Ketakutan mencengkram Jeje hingga kakinya bergetar tak terkendali.
Bagastara sialan itu bahkan membunuh orang yang dia cintai? Sinting. Orang itu benar-benar sinting.
Setelah itu barulah dia sadar bahwa mereka takkan selamat. Tidak saat satu-satunya jalan keluar ditutup oleh bayangan hidup yang seolah siap mencincang mereka sampai mati. Belum lagi sabit mengerikan yang ada di tangan Bagastara. Mereka terkurung dengan iblis sinting yang siap membunuh mereka.
Iblis itu tertawa perlahan. Suara tawa itu terasa menggema di ruangan yang hanya di terangi oleh orb cahaya remang-remang. Napas memburu dan rengekan bisu Dinar tidak membantu menenangkan debar jantungnya. Keringatnya dan darah menetes bersama.
"Je! Gimana nih?"
Jeje tidak menjawab. Dia melirik pada Bagastara dan bertemu mata dengan lelaki yang tidak melepaskan pandangan darinya itu.
"Kenapa kau melakukannya? Apa salah kami?"
Bagastara tertawa ringan, tetapi bagi mereka berdua tawa itu terasa mengerikan. Seperti kaok burung gagak di tengah malam.
"Apa yang kalian bicarakan? Kalian tidak salah," katanya ringan. Suara dan tatapannya menajam ketika dia melanjutkan, "Akan tetapi, korban para pembunuh berantai itu pun tidak bersalah."
Bagastara adalah pecinta cerita-cerita pembunuh berantai sejak berada di dunia sebelumnya. Dia pun tahu kecenderungan dan ketertarikannya pada pembunuhan. Dia menyukai Jack the Ripper dan tumbuh besar bersama dengan cerita-cerita mengerikan lain tentang bagaimana para pembunuh itu menghabisi korbannya. Itu sangat mengerikan, sekaligus mendebarkan.
Hal itu membuatnya dijauhi oleh orang-orang, tetapi, siapa yang peduli? Bagastara bukan orang yang memerlukan orang lain sejak awal. Dia hidup sejak kecil sendirian karena ibunya bekerja dan ayahnya pun sama. Hanya Ibu pengasuh yang selalu memberinya makan bersama anak perempuan yang mengikuti di belakangnya. Anak perempuan manis yang tak lama kemudian didiaknosa memiliki kanker darah dan mulai tidak mampu lagi mengikutinya.
Bagastara semakin mencintai serial-serial pembunuhan itu karena merasa kesepian. Satu-satunya teman, orang yang disayanginya, orang yang dicintainya terbaring di bangsal rumah sakit dan tak berjuang untuk sembuh mereka semua orang tahu dia takkan bisa.
Bagastara remaja yang polos dan dipenuhi oleh pemikiran kejam menganggap perjuangan hidup si gadis sia-sia. Bukankah lebih mudah baginya mati? Mengapa dia bertahan hidup di tengah kesakitan itu? Sungguh Bagastara tidak mengerti pada pemikirannya yang tak kenal menyerah.
"Karena aku masih bernapas. Selama aku masih bernapas, aku pasti akan berjuang."
Itu seharusnya menjadi kata-kata motivasi yang positif. Bagastara seharusnya mengerti dan menyemangati satu-satunya wanita yang mengekorinya itu untuk terus berjuang. Akan tetapi, dia tidak mengerti.
Bagastara justru meraih bantal di belakang kepala gadis yang kebingungan itu. Ketika gadis itu mengerjap bingung, Bagastara tersenyum polos.
"Kalau begitu, aku hanya perlu membuatmu tidak bernapas, kan?"
Setelah itu, Bagastara menghentikan napas yang menjadi harapan terakhir si gadis. Setelahnya, dia ditangkap dan diadili. Setelahnya, dia sadar bahwa membunuh seseorang adalah hal termudah, sementara bagian tersulit dari itu semua adalah memastikan dirinya tak ketahuan. Setelahnya, dia menyesal.
Tidak ada yang pergi bersamanya. Hatinya terasa kosong. Setiap senyum yang dia berikan saat bekerja di kantor ibunya terasa seperti manipulator ulung. Tidak. Dia menikmati itu. Akan tetapi, hatinya yang kosong selalu mencari sesuatu yang hilang.
Tak lama kemudian, berlian itu datang. Bagastara membaca catatan konyol yang disebut jendela status dan tertawa setiap kali nama makhluk mitos disebut. The Last Star, dunia fantasi yang terlihat menyenangkan bila remaja muda polos yang membacanya. Namun, semakin dia mengorek lebih dalam, kegelapan dunia itu semakin terlihat.
Assassin.
Bukan kata itu yang benar-benar menarik perhatiannya, tetapi fakta bahwa dunia itu menyediakan peran 'assassin' berarti dunia itu akan dipenuhi pembunuhan. Bahkan dengan kekuatan semacam itu saja, Bagastara bisa membayangkan betapa kacaunya dunia itu.
Dunia bukan seperti film yang bila seseorang terkena kekuatan api akan tergores-gores dan pingsan. Dunia adalah tempat dimana bila seseorang terbakar mereka akan mati.
Hal itu membuat Bagastara semakin tertarik dan membaca lebih banyak hal tentang dunia ini. Akan tetapi, pekerjaan menyita lebih banyak waktunya. Dia tidak sempat membaca lebih dari setengah saat hitung mundur itu datang dan tiba-tiba saja dia dipindahkan ke dunia ini.
Bagastara sungguh bingung, penasaran, sekaligus senang.
Sekarang, dia berada di dunia yang kacau itu.
Di tengah kota yang disebut Grassland bersama ratusan orang lain yang disebut player. Bersama ribuan orang lain yang telah tinggal di kota itu sejak beberapa generasi lalu. Kota yang memiliki titik buta di segala tempat. Kota yang penjaganya datang terlalu lama. Dunia yang dikuasai oleh yang kuat.
Bagastara tertawa puas. Perburuannya pun di mulai.
Sepuluh hari pertama di dunia itu terasa seperti surga, tetapi saat sadar bahwa kehausannya tak pernah bisa dipuaskan, Bagastara semakin frustasi.
Apa yang membuatnya begitu hampa?
Saat itulah dia bertemu seseorang yang mengaku sebagai Raja Dunia Bawah. Raja Negeri Orang Mati. Tawa Bagastara semakin kencang dibuatnya. Ketika orang itu berbicara, tawa dan humor Bagastara lenyap.
"Apa kau ingin membangkitkan Ratih? Tidak. Aku tahu kau ingin membangkitkan Ratih."
Ratih.
Nama itu bahkan tak sanggup dia sebut bahkan dalam pikirannya sendiri.
Bagastara yang murka mencoba menyerang mayat yang menjadi perantara makhluk yang mengaku sebagai Raja Dunia Bawah. Akan tetapi, sekalipun kepala mayat itu menggelinding di lantai batu dengan darah yang bercecer, mayat itu tak berhenti bicara.
"Aku akan membantumu, Bagastara. Sebagai gantinya, bawakan arwah anakku padaku."
Sudut jari Bagastara berkedut, kemudian tertawa semakin kencang.
"Kau ingin aku membunuh anakmu?"
Raja Dunia Bawah itu tidak menghiraukan pertanyaan mengejek Bagastara. Bagastara pun sama-sama tak peduli. Dia berjongkok di depan kepala mayat yang menggelinding itu. Matanya berkilat senang.
"Siapa yang harus kubunuh?"
Ingatan itu segera menghilang dari pikirannya saat suara di dalam kepalanya kembali terdengar.
'Kau masih dalam status yang rendah, Bagastara. Semakin lama kau menggunakanku, jiwamu akan semakin tersesat.'
Bagastara mendengus. Dia bisa melihat bayangan mulai merambat ke setengah lengannya.
"Kalau begitu sebaiknya kita selesaikan perburuan ini dengan cepat. Bukankah begitu, Jeje?"
Jeje menggeram pada lawan di depannya. Dinar sendiri masih mencoba melindungi diri di balik meja-meja. Napas mereka yang putus-putus karena kelelahan terdengar jelas di dalam ruangan yang sepi itu.
"Biar kubantu kau melepaskan bebanmu, Jeje."
Bagastara menghilang.
Menyadari rencana Bagastara, jantung Jeje berdetak kencang.
Beban.
Hanya ada satu hal yang dianggapnya berharga hingga saat ini. Satu hal yang hingga saat ini dia lindungi dan si brengsek Bagastara itu menyadarinya.
Saat dia menoleh pada Dinar, Bagastara telah berada di belakangnya. Matanya berkilat kejam. Sabitnya terangkat. Belum sempat Jeje meneriakkan nama Dinar, sabit itu telah menyabet tubuh si gadis.
Jantung Jeje terasa berhenti berdetak. Kekuatan tiba-tiba saja meledak di tubuhnya. Kekuatan yang datang hanya hsaat Dinar telah mati.
Bagastara dan Jeje bertemu pandang. Sekilas mata Bagastara terbelalak terkejut, sebelum tertawa puas.
"Dia benar-benar bebanmu, ya, Jeje?"