webnovel

Hiro Sensei...

Kenzo Tanaka menatap gurunya dengan perasaan ragu. Dalam pikirannya menimbang-nimbang apakah ia harus membantunya atau tidak. Kenzo mengintip ke dalam ruangan Mabuchi Sensei.

Mabuchi Sensei terduduk di sofa sambil menunduk, kedua telapak tangannya terlihat sedang menopang kepalanya. Kenzo tidak dapat melihat ekspresinya saat ini, tapi ia bisa menebak siapa yang ia khawatirkan. Kenzo yakin dugaannya benar. Ada sesuatu antara Yue dan Mabuchi Sensei. Bahkan teman-teman sekelasnya juga merasakan hal yang sama.

Tangan Kenzo mulai bergerak untuk mengetuk pintu. Mabuchi Sensei mengangkat mukanya dan menatap Kenzo di balik jendela kecil.

"Masuk…"

Kenzo menarik napas kemudian menggeser pintu yang membatasi mereka berdua. Kenzo dipersilahkan duduk di sofa depan Mabuchi Sensei. Kenzo melihat ke sekeliling ruangan. Ia seperti berada di tempat lain. Ruangan yang gelap dengan hanya memakai sumber cahaya dari sinar matahari di jendela dekatnya. Buku-buku yang tersusun rapi di rak yang menjulang tinggi di belakang Mabuchi Sensei.

'Pantas saja Yue menyukai ruangan ini,' ucapnya dalam hati.

"Ada apa, Tanaka-kun? Tidak biasanya kau kesini." ujar Mabuchi Sensei. Suaranya terdengar ragu. Kenzo menyadari kalau wajah Sensei terlihat lelah. Ada kantong di bawah matanya.

"Sensei… Sensei baik-baik saja kan?" tanya Kenzo yang langsung di sesali olehnya. Untuk apa ia menanyakan keadaan Mabuchi Sensei? Padahal selama ini ia tidak pernah mempedulikannya.

"Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedang banyak pikiran saja." Kemudian ruangan kembali hening. Hiro baru saja mendapatkan visi kalau Kenzo membullynya setiap kali ia menjawab pertanyaan. Namun Hiro melihat pandangan Kenzo padanya, dengan yang ada di visinya terlihat jauh berbeda.

"Sensei… sebenarnya… mungkin saja aku tahu apa yang membuat Sensei banyak pikiran."

Mabuchi Sensei terkekeh pelan. Ucapan Kenzo yang tidak terduga mengejutkannya.

"Benarkah?" tanyanya dengan nada ringan. Kenzo menghembuskan napas lega. Setidaknya wajah Mabuchi Sensei tidak setegang tadi.

Kenzo mengangguk. "Mengenai Yue Akasaka, sebenarnya aku tahu tentang keadaannya." Mabuchi Sensei berhenti tertawa. Wajahnya berubah serius. Kenzo mengangkat kedua tangannya.

"Bukan maksudku untuk tidak sopan, Sensei. Waktu tadi Sensei bertanya soal Yue. Aku tahu bagaimana keadaannya."

"Oke silahkan lanjutkan, Tanaka-kun…"

"Sebenarnya beberapa hari ini Yue sedang demam." Kenzo menyadari perubahan dari ekspresi orang di depannya.

"Orang tuanya tidak ada di rumah dan aku pun tidak bisa menjenguknya terus menerus. Lagipula aku dan dia… hubungan kami sudah berakhir…" Kenzo berdeham. "Jadi aku pikir… Sensei bisa menjenguknya sesekali untuk melihat keadaannya."

"Mengapa kau memberikan informasi ini padaku, Tanaka-kun?"

"Aku pikir…Senseilah orang yang tepat. Ini alamatnya. Yue memang punya teman dekat tapi rumahnya berada di kota lain, jadi ia tidak dapat menjenguk." Kenzo menyodorkan selembar kertas kecil pada Mabuchi Sensei. Ia mengamati tulisan di kertas itu. Ternyata Yue tinggal di gedung apartemen yang sama dengannya. Padahal waktu malam itu, ia ingat Akasaka tidak ingin diantar sampai ke tempat tinggalnya.

"Kalau begitu aku pamit dulu, Sensei." Kenzo menunduk kemudian berjalan ke arah pintu. Tiba-tiba ia berhenti dan berbalik dengan cepat.

"Oh satu lagi Sensei… terakhir aku menjenguknya kemarin Yue mengigau sesuatu yang janggal."

"Sesuatu yang janggal bagaimana?"

"Yue mengalami mimpi buruk seperti ia sedang dikejar sesuatu atau seseorang. Dia seperti berbicara dengan seseorang dengan terburu-buru. Dan aku mendengar nama Sensei."

"Namaku?"

