk. Namaku Ki Nenggolo. Aku murid tertua Kyai Mustofa dari Tuban. Kami hanya mohon ijin agar bisa membangun pondok pesantren kecil di pinggiran Alas Roban. Menyebarkan ilmu agama sekaligus cara-cara bertani kepada penduduk di sekitar sini."

Pemimpin prajurit Jipang Panolan buka suara. Terdengar pelan karena hatinya sangat jerih melihat harimau hitam itu.

"Kami tidak pernah mengijinkan siapapun untuk membangun bangunan di sepanjang wilayah Jipang Panolan sesuai perintah Paduka Arya Penangsang. Tentu saja kami mencegah mereka melakukannya."

Ratri Geni mengangguk mengerti. Dia sudah mendengar lengkap dari Ayahnya bahwa geliat kekuasaan sekarang berkisar di Pajang dan Jipang Panolan. Selain Demak Bintoro yang lebih besar namun sudah sangat menurun pengaruhnya. Batas antar wilayah seringkali menjadi sengketa. Karena saat Majapahit masih berkuasa, wilayah-wilayah tersebut semuanya tunduk terhadap perintah dan aturan Trowulan. Namun semenjak keruntuhannya, wilayah-wilayah tersebut saling berebut daerah kekuasaan dan juga pengaruh.

"Maafkan aku yang lancang Paman Nenggolo. Namun bukankah masih banyak daerah di bawah kekuasaan Pajang yang bisa menjadi tempat kalian mendirikan pondok tersebut?"

Ki Nenggolo tersenyum. Kagum terhadap gadis muda yang nampak pintar dan berani itu.

"Nduk, Cah Ayu..pinggiran Alas Roban ini tidak di bawah kekuasaan siapa-siapa. Tidak Pajang dan bukan juga Jipang. Bahkan Demak pun tidak sampai ke sini wilayah kekuasaannya. Oleh karena itu secara resmi daerah ini tidak di bawah kekuasaan siapapun. Karena itu semua orang berhak untuk masuk. Paling penting adalah tidak berbuat onar. Karena itu akan membangunkan para sesepuh yang mbaurekso di hutan ini."

Pemimpin prajurit Jipang itu melotot mendengar penjelasan Ki Nenggolo kepada Ratri Geni. Namun mengurungkan niatnya untuk membantah karena lagi-lagi harimau hitam yang sekarang berdiri di samping Ratri Geni menggeram marah kepadanya.

Ratri Geni mengelus leher harimau hitam yang nyaris lebih tinggi dari dirinya dan sekarang berdiri di sampingnya. Entah mengapa dia tidak takut sekarang. Gadis itu seolah tahu persis bahwa harimau itu tidak berniat mencelakai siapa-siapa.

Harimau hitam itu menggeram lirih sambil menggesekkan lehernya dengan lembut ke tubuh Ratri Geni.

Semua yang menyaksikan tertegun. Gadis ini sangat mengagumkan. Mempunyai piaraan harimau raksasa yang nampak begitu tunduk kepadanya. Padahal Ratri Geni juga baru mengenal harimau aneh itu.

"Kami akan pergi melapor kepada Kanjeng Adipati Arya Penangsang. Namun kami ingatkan kepada kalian para kisanak dari Tuban agar tidak melanjutkan niat kalian ini. Meskipun saat ini wilayah Alas Roban bebas dari kepemilikan siapapun, namun Kanjeng Adipati sudah menyatakan bahwa tlatah ini adalah kekuasaan Jipang Panolan."

Pemimpin prajurit Jipang memberi isyarat kepada anak buahnya untuk segera pergi.

Ki Nenggolo menghela nafas panjang.

"Baiklah kisanak. Kami juga akan pergi. Tapi kami akan menjumpai terlebih dahulu beberapa kepala kampung di wilayah ini yang sebelumnya telah meminta kami untuk membangun pondok pesantren. Kami akan sampaikan kepada mereka mengenai hal ini. Jika mereka tetap bersikukuh demi pendidikan dan pengetahuan anak-anak mereka, maka kami tidak akan menghentikan niat kami. Bagaimanapun ini bukan wilayah Jipang Panolan."

Ki Nenggolo mengangguk kepada para santrinya yang segera bersiap pergi sambil membawa serta teman-temannya yang banyak terluka.

Ratri Geni menyaksikan semua itu dengan sedikit bingung. Dia lega semua berakhir dengan damai. Namun tahu bahwa semua ini belum selesai. Sekarang apa yang harus dilakukannya?

Gadis itu menoleh ke arah harimau hitam yang berbaring sambil mengawasi pergerakan orang-orang. Ratri Geni mengelus leher harimau itu dan berbisik di telinganya.

"Aku juga harus pergi harimau. Siapakah namamu? Aku harus memanggilmu siapa? Dan kapan kira-kira kita bisa berjumpa lagi?"

Harimau itu kembali menggeram lirih. Berdiri dan lalu mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Ratri Geni seolah sedang berbicara. Beberapa kali harimau itu menjilati kaki depannya sambil menatap Ratri Geni.

Gadis itu mengikuti arah yang ditunjukkan si harimau. Tertarik melihat sesuatu yang melingkari pergelangan kaki kanannya. Sebuah tali tipis yang mengikat sebuah daun lontar bertuliskan huruf Pallawa. Selain belajar olah kanuragan dari Ayahnya dan ilmu sihir dari Ibunya, Ratri Geni juga belajar seni kesusasteraan dari Ibunya. Gadis ini suka membaca sedari kecil. Oleh karena itu pandai sekali berbahasa dan bertutur beberapa bahasa termasuk Sansekerta.

Sembari menyaksikan orang-orang itu beranjak pergi ke arah yang berbeda dan setelah merasa bahwa mereka hanya tinggal berdua, Ratri Geni menunduk dan meraih daun lontar di kaki harimau hitam itu agar bisa dibaca dengan jelas.

Geni Ratri membaca dengan suara sedikit keras.

"Sima Braja! Macan Halilintar!"

Harimau hitam itu mendongakkan kepalanya ke arah langit lalu mengaum sekeras-kerasnya. Sebuah auman yang menggetarkan seisi Alas Roban dan membuat suasana mendadak hening dan begitu khidmat.

**