Tak lama kemudian, ada yang membuka pintu ruangan rumah sakit Leo, yakni Caise. "Mas Leo..." tatapnya dengan suara pelan memastikan Leo tidak tidur.
"Oh, Caise... Kemarilah... Aku benar-benar sangat merindukanmu," Leo menatap manis. Caise yang melihat itu menjadi tertawa kecil dan mendekat.
"Bagaimana perasaan Mas Leo?"
"Ini baik-baik saja. Apa kamu menunggu lama, Caise?" Leo menatap lembut.
"Tidak kok. Aku senang Mas Leo bisa bertahan..." kata Caise, tapi ia melirik ke tato leher hingga bahu Leo itu yang terlihat dari depan.
"(Ketika Mas Leo telanjang dada begitu, aku harus menilai itu sangat bagus.... Apalagi dia punya tubuh yang dominan. Sebelumnya aku selalu melihat tato bercahaya di pipinya, itu sangat indah dan terkadang, warna tato yang menyatu dengan warna kulitnya membuat dari salah satu sudut tidak terlihat, ketika menyadari ada tato lagi di punggung nya, aku awalnya hanya menganggap itu biasa... Tapi aku memikirkan apa yang dikatakan Mas Noah, sebaiknya aku hanya harus diam saja, karena di sini Mas Leo sedang terluka.) Mas Leo... Apa kamu yakin baik-baik saja?" Caise masih menatap khawatir.
"Jangan khawatir, Caise.... Aku akan pulang hari ini juga."
"Apa?! Tapi minimal di rumah sakit itu harus tiga hari."
"Ini baik-baik saja. Aku sudah lebih baik."
"Mas Leo, jangan mencoba menyembunyikan sakitmu," Caise menatap tajam.
"Haha, ini tak apa. Aku sudah mengatakan kalimatku beberapa kali, jangan khawatir...." kata Leo sambil mengelus Caise.
"Baiklah deh, aku jadi berkurang khawatirnya... Jadi Mas Leo akan pulang, apa aku boleh meminta satu permintaan?" Caise menatap.
"Permintaan? Lakukan saja, aku akan menurutinya."
"Bener lo ya.... Aku ingin ke rumah Mas Leo," kata Caise, seketika Leo terdiam.
"E... Itu... E... Rumahku pastinya berantakan," Leo menatap agak ragu.
"Kenapa?"
"Itu karena dia sering mengamuk," kata Noah yang langsung menyela mereka, membuat mereka menoleh ke pintu.
"Dia selalu mengamuk dan membanting banyak barangnya, tapi untungnya ada aku. Aku membersihkan semuanya, dan dia hanya bisa mengatur saja," tambahnya.
Leo yang mendengar itu menjadi kesal dan marah, terlihat dari kepingan kemarahan di leher maupun keningnya, sementara Noah terus bicara.
"Dia itu, jika ada sesuatu sedikit saja langsung mengamuk dan menghancurkan barang di rumah," tambah Noah sekali lagi.
"Sialan.... Noah...." Leo mengeluarkan aura kemarahan.
Tapi Noah tak peduli karena ada Caise. Dia berpikir pastinya Leo tidak akan marah jika ada Caise di dekatnya.
"Caise.... Sebentar, bisa izinkan aku merokok?" Leo menatap lembut pada Caise meskipun dia tak sabar mengeluarkan kemarahannya.
"Ah, aku akan mengantar.... Kondisi Mas Leo masih buruk."
"Tidak perlu, ada Noah," Leo membalas dengan tenang, seketika dia mencabut selang infusnya, membuat tangannya berdarah.
"Ah, Mas Leo itu!" Caise terkejut.
"Jangan khawatir, sayang. Sampai jumpa," Leo menarik selimut ranjang rumah sakit itu menutupi punggungnya dan langsung dengan aura membunuh mendekat ke Noah.
"(Sial.... aku tidak berpikir sejauh ini,)" dia panik dan langsung melarikan diri, tapi Leo juga berlari mengejarnya. Ketika sudah jauh dari Caise, di sana muncul aumannya. "Kemari kau, sialan!!!!"
Caise menjadi terdiam, dia keluar melihat mereka saling mengejar, tapi dia hanya menggeleng. "(Benar benar deh... Sepertinya aku tidak perlu banyak khawatir pada Mas Leo yang kuat....)"
