Perburuan itu dimulai pukul sembilan dan berakhir pukul 3 pagi. Semalam, Damar mengintrogasiku tentang status dan skill orang-orang desa. Setelah itu, Damar tidak memperbolehkanku keluar dan aku tidak ingin mendebat lebih jauh. Namun, tetap saja, rasanya aneh melihat Damar seperti itu. Statusku memang rendah, tapi dia tak perlu memperlakukanku sampai separah itu.
Ini kan tidak seperti seseorang akan membunuhku atau sesuatu. Lagi pula, apa yang salah dengan orang-orang itu? Pak Gerr jelas hanya kekurangan makanan dan memandangku sebagai orang yang bisa memecahkan masalah itu. Aku hanya perlu memasakkan satu atau dua kali daging hewan beracun agar bisa dimakan. Ah ... tapi aku tidak menyangka skill yang terlihat sederhana dan tak berguna begitu memiliki fungsi sedemikian rupa.
Kalau aku tak punya skill itu, aku pasti mati. Ah ... kalau tak ada Damar aku juga akan mati. Tapi tetap saja ....
"Dasar Bajingan Tengik!"
Seseorang menyahut dengan suara berat.
"Siapa? Aku?"
Aku berbalik. Damar berdiri di depan pintu sambil membawa segelas air. Wajahnya terlihat lelah, rambutnya masih basah, tetapi bajunya sudah ganti. Apa dia sudah mandi? Matanya yang berkantung menatapku bosan.
"Nih minum!"
"Hah? Buat apa?"
"Lakukan aja!"
Aku berdecak, kemudian meminumnya.
Damar mengerutkan dahi dan menghela napas lelah, seolah aku baru saja melakukan hal bodoh. Jangan bilang Damar kesal karena aku meminum airnya! Kan, dia sendiri yang memaksaku melakukannya. Dasar orang aneh!
"Kamu punya skill semacam penangkal racun?"
Reflek aku membuka jendela status. "Eh ... nggak tuh."
Damar berpikir sejenak. "Apa ini ada hubungannya dengan skill [Food]-mu, ya? Tapi, bagaimana cara kerjanya?"
Ada lebih banyak lagi gumaman, tetapi semakin tak terdengar.
"Lo ngapain, sih? Gue masih di sini dan kalo lo sedang memikirkan skill gue, mending ngomong langsung sini. Ini skil gue, kenapa lo yang repot banget?"
Damar menatap gamang. Bukannya menjawab, Damar justru duduk di tempat tidur selagi menghembuskan napas kesal.
"Aku memasukkan serbuk semacam obat tidur di sana." Seketika, aku menatap gelas yang telah kosong setengah itu. Damar tersenyum tipis, mengejek, kemudian dia melanjutkan, "Lihat, kan? Aku bisa melakukan apa pun dan kamu bahkan nggak sadar. Setidaknya kita tahu racun tidak berpengaruh padamu. Baguslah."
"Brengsek."
Damar mengerutkan dahi bingung.
"Kamu marah?"
"Ya jelas, lah. Lo tuh apa-apaan sih? Selama di tempat ini lo tuh aneh tau, nggak?"
Aku berbalik, hendak pergi.
"Mau kemana?"
"Bukan urusanlo."
Suara Damar dingin ketika berkata, "Aku sudah mengatakan bahwa bila kau pergi, aku akan merantai pintu ini, kan?"
"Terserah lo, Brengsek."
Aku menutup pintu kasar. Suara berdebumnya menggema di seluruh lorong.
Sialan. Apa yang dipikirkan anak dengan memasukkan obat tidur ke minumanku? Dan lagi, ekspresinya saat bertanya 'kamu marah' benar-benar menyebalkan, Memang siapa yang tidak marah ketika dia melakukan hal seperti itu ke minumanku?
Sebenarnya apa yang terjadi pada Damar? Selama ini dia tidak pernah begitu peduli padaku. Saling sapa saja tidak pernah. Kami secara praktis hanya dua anak satu sekolah yang tidak saling peduli. Apa yang menghubungkan kami hanyalah aku terlambat dan dia menghukum. Tidak ada yang lain.
Lantas, mengapa dia tiba-tiba semenyebalkan itu saat masuk ke dunia ini?
Apa benar karena kekuatanku?
Aku menyugar rambut gusar.
"Bedebah."
"Oh! Ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah mengumpat?"
Pinny, pemilik penginapan, naik dari tangga sambil tersenyum lembut. Wanita berusia 30 tahunan, dengan rata-rata status yang sedikit lebih tinggi dariku itu, tersenyum ramah. Rambutnya yang seperti kayu manis menggulung ke samping. Jatuh lembut ke bahu sebelah kanannya.
Sejak datang ke tempat ini Pinny selalu menatap kami dengan sedikit kilat khawatir dan rasa bersalah. Mungkin itu karena dia merasa bersalah karena menyeret anak kecil ke dalam masalah perburuan. Meski aku akan kesal bisa dianggap anak kecil, tetapi rasanya tetap tidak benar jika meminta anak SMA memburu kawanan Hyena. Walaupun anak SMA yang dimaksud begitu mengesalkan.
Pinny menatap gelas yang kupegang.
"Apa Damar sudah tidur?"
