webnovel

23. Milly Yang Penasaran

"Mom, tahukah kamu jika mencintai seseorang yang tidak boleh kita miliki itu sangat menyakitkan," ucap Ben.

Milly menatap putranya sambil melebarkan mulutnya. "Apa maksudmu? Apa kamu sedang jatuh cinta pada seseorang yang tidak seharusnya?"

Ben mengangkat alisnya. "Ya, kurang lebih begitu."

"Jadi, siapa sebenarnya wanita beruntung itu?" tanya Milly dengan wajah yang penasaran.

Ben malah mendesah dan memutar bola matanya. "Ayolah, Mom. Kenapa Mommy sangat penasaran pada orang yang aku sukai? Aku saja tidak pernah mengganggu urusanmu."

"Memangnya aku tidak boleh tahu?" Milly menautkan alisnya, tak setuju. "Aku kan ibumu, Ben. Aku kan penasaran dan ingin sekali mengenal wanita yang kamu sukai itu."

"Entahlah, Mom. Aku belum yakin untuk mengenalkannya padamu. Aku pikir, Mommy pasti tidak akan setuju jika aku menyukai wanita itu."

"Seburuk itukah? Apa dia seumur denganku? Apa dia seorang janda?" tebak Milly.

Ben pun tertawa. "Bukan, Mom. Aku tidak mungkin menyukai wanita tua."

"Hei, aku belum terlalu tua," protes Milly sambil menatap tajam putranya.

"Iya, iya. Mom memang masih muda dan cantik. Jika Mom mengenakan seragam SMA, aku mungkin akan jatuh hati padamu."

"Benarkah? Senang sekali mendengarnya."

"Masalahnya, tak ada anak SMA yang sepertimu, Mom. Mommy adalah makhluk langka."

"Haruskah aku dikurung di museum?" Milly menautkan alisnya.

Ben tertawa lagi dengan keras. "Boleh, boleh. Aku akan mengunjungi Mom di museum."

"Jadi, seperti apa wanita itu?" tanya Milly keras kepala.

Ben pun menghentikan tawanya dan terdiam.

Milly menggelengkan kepalanya. "Ya sudahlah. Terserah padamu saja. Kamu sudah dewasa dan tahu bagaimana untuk bersikap dan mengambil keputusan. Aku tidak pernah melarangmu untuk berkencan dengan siapa pun. Namun, aku tidak akan membiarkanmu menyakiti banyak hati wanita. Kamu tidak akan pernah tahu siapa wanita yang benar-benar tulus menyayangimu dan menerima segala kekurangan dan kelebihanmu."

Ben tertawa pelan. "Mommy jangan terlalu serius. Aku ini masih muda. Bukan saatnya untukku mencari cinta sejati. Oke?"

"Terserah padamu saja."

Ben menyeringai. "Mom, aku pergi ke butik dulu ya. Aku mau mengajak temanku untuk mencoba gaun."

"Kamu belum memberitahuku siapa teman yang akan kamu ajak ke prom itu."

Ben menekan dahinya. "Mom, dia itu hanya teman dan lagi acara prom itu hanya untuk kakak tingkat. Aku tidak berkencan dengannya. Oke? Hanya teman. Ingat itu. Aku sudah menyukai wanita yang lain."

Putranya itu tampak kesal. Lalu Milly menepuk bahu Ben sambil tersenyum. "Ya sudah. Pergilah. Pilih gaun yang terbaik untuk temanmu itu."

"Oke, Mom. Jangan lupa habiskan semua oleh-oleh itu ya. Kalau makanan itu terlalu banyak, Mom bisa membaginya dengan Uncle Marshal."

"Baiklah."

Milly pun mengantar Ben hingga ke depan pagar. Setelah menutup pintu, Milly pun bergegas ke kamar kecil. Sudah sejak lama ini, Milly jadi lebih sering buang air kecil. Beberapa kali ia mengalami demam dan air seninya mengeluarkan darah.

Ia telah meminum ramuan herbal agar air seninya lancar. Sejauh ini, kondisinya lumayan membaik.

Milly tidak berani menceritakan hal ini pada siapa pun karena ia hanya akan membuat orang lain khawatir. Ia yakin jika ia bisa mengatasi penyakitnya sendiri.

Tak lama kemudian, ponsel Milly berdering. Liam meneleponnya.

"Halo, Liam."

"Hai, Mil. Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Liam ramah.

"Aku sedang bersantai. Sepertinya nanti aku harus pergi ke supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan."

"Oh, begitu ya. Mau aku antar? Kebetulan aku pun harus membeli sesuatu di supermarket."

"Ya sudah kalau begitu, aku akan menunggumu."

Milly masuk ke kamarnya dan bersiap-siap. Ia dan Liam memang seringkali pergi ke supermarket bersama. Terkadang, Ika dan Marshal pun bergabung. Setelah itu mereka akan makan malam bersama.

Milly pun mengetik pesan singkat pada Ika, mengajaknya untuk belanja bersama. Namun, Ika sedang sibuk. Jadi, sepertinya malam ini ia akan pergi berdua saja dengan Liam.

Milly membuka lemari pakaiannya dan mengenakan kemeja longgar berwarna hitam dan celana jeans belel favoritnya. Menurut Ika, ia menjadi semakin tidak fashionable. Sejauh ini baju Milly selalu berwarna hitam.

Hal itu karena Milly masih berduka akan kepergian Nicholas. Meskipun hal itu sudah berlalu selama puluhan tahun, tapi Milly masih belum bisa melupakan Nicholas.

Berkabung setiap hati dan menjadi janda selamanya adalah pilihan Milly. Meski ada Liam yang menemani dan menunjukkan sikap serta perasaannya pada Milly, tapi tetap saja Milly hanya akan mencintai Nicholas selamanya.

Setelah setengah jam menunggu, Liam pun datang dan menjemput Milly. Mereka sama-sama berangkat ke supermarket.

Milly mengambil daging, telur, dan susu kedelai kesukaannya. Kali ini, Liam seperti yang sudah hafal apa saja yang akan Milly beli.

Pria itu sebenarnya sangat cocok menjadi seorang 'family man.' Liam senang berbelanja ke supermarket dan hafal dengan harga-harga. Ia akan menyarankan Milly untuk membeli barang yang diskon.

Liam juga adalah seseorang yang rajin dan rapi. Meski rumahnya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk pria itu tinggal seorang diri. Rumahnya sangat bersih dan rapi. Tidak banyak barang yang memenuhi rumahnya, mirip seperti rumah Milly.

Seandainya mereka kenal lebih awal, mungkin Milly pun akan menyukainya. Namun, tidak seperti itu kenyataannya. Liam hanya akan menjadi temannya.

Selesai berbelanja, mereka pun makan malam di restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari supermarket itu.

Milly dan Liam duduk saling bersebrangan. Pria itu tersenyum sambil memandang ke sekitarnya.

"Siang ini restorannya tidak terlalu ramai," ucap Liam. "Semoga saja kita tidak perlu menunggu lama untuk makanan kita."

"Ya. Aku juga sudah lapar. Acara berbelanja kita sepertinya terlalu lama tadi."

Liam mengangguk perlahan. "Tidak apa-apa."

Beberapa menit kemudian, sang pelayan restoran membawa dua gelas teh dan menaruhnya di meja. Lalu ia pun menyerahkan dua buah buku menu. "Selamat siang. Mau pesan apa?"

"Saya mau pesan nasi goreng kambing," kata Liam.

Milly melebarkan matanya. Ia tidak tahu jika restoran ini memiliki menu nasi goreng kambing. Tiba-tiba saja Milly jadi teringat jika ia pernah makan nasi goreng kambing bersama Nicholas di depan hotel tempat kliennya menikah.

Waktu itu, Milly masih sibuk mengurus wedding organizer-nya sendiri. Sementara itu, Nicholas hadir dan menemaninya. Hari itu terasa seperti ia dan Nick sedang berkencan.

Nick membelikannya buket yang sangat cantik. Milly membawa buket itu ke mana-mana dan semua orang menganggap jika ia dan Nicholas adalah sepasang kekasih.

"Mil? Milly? Kamu melamun ya?" Liam menggerakkan tangannya di depan wajah Milly.

"Hah? Tidak, aku …."

Milly bergegas memperhatikan buku menunya dengan lebih saksama dan bingung mau memesan apa.

"Silakan Bu. Mau pesan apa? Tadi suaminya pesan nasi goreng kambing," kata sang pelayan restoran.

"Eh, dia bukan suami saya," ucap Milly tegas.