"Ya… dia memanggilmu Hiro Sensei dengan panik."

Kenzo pamit keluar ruangan. Di koridor yang sepi, Kenzo berpikir keras. Ia tidak menyangka kata-katanya terakhir tadi membuat Mabuchi Sensei sampai seperti itu. Wajah horror Mabuchi Sensei masih terekam jelas di kepalanya.

"Tapi… mengapa panggilan Hiro Sensei terdengar sangat familiar?" Seperti ia pernah memanggil Mabuchi Sensei dengan nama panggilan itu. Padahal selama murid-murid selalu menyebutnya Mabuchi Sensei.

"Apakah hubungan Yue dan Sensei sudah seperti itu?" Kenzo menggeleng untuk menepis pikirannya sendiri.

"Bukan urusanku…" ujarnya sebelum akhirnya ia kembali ke ruang kelas 3-A.

Hiro masih ingat ia sedang termenung di sofa. Lalu mengapa tiba-tiba kakinya sudah berpijak di depan pintu apartemen keluarga Akasaka? Hiro sudah termangu di sana selama beberapa menit. Hiro tidak mengira bahwa selama ini, Yue Akasaka dan dirinya tinggal di satu gedung apartemen yang sama. Akhirnya dengan segenap tekad ia mengetuk pintu dan menunggu.

"Untuk apa aku disini?" Pikiran lain muncul membuatnya ragu. Ia sempat ingin berbalik pulang. Sudah setengah jalan, ia kembali berlari ke depan pintu dan menekan bel yang berada di samping dengan terengah-engah. Hiro teringat tujuan utamanya ke tempat ini. Begitu menjenguk dan melihat Yue baik-baik saja, ia akan pulang.

Terkadang Hiro heran dengan dirinya. Apalagi jika hal itu berhubungan dengan Yue Akasaka. Rasanya akal sehatnya seperti tertidur pulas.

Tidak ada jawaban. Hiro menekan tombol sekali lagi. Suara berdenting terdengar samar dari dalam rumah.

Hiro berpikir apakah ia buka saja pintu rumah itu, tapi kemungkinan ia akan dianggap melakukan tindak kriminal karena masuk ke apartemen orang sembarangan.

Tidak ada suara. Mungkin saja Yue sedang beristirahat. Hiro merasa begitu bodoh tidak memikirkan kemungkinan itu ada. Akhirnya 2 menit kemudian ia memutar badan dan memutuskan untuk kembali.

Tiba-tiba suara seperti benda terjatuh membuatnya membeku di tempat. Hiro yakin suara itu berasal dari dalam kamar apartemen Akasaka. Dengan setengah panik, Hiro mengetuk pintu sekali lagi.

"Akasaka,aku akan masuk!" Ternyata pintu tidak dikunci. Pintu terbuka akibat dorongan dari luar. Ketika melihat apa yang di depannya, Hiro hampir terkena serangan jantung. Ia melihat vas bunga yang pecah berantakan dengan air yang tergenang di atas lantai kayu.

"YUEE!!" Pekiknya pada tubuh yang tergeletak di lantai. Rasanya jantung Hiro hampir keluar dari rongganya. Hiro mengangkat tubuhnya lalu menepuk-nepuk wajah Yue pelan.

"Hngg…" Yue mengeluarkan suara, yang langsung disambut lega oleh Hiro. Hampir saja Hiro memanggil ambulans kalau saja Yue tidak bereaksi.

"Yue… kau bisa mendengarku?" Yue hanya mengerang, kelihatannya masih setengah tertidur. Tubuhnya membara karena demam.

"Kamarmu ada di mana?" Hiro melihat ada pergerakan di jari Yue menunjuk ke salah satu kamar yang pintunya setengah terbuka. Hiro menangkap kalau kamarnya ada di lantai sana. Ia berdiri dan membopong tubuh Yue yang kembali tak sadarkan diri ke dalam kamar sambil mengucapkan permisi.

Dalam hati ia bertanya-tanya apakah Yue tadi ingin membuka pintu karena mendengar bel tadi? Sepertinya tidak ada siapa-siapa di tempat ini selain Yue. Hiro mendorong pintu yang menghalanginya. Hiro meletakkan Yue ke atas tempat tidur sambil melihat ke sekeliling.

Nafasnya sempat terhenti sedetik ketika melihat perbedaan kontras antara bagian kiri ruangan dan bagian kanan ruangan. Di bagian kiri terdapat meja belajar dan rak-rak buku berwarna biru tua yang terlihat maskulin dengan warna solid. Bahkan Hiro sempat mengira kalau ia ada saudara laki-laki, tapi seingat Hiro Yue tidak mempunyai saudara kandung.

Sedangkan di bagian kanan ruangan tempat Yue tidur saat ini dominan dengan warna merah muda dan ungu. Di bagian ini juga banyak sekali karakter-karakter lucu yang biasa disukai anak perempuan. Di sebelah tempat ada sebuah baki berisi air dan selembar kain yang dilipat di sampingnya. Hiro menunduk untuk membasahi kain itu dan menaruhnya di atas kepala Yue.

Yue mengeluarkan suara erangan, kelihatannya ia mengalami mimpi buruk. Alisnya bertaut.

"Shhh… tidak apa-apa." ucap Hiro lembut untuk menenangkannya. Ajaibnya Yue berubah tenang. Ia tidak lagi mengalami mimpi buruk. Hiro duduk di lantai sambil menyandar ke meja kecil di samping tempat tidur. Ia mendesah sambil melipat lututnya ke atas dan menaruh tangannya disana. Nafas Yue mulai teratur kembali. Hiro menatap tangan Yue yang di terkulai di pinggir kasur.

Tadinya setelah menaruhnya di atas tempat tidur, Hiro berencana akan pergi dan tidak mengganggunya lagi.

Tapi disinilah ia, duduk di samping ranjang muridnya. Khawatir jika ia meninggalkannya barang sedikitpun, mimpi buruk itu akan kembali mengganggu Yue. Hiro tidak menginginkan hal itu dan memutuskan untuk tinggal sebentar lagi. Entah mengapa ia tidak pernah bisa meninggalkan Yue seorang diri.

"Hngg…" Yue mengerang kembali. Hiro bangkit dari duduknya dan menoleh untuk melihat keadaannya. Mata Yue terbuka seperempat. Mulutnya terlihat menggumamkan sesuatu.

"Hi…ro sen-sei…" Mata Hiro membelalak lebar. Nama itu… Yue tidak memanggilnya seperti itu. Terakhir kali Hiro mendengar nama panggilan itu hanya dalam mimpi buruknya saja.

"Yue… aku disini…" Hiro menyentuh tangan Yue yang dingin.

"Hi-ro Sen-sei…ma-af." Setetes air mata mengalir ke atas bantal tempat Yue menaruh kepalanya. Dada Hiro terasa sakit melihat hal itu. Ia tidak ingin melihat Yue menangis. Tangan Yue yang dingin membalas genggaman Hiro.

"Jangan pergi, Hiro Sensei." ucapnya sebelum dadanya naik turun dengan ritme teratur.

"Tidak akan… Aku akan tetap disini." bisik Hiro pada Yue.

Hiro merasakan ada yang menyentuh kakinya. Ternyata seekor kucing yang sedang menggosok badannya ke ujung celana Hiro. Hiro tersenyum kemudian mengelus kepala kucing itu sambil menempelkan jari telunjuk di depan mulut, mengisyaratkan kucing itu untuk tidak bersuara.

Hiro menatap gadis yang sedang terpejam di hadapannya sekali lagi. Jam demi jam berlalu, ia masih menunggunya sampai demamnya turun. Tanpa sadar dua jemari menyentuh pipi Yue dengan lembut. Yue bergerak sedikit. Berusaha tidak membangunkannya, Hiro menggeser rambut yang menutupi wajah Yue. Bibirnya juga menarik senyuman saat melihat Yue tidur dengan pulas.

"Yue…"

Yue menarik napas kemudian…

"Hiro Sensei?" Suara serak keluar dari bibir Yue, membuat Hiro kaget setengah mati. Hampir saja ia jatuh terjerembab ke belakang.

"Yu… Yue! Kau sudah sadar??" Hiro terlihat mengelap tangannya ke celana untuk menutupi kegugupannya. Apa yang dilakukannya tadi bisa dilaporkan sebagai penyelewengan guru terhadap muridnya.

"Hmm… rasanya aku tidur lama sekali. Sensei kenapa bisa disini?" Yue mengubah posisinya menjadi duduk.dan menatap gurunya dengan pandangan bingung. Hiro berdeham sambil menjelaskan kronologi kejadian tadi.

"Oh jadi benar yang menekan bel itu Sensei, kukira aku hanya bermimpi sewaktu berjalan ke pintu ughh!!." Rasa sakit menghantam kepalanya, membuat postur Yue oleng. Wajahnya hampir menghantam meja kalau saja Hiro tidak sigap menangkap tubuhnya.

"Tidur saja kembali, Yue. Kau masih demam."

"Aku tidak apa-apa, Hiro Sensei."

"Yue…darimana kau bisa memanggilku Hiro Sensei? Kalian selalu memanggilku Mabuchi Sensei…"

Yue terdiam. Jemarinya meremas gulungan lengan kemeja Hiro.

"Sensei… aku sudah ingat semuanya."

"...Ha?"