"Eh?"
Dia menunjuk gelasku. "Dia memintaku memberikannya serbuk sari tidur karena insomnia. Wajar, dia memburu Hyena semalaman. Adrenalinnya pasti masih tinggi sekali."
Aku memilih tidak menceritakan kejadian tadi. Sialan anak itu benar-benar memberiku obat tidur.
"Iya, tapi kurasa anak itu belum tidur."
"Oh benarkah?" tanya Pinny terkejut. "Obat itu cukup kuat, loh. Tapi mungkin kalian Makhluk Dunia Lain memang istimewa. Kau mau makan? Turunlah! Aku akan memasakkanmu sesuatu. Itu bagian dari kontrak kalian, kan?"
Pinny memasakkanku sup sayur tanpa daging dan memberikannya padaku dengan ekspresi merasa bersalah. Sup itu mengepul dan berbau harus, tetapi isinya terlalu sedikit. Aku tidak sedang mengeluh, tetapi ingatan tentang perkataan Gerr mengenai kekuarangan membuatku merasa tak nyaman.
"Maaf, hanya itu yang bisa kuberikan."
Aku menggeleng dan tersenyum.
"Ini sangat enak, Pinny."
Pinny mengangguk. Dia mengucapkan terima kasih, dan kembali pada pekerjaannya. Kalau dilihat-lihat penginapan Pinny sangat sepi dan meski bersih, cukup usang. Pinny sendiri juga tinggal sendiri bersama anaknya, Pimn. Pinny bilang suaminya tewas karena serangan Hyena beberapa tahun yang lalu. Meski dia mengatakanku itu sedang senyum tegar, aku masih bisa melihat kesedihan di matanya.
Saat melihat Pimn pun, aku teringat Rara. Dia masih sangat kecil saat Ayah menghilang begitu saja, sehingga tidak begitu ingat atau merindukannya, tetapi tetap saja. Anak kecil selalu mempertanyakan apa yang tidak dia miliki sementara orang lain memilikinya. Aku senang dia selalu mengakhiri pertanyaannya tentang ayah dengan 'Aku punya kakak, jadi aku tidak perlu Ayah', tetapi aku tetap saja membuatku terbebani. Sekarang, Pimn juga mengalami hal serupa.
Apa yang terjadi pada Rara sekarang? Pasti dunia itu sedang sangat kacau. Ada banyak orang yang memiliki jendela status dan bila mereka semua dipindahkan ke dunia ini ... Bu, Rara, aku akan mencari cara untuk kembali secepat mungkin. Selama itu, jangan terlalu bersedih atas kepergianku.
"Pinny, apakah ada banyak Makhluk Dunia Lain yang datang kemari?"
"Ada banyak setiap waktu. Aku tidak begitu mengerti, tetapi aku sering melihat kalian. Ah ... tentu saja, tidak ada yang pernah keluar dari Serpent Forest."
"Kenapa?"
"Semua makhluk hidup di Serpent Forest beracun. Tidak hanya itu, hewan buas di sana banyak sekali. Hyena tidak ada apa-apanya dari pada yang sebenarnya ada di dalam hutan itu. Fakta bahwa kalian selamat dari sana membuatku tenang."
"Damar yang punya kekuatan. Gue sih enggak."
"Gue?"
"Sebutan untuk pengganti 'aku'."
Pinny tertawa kecil. "Apa itu bahasa di duniamu?"
"Tempat gue doang. Bukan bahasa formal, nggak papa, kan?"
"Tidak apa-apa, Randy. Bukan bahasa formal berarti kamu tidak merasa canggung denganku."
"Gue penasaran, bahasa sini memang begitu, ya? Pakek Bahasa Indonesia."
Pinny tersenyum lembut. "Jadi, nama bahasa ibumu, Bahasa Indonesia?"
"Oh. Sesuai bahasa ibu?"
"Kurasa begitu. Tidak pernah ada Makhluk Dunia Lain yang tidak mengerti bahasa kami dan begitu pula sebaliknya. Kupikir itu ada hubungannya dengan bahasa ibu."
"Jadi, ada sesuatu yang bikin kita paham bahasa satu sama lain. Lebih gampang sih, pasti susah kali nggak tahu bahasanya."
"Kau benar."
Begitu aku selesai, Pinny meminta piringku dan akan mencucinya. Saat dia berjalan, Pimn turun dari kamarnya dan segera memeluk ibunya. Pinny yang tidak menyadari keberadaan putrinya terkejut dan menjatuhkan sendok dan garpu yang baru kupakai. Pinny mengomel, tetapi Pimn hanya tertawa lebar. Anak yang manis.
Saat Pinny mengambil sendok dan garpu yang terjatuh. Rambutnya semakin tersingkap. Ada tanda di belakang lehernya, setengah tanda itu tertutup kerah. Randa berwarna merah yang anehnya terasa familier.
"Pinny, tanda di leher lo tuh ...."
Pertanyaanku menggantung di udara, karena Pinny segera menyembunyikan tanda itu dengan rambutnya dan tersenyum ramah, tapi palsu.
"Bukan apa-apa. Ini hanya tanda keluarga biasa."
Kalau itu benar-benar hanya tanda keluarga biasa, kenapa dia terburu-buru menyembunyikannya?