Hari selanjutnya, tampak Caise terpesona ketika ia keluar dari mobil. Rupanya, dia menatap rumah yang begitu besar dan sangat mewah, siapa lagi kalau bukan milik Leo.
"Caise..." Leo mendadak merangkulnya lembut dari belakang, membuat Caise menoleh. "Ini rumahku, maafkan aku karena dari awal belum memberitahumu, itu karena ada masalah akhir akhir ini, soal bisnis yang tidak seharusnya ada orang lain ikut campur," kata Leo dengan tidak nyaman mengusap leher belakang nya.
"I... Ini baik-baik saja, apakah ini benar-benar rumah milik Mas Leo sendiri? Tak ada campur tangan apa pun?" Caise menatapnya.
"Ya, ini milikku. Jika kau mau, kau bisa mampir kemari setiap hari. Ayo, aku ajak kau ke dalam."
"Mas Leo, istirahat saja. Mas Leo masih sakit... Kamu bahkan memaksa dokter untuk memulangkanmu, padahal kondisi lenganmu..." Caise menatap lengan kiri Leo yang terlihat baik-baik saja karena tertutup lengan panjangnya. Dia bahkan tak memakai gendongan tangan.
"Jangan khawatir, aku kuat. Ayo... Aku akan mengajakmu masuk," kata Leo sambil merangkulnya erat, dan mereka berjalan masuk bersama. Sementara itu, Noah keluar dari mobil sambil memegang pipinya yang memar.
"Ugh... Sialan... Cari gara-gara dengan harimau memang ada hidup dan matinya..." keluhnya, mungkin karena hajaran Leo di rumah sakit ketika dia sengaja mengejek rumah Leo yang berantakan karena Leo sering mengamuk.
"Wah... Sungguh besar!" Caise terpesona lagi melihat bagian dalam rumah Leo.
"Wah, cantik..."
"Kau bisa melihat-lihat sesuka hatimu," kata Leo, mengikuti langkahnya.
"Mas Leo, apa ini tidak apa-apa jika aku masuk rumahmu?" tanya Caise khawatir.
"Jangan khawatir... Ini baik-baik saja. Oh, kau mau aku tunjukkan kamarku?" Leo menatapnya.
Seketika Caise berwajah merah. "Ka... Kamar..."
"Ya, lewat sini." Leo memegang pinggang Caise dan membawanya masuk ke sebuah pintu. Begitu pintu dibuka, tampak sebuah kamar yang sangat luas dengan ranjang besar.
Caise terpesona melihatnya. "(Sungguh sangat mengagumkan, apa dia semacam memiliki banyak uang untuk seorang pria yang terlihat seperti preman baginya...)"
"Mau coba kasurnya?" tanya Leo.
"Em, tidak perlu... Itu kasurmu, aku tidak berhak--
"Oh ayolah sayang, kasurku adalah kasurmu juga," kata Leo sambil memegang tangan Caise dan menariknya, membuat Caise terkejut.
"Akh!!"
"Baiklah, kemarilah," Leo menarik Caise hingga mereka berdua jatuh ke kasur empuk itu.
"(Lebih empuk... Sangat empuk... Aku benar benar tak pernah merasakan ini...)" pikir Caise sambil tengkurap memeluk bantalnya. "Sangat lembut... Ini surga..."
"Bagaimana kalau tidur di sini saja?" kata Leo yang duduk di sampingnya.
"Eh, apa maksudmu? Aku... Aku tidak bisa..." Caise menggeleng.
"Oh, Caise, aku memberikanmu apa pun tanpa kau minta. Aku ingin kau ada di sini, apa itu sulit, hm?" Leo memegang dagu Caise, membuat Caise terdiam dan menggeleng.
"Um... Kalau begitu, bisakah aku minta tolong padamu?" tanya Caise sambil menatap Leo.
Leo terdiam sebentar dan mengangguk.
"Kalau begitu, katakan padaku, siapa kamu sebenarnya, Mas Leo?" tatap Caise dengan ekspresi kosong, membuat Leo terkejut.
"Ha... Apa... Apa maksudmu? Bukankah kau sudah tahu siapa aku?"
"Siapa kamu, dengan banyaknya orang yang membencimu, aku tahu kamu berhubungan erat dengan ketidaknormalan manusia," kata Caise.
Hal itu membuat Leo berkeringat. Dia langsung memegang baju Caise. "Dengar, Caise, tak peduli siapa aku sebenarnya. Bukankah ini cinta? Aku janji, tunggulah beberapa minggu, aku akan memberitahumu yang sebenarnya. Apa kamu mengerti?" Leo menatapnya.
Dia berharap Caise akan setuju, tapi dari wajah Caise tampak sangat datar.
Namun untungnya, Caise tersenyum. "Aww, itu sangat manis, Mas Leo. Baik sekali. Tentu, aku akan menunggu beberapa minggu," kata Caise dengan senang.
Leo tersenyum lega dan menghela napas. Dia lalu membelai kepala Caise dan memeluknya, membuat Caise terkejut. Mereka langsung terbaring di kasur itu.
"Tak hanya itu sayang, kau akan mendapatkan yang terbaik," tambah Leo sambil benar-benar memeluk Caise di ranjang, wajah mereka sangat dekat.
"... Mas Leo... Apa kamu akan?" Caise menatapnya.
"Ya, buka bibirmu," jawab Leo. Mereka akan berciuman.
Namun siapa sangka, Noah masuk tanpa sadar membuka pintu kamar, dan dia terkejut melihat mereka. Langsung saja, dia balik badan.
Caise terkejut melihat Noah, sementara Leo menatapnya dengan kesal. "Kenapa datang?!!!"
"Maafkan aku, aku benar-benar tidak tahu," balas Noah.
"Kau... Apa kau mau aku tambah babak belur?" Leo akan bangun dari ranjang, membuat Noah gemetar ketakutan.
Namun Caise menahan tangan Leo. "Mas Leo, sudahlah. Bisa jadi Mas Noah ingin memberitahu sesuatu," kata Caise, menatap Noah.
Leo menatap sangat kesal. "Ada apa? Cepat!" tanyanya.
"Mu... Mungkin kita harus bicara berdua..." kata Noah.
"Ck, baiklah... Caise, tunggulah sebentar," kata Leo lembut, lalu Caise mengangguk.
Namun saat menoleh ke Noah, dia kembali memasang wajah tajam. Mereka berdua keluar, meninggalkan Caise yang masih duduk di ranjang besar itu.
---
"Nona Walwes meminta kamu pergi ke Seoul. Kau diminta untuk menghajar orang yang dia suruh," kata Noah.
"Aku bukan pemukul bayaran. Aku sudah keluar dari dunia itu. Tidak bisakah dia menyewa orang lain?" jawab Leo tegas.
"Dia juga meminta kamu untuk menerima tawaran dari Tuan Mandara," kata Noah, membuat Leo terkejut dan langsung memukul tembok di sampingnya hingga retak, membuat Noah menelan ludah.
"Apa kau bilang?! Pria bajingan itu! Kenapa dia bisa bekerja sama dengan Walwes? Aku sudah bilang bahwa mereka itu tidak bisa meyakinkanku! Hanya karena kuasa hukum bisa kukendalikan, tidak berarti mereka bisa menyalahgunakan kekuasaan untuk memintaku melakukan hal itu! Aku tidak sudi!" kata Leo dengan sangat kesal.
"Pelankan suaramu, atau gadis itu akan mendengarnya. Intinya, aku tidak mau tahu. Selesaikan hal itu, atau mereka hanya akan terus menghantui hidupmu. Kau ingat kejadian dengan gadis bulan itu?" tanya Noah, membuat Leo langsung terdiam dan membuang pandangannya.
"Jangan ingatkan aku pada gadis sialan itu..."
"Terserah saja, aku akan pergi sekarang. Ada klien datang untuk konsultasi hukum. Sampai jumpa," kata Noah sambil berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Leo yang masih kesal.
"(Sialan, kenapa harus aku...)" Leo mendengus kesal.
Sementara Caise mendengar samar samar. "Apa yang terjadi.... Apa Mas Leo sibuk? Kenapa ada hal yang aneh dan apa yang mereka bicarakan sungguh aku tidak mengerti..." ia tampak khawatir.
Lalu, Leo kembali ke kamar. Caise menoleh padanya. "Mas Leo, ada sesuatu?" tanya Caise.
"Tidak ada, Caise. Oh, ngomong-ngomong, apa kau mau keluar?" tanya Leo.
"Keluar?"
"Ya, kencan," kata Leo, membuat Caise terkejut.
"Ke... Kencan... Kencan..." wajah Caise memerah.
"Kenapa? Ini bukan yang pertama kalinya, kan?" kata Leo menatapnya.
"Eh, em... Ba... Baiklah..." jawab Caise dengan wajah yang masih